Marhaenist.id -Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah lama dikenal sebagai institusi yang disiplin dan efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya, baik dalam menjaga kedaulatan negara maupun dalam operasi militer di lapangan. Namun, penggunaannya sebagai instrumen utama dalam pemerintahan harus menjadi bahan refleksi kritis, terutama dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi. Meskipun TNI memiliki kapasitas dan sumber daya yang mumpuni, pemberian ruang yang lebih besar kepada militer dalam ranah politik dan pembangunan nasional justru dapat mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak era reformasi.
Pertama-tama, perlu diakui bahwa TNI memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas keamanan nasional. Namun, ketika militer mulai mengambil alih fungsi-fungsi yang seharusnya dijalankan oleh institusi sipil, hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam tatanan pemerintahan. Indonesia, sebagai negara demokrasi, harus memperkuat institusi sipilnya, bukan justru mengandalkan militer sebagai tulang punggung pemerintahan. Praktik semacam ini dapat mengarah pada militerisasi politik, di mana militer tidak hanya berperan sebagai penjaga keamanan, tetapi juga sebagai aktor utama dalam pengambilan keputusan politik dan pembangunan.
Pragmatisme dalam pemerintahan seringkali dijadikan alasan untuk melibatkan militer dalam berbagai aspek pembangunan dan politik. Namun, pragmatisme semacam ini tidak boleh mengorbankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Sejarah telah membuktikan bahwa dominasi militer dalam pemerintahan seringkali berujung pada pelemahan tatanan demokratis. Era Orde Baru, misalnya, menunjukkan bagaimana militerisasi politik dapat menciptakan rezim otoriter yang membungkam suara rakyat dan meminggirkan peran institusi sipil.
Reformasi 1998 menjadi titik balik penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, di mana supremasi sipil dan demokrasi dijadikan sebagai fondasi utama pemerintahan. Oleh karena itu, kembali ke model pemerintahan yang memberi ruang lebih besar bagi militer dalam ranah politik dan pembangunan nasional bukanlah langkah yang bijaksana. Hal ini tidak hanya mengancam tatanan demokratis yang telah dibangun, tetapi juga dapat menciptakan ketergantungan yang berbahaya terhadap militer dalam mengelola urusan-urusan sipil.
Dalam konteks global, negara-negara demokrasi yang kuat justru memperkuat institusi sipilnya dan membatasi peran militer dalam politik. Militer harus tetap berada di bawah kendali sipil dan fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Sementara itu, urusan politik dan pembangunan harus diserahkan kepada institusi sipil yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk terus memperkuat institusi sipilnya dan membatasi peran militer dalam ranah politik. Pragmatisme dalam pemerintahan tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Sebaliknya, pemerintah harus berkomitmen untuk membangun tatanan demokratis yang kuat, di mana militer tetap berada di bawah kendali sipil dan tidak mengambil alih fungsi-fungsi yang seharusnya dijalankan oleh institusi sipil. Hanya dengan cara inilah Indonesia dapat memastikan bahwa demokrasi dan supremasi sipil tetap terjaga, dan tidak kembali ke masa lalu yang penuh dengan otoritarianisme dan dominasi militer.