Marhaenist.id – Sangat tersanjung apabila kita melihat gagasan dasar yang telah dibangun didalam UUD 1945. Pada alineanya yang keempat termuat salah satu nilai atau poin penting yang telah digagas sebagai salah satu mekanisme atau mesin perubahan untuk mengkonstruksi tatanan masyarakat negara ini. Tujuan negara yang digagas itu merupakan bentuk upaya negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Konsepsi ini melahirkan sebuah paradigma sederhana bahwa hadirnya negara merupakan bagian dari upaya dalam merealisasikan keberlangsungan hidup warga masyarakat melalui pintu gerbang “pendidikan”. Lalu pertanyaannya siapakah yang menjadi pilar utama yang berada langsung dalam Medan perjuangan untuk memperjuangkan cita-cita dari visi pedagog ini? Jawabannya ialah para tenaga pendidik yakni para guru.
Situasi pendidikan di negara Indonesia tengah berada pada krisis subtansial. Dimana dalam praktiknya muncul sebuah kegagalan dalam menerjemahkan situasi persoalan endemik dalam negeri yang berada dalam ruang lingkup pendidikan. Hal tentu berimplikasi pada keterlambatan dalam merekonstruksi tipologi pendidikan yang tengah diwarnai dengan dinamika konflik. Terkhususnya mengenai persoalan nasip para tenaga pendidik yakni para guru yang menjadi fokus perhatian, berkaitan dengan isu pemberdayaan dan kesejahteraan para guru.
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
Ungkapan ini sering kali kita dengar apa bila kita berbicara mengenai peran seorang guru. Disandingkan bagai seorang pahlawan tentu dapat dipahami bahwa seorang guru memiliki peran yang sangat signifikan dalam kemajuan nusa dan bangsa. Namun disamping itu, ungkapan ini justru bekonotasi negatif yang menimbulkan pemaknaan yang ambigu. Itu artinya ungkapan ini melahirkan pemaknaan yang heterogen dan mengandung dua kenyataan berbeda.
Disatu sisi Guru menjadi “pahlawan” yang merupakan penyematan untuk menghargai dedikasi dan partisipasi guru dalam kemajuan negara. Namun disini lain, Guru adalah “pahlawan yang dilupakan” karena ketiadaan imbal jasa yang sepadan dan layak atas perjuangan seorang guru. Kesejahteraan para guru terabaikan dan mungkin juga aspirasinya tak didengarkan.
Kondisi ini merupakan “jalan terjal” bagi para tenaga pendidik yang terus-menerus menjadi bagian dari ketimpangan sosial di negara ini. Persoalan ini terus tumbuh dan opis solutif yang dicapai pun belum semaksimal mungkin untuk memperjuangkan hak-hak dari para guru. Bagai langit yang tak berujung, penegakan terhadap hak-hak para guru pun hingga kini juga belum terselesaikan. Dewasa ini banyak kita temui beragam polemik yang berkaitan dengan isu tenaga kependidikan. Permasalahannya ini menjadi isu krusial yang tidak hanya menjustifikasi kehidupan tenaga kependidikan. Disamping itu, muncul juga ketidakberdayaan dari para tenaga pendidik.
Miris melihat banyak dari sekian guru di Indonesia yang nasibnya tak diperhatikan. Para guru seringkali dituntut untuk memiliki profesionalisme dan kualitas yang meyakinkan. Dimana mereka harus mempunyai semangat etos kerja dan daya saing yang berkompeten dalam menjawab beragam tantangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bentuk dari kewajibannya. Namun sangat disayangkan, bahwa sampai detik ini pun banyak dari para guru yang belum dihargai perjuangannya. Seringkali upah yang diterima tidak sebanding dengan tanggung jawab dan pengabdian mereka. Ada pula nasib para guru yang sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil.
Terang Dalam Kegelapan
Dalam memaknai hari guru yang diperingati setiap tanggal 25 November tentu harus dilihat juga mengenai arti dari guru itu sendiri. Kata “guru” berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri atas kata “gu” yang artinya kegelapan dan kata “ru” yang artinya terang. Kata ini mengalami proses pemaknaan yang kemudian dimaknai sebagai “terang dalam kegelapan”.
Peran guru perlu dimaknai sebagai garda terdepan dari bagian usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehadiran guru menjadi momen penting dalam menentukan arah dan nasib bangsa ini kedepannya. Bangsa yang maju tentu tak terlepas dari peran para guru. Bagai terang dalam gelapnya dunia, para guru hadir sebagai penuntun setiap jejak langkah dan juga peristiwa untuk sampai pada cita-cita bangsa ini.
Terlebih lagi kalau kita melihat kegigihan dan perjuangan para guru yang ada di daerah 3T yakni daerah terdepan, terpencil dan terluar. Walaupun dengan segala keterbatasan faktor penunjang yang ada baik itu fasilitas atau kelayakan yang diterima secara personal maupun bersifat publik. Para guru senantiasa memaksimalkan mungkin komitmen mereka untuk terus melangkah dan memberikan cahaya pada setiap sisi jalan yang gelap. Hal ini membuktikan bahwa semangat yang hidup dalam hati setiap insan tenaga pendidik tidak bisa dihancurkan hanya dengan hasrat untuk kepentingan pribadi semata.
Penulis: Valention Sukarto Patihuriq, Kader GmnI Hukum UWKS Surabaya.