Marhaenist.id – Pada pandangan pertama, kapitalisme dan komunisme tampak seperti dua kutub yang tak pernah bisa bertemu. Kapitalisme, dengan semangat pasar bebas dan keuntungan individu, sering dianggap berlawanan dengan komunisme yang mengedepankan kolektivisme dan kontrol negara.
Namun, realitas politik dan ekonomi global membuktikan bahwa ideologi yang berbeda tidak selalu menjadi penghalang untuk mencapai kesepakatan.
Komunikasi antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam To Lam pada April 2025, telah menunjukkan bahwa pragmatisme sering kali mengalahkan perbedaan ideologis.
Pada tanggal 5 April 2025, Trump mengumumkan melalui akun media sosialnya bahwa ia telah melakukan panggilan telepon yang “sangat produktif” dengan To Lam.
Dalam percakapan tersebut, Vietnam menyatakan niatnya untuk menghapus tarif impor dari Amerika Serikat sepenuhnya, sebagai respons terhadap tarif 46% yang diberlakukan Trump terhadap barang-barang Vietnam yang masuk ke AS.
Langkah ini merupakan bagian dari negosiasi yang dimulai setelah Trump menetapkan kebijakan tarif pada 2 April 2025. Bagi banyak pengamat, ini adalah bukti nyata bahwa kepentingan ekonomi dapat menjembatani jurang ideologi yang tampaknya tak terselesaikan.
Vietnam, sebuah negara yang dijalankan oleh Partai Komunis, telah lama dikenal sebagai salah satu ekonomi yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Meskipun berpegang pada sistem politik komunis, Vietnam telah mengadopsi elemen kapitalisme dalam perekonomiannya sejak reformasi Doi Moi pada tahun 1986. Sementara itu, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump dikenal sebagai benteng kapitalisme yang gigih memperjuangkan kebijakan “America First”.
Ketika kedua pemimpin ini duduk bersama, walau hanya melalui telepon, untuk membahas tarif dan perdagangan, dunia menyaksikan bahwa label ideologi tidak selalu menentukan arah hubungan bilateral.
Lebih jauh lagi, pembicaraan ini tidak hanya terbatas pada soal tarif. Menurut Vietnam News Agency, Trump dan To Lam juga membahas penguatan hubungan bilateral dan peningkatan perdagangan. To Lam menegaskan bahwa Vietnam akan terus mengimpor barang-barang yang dibutuhkan dari Amerika, sekaligus menciptakan iklim yang kondusif bagi perusahaan-perusahaan Amerika untuk berinvestasi di Vietnam. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran bersama bahwa kerja sama ekonomi dapat saling menguntungkan, terlepas dari perbedaan sistem politik.

Vietnam membutuhkan pasar dan investasi AS, sementara Amerika melihat Vietnam sebagai mitra strategis di kawasan Asia-Pasifik, terutama dalam konteks persaingan geopolitik dengan Tiongkok.
Kesepakatan ini juga mencerminkan fleksibilitas yang muncul dari kebutuhan pragmatis. Bagi Vietnam, menghapus tarif impor dari AS adalah langkah untuk menjaga akses ke pasar Amerika yang besar, sementara bagi Trump, ini adalah kemenangan dalam mewujudkan janji kampanyenya untuk menciptakan perdagangan yang “adil” bagi Amerika.
Dalam konteks ini, ideologi menjadi sekunder dibandingkan kepentingan nasional dan ekonomi. Siapa bilang kapitalis dan komunis tidak bisa membuat kesepakatan? Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika ada keuntungan yang bisa diraih, perbedaan ideologis sering kali dikesampingkan demi tujuan bersama.
Panggilan telepon antara Trump dan To Lam adalah simbol dari dunia yang semakin kompleks, di mana garis-garis ideologi menjadi kabur di hadapan realitas ekonomi global.
Hal ini bukan pertama kalinya kapitalisme dan komunisme menemukan titik temu—ingat hubungan AS dengan Tiongkok di masa lalu atau kerja sama ekonomi Vietnam dengan negara-negara Barat lainnya.
Namun, peristiwa ini menegaskan kembali bahwa dalam politik internasional, tidak ada yang benar-benar mutlak. Ketika kepentingan bertemu, bahkan kapitalis dan komunis pun bisa duduk bersama, berjabat tangan—atau setidaknya, bertukar kata melalui saluran telepon—dan mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penulis: Edi Subroto, Alumni GMNI Yogyakarta.