Marhaenist.id – Negara Indonesia telah melewati hari ke 100 dalam naungan pemerintahan Kabinet Merah Putih menghasilkan berbagai polemik besar ditengah masyarakat. Kabinet yang digadang-gadang sebagai kabinet tergemuk dalam sejarah pemerintahan Indonesia, dimana terdapat 48 menteri beserta 56 wakil menteri, menjalankan kewajiban sebagai wakil rakyat yang tidak dapat dikatakan sebagai “wakil rakyat”, namun wakil para cukong atau pemilik modal besar.
Dengan disahkannya revisi UU Minerba No. 3 Tahun 2020, hak rakyat semakin dipangkas guna kelancaran oligarki “bertamasya” memperkaya diri mereka sendiri. Bagaimana tidak, dalam pasal 4 ayat 2 terjelaskan bahwa usaha tambang kini secara langsung diawasi dan ditangani oleh pemerintah pusat dan tidak lagi pemerintah daerah.
Hal ini tentu mempersulit rakyat di kemudian hari ketika usaha pertambangan mengambil alih lahan masyarakat atau merusak lingkungan sekitar permukiman warga, rakyat yang memperjuangkan haknya akan terhambat dengan sulitnya akses dalam mengirimkan laporan tindakan keji tersebut, belum lagi ketika secara sengaja laporan rakyat dipersulit dengan alasan tidak logis guna melanggengkan aktivitas pertambangan tersebut, sehingga tindakan akan baru dilakukan setelah bertahun-tahun lamanya setelah laporan dikirimkan.
Tidak hanya itu, pada pasal 162 menjelaskan bahwa perusahaan tambang dapat melaporkan rakyat yang berupaya menghambat aktivitas pertambangan dengan denda sebesar 100 juta atau pidana kurungan paling lama 1 tahun, ditambah pada pasal 164 dimana rakyat yang dilaporkan dapat dikenakan pidana tambahan berupa perampasan barang tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh tindak pidana, atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana, kebijakan mencekik yang telah melewati ambang batas nilai kemanusiaan, seolah-olah rakyat dipaksa untuk berlutut tak berdaya sementara hak mereka dirampas.
Kerakusan meluas tidak hanya dari eksploitasi masyarakat, melalui pasal 51a, pemerintah juga berupaya menggaet civitas akademika kampus, dimana Perguruan Tinggi diberikan akses untuk dapat mengelola tambang, tentu hal ini merupakan bentuk upaya pemerintah dalam menekan gerakan mahasiswa. Proyeksi yang dikhawatirkan terjadi adalah terjadinya penekanan pejabat kampus terhadap mahasiswa agar mematikan gerakan aksi yang merupakan bentuk dari politik balas budi kepada pemerintah.
Masih banyak pasal yang bermasalah, namun cukup dari dua pasal tersebut saja telah memperlihatkan secara telanjang akan kerakusan pemerintah dalam upaya mengeksploitasi sumber daya alam guna memperkaya diri sendiri.
Tak usai dengan masalah pertambangan, polemik terkait kerusakan lingkungan juga terjadi pada sektor kehutanan, terdapat deforestasi masif yang ditujukan untuk pembangunan skala nasional, seperti Ibu Kota Nusantara dan program ketahanan pangan Prabowo.
Dilansir dari Forest Watch Indonesia, Deforestasi merupakan kegiatan penggudulan hutan dan berubah menjadi kawasan non hutan. Kemudian, defisini diperkuat dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 yang menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Menteri Lingkungan Hutan dan Kehutanan menyebutkan bahwa selama 10 tahun terakhir (tahun 2013 – tahun 2022) deforestasi telah terlaksana sebesar 4,579 juta ha dan menempatkan Indonesia pada peringkat keempat dalam kelajuan deforestasi menurut Global Forest Watch (GFW). Lalu pada tahun 2024 silam, angka deforestasi telah mencapai 261.575 ha dan seluruhnya merupakan deforestasi legal, yang artinya deforestasi dilakukan untuk program pemerintah.
Dalam pidato Presiden Prabowo pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 30 Desember 2024, beliau menyampaikan bahwa Indonesia harus lebih menggencarkan penanaman kebun sawit dan hal ini menuai banyak sekali kritikan dari banyak ahli karena kebijakan ini akan berdampak buruk pada banyak aspek, terkhususnya aspek sosial.
Dilansir dari Kompas (2025), dalam wilayah pedalaman Kota Jambi, terdapat suku bernama Suku Anak Dalam. Suku yang memanfaatkan kekayaan alam sebagai mata pencaharian serta pemenuhan kebutuhan pangan, diusik oleh perusahaan setempat yang melakukan deforestasi dan penanaman kebun sawit.
Salah satu narasumber bernama Pengendum Tandum mengatakan bahwa masyarakat adat kerap berkonflik dalam setiap bulannya dengan perusahaan setempat perihal kehadiran perkebunan di sekitar tempat tinggal masyarakat adat tersebut.
Kemudian dilansir dari laman Instagram amnestyindonesia, upaya perluasan kebun sawit akan berdampak pada berbagai kesenjangan sosial, seperti upah yang tidak sesuai dengan beratnya pekerjaan, penggunaan tenaga kerja dibawah umur, dan diskriminasi terhadap kaum buruh perempuan yang bekerja di kebun sawit.
Belum lagi akan hadirnya program ketahanan pangan yang digadang akan mengambil 20 juta hektar, dan telah banyak ahli yang mengkritik apabila program ini mulai berjalan sepenuhnya, dan permasalahannya pun tidak jauh dari permasalahan sosial.
Pemerintah musti sadar setiap kebijakan yang diambil tentu akan memiliki dampak plus minusnya, namun dalam aktual yang terjadi, lebih berat pada dampak minus dan kemudian bagaimana kerja pemerintah dalam menanggulangi yang dapat dikatakan “tidak serius” dan malah menambah masalah baru.
Selesai daripada permasalahan lingkungan yang mengakar ke berbagai aspek lainya, kemudian hadir juga polemic yang berasal dari program kerja unggulan Kabinet Gemuk ini, yaitu program makanan bergizi gratis.
Program yang dicanangkan sejak pemilu 2024 silam, mulai dilaksanakan dan telah menimbulkan banyak polemik dalam pelaksanaannya, mulai dari pemangkasan anggaran dari yang direncanakan sampai kepada kualitas dari produk makanan yang buruk. Mulai dari pemangkasan dari yang awalnya 15 ribu menjadi 10 ribu per sajian makanan untuk satu anak sudah menumbuhkan rasa khawatir di masyarakat bahwa program ini tidak akan sesuai dengan capaian target gizi anak, lalu sampai pada hari ini, dimana program terlaksana dengan menyajikan makanan yang serba “apa adanya”.
Anggaran yang digelontorkan untuk program ini sebesar 71 triliun untuk tahun 2025, terdapat perencanaan untuk menambah target yang awalnya berjumlah 17 juta anak menjadi 82,9 juta, sehingga terdapat kemungkinan anggaran meledak mencapai 171 triliun, namun menurut Riza Annisa Pujarama, seorang Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa setidaknya butuh 215,54 triliun untuk mencapai penambahan target tersebut. Tentunya hal ini menjadi perhatian untuk alokasi pembagian anggaran ke sektor lainnya, entah anggaran pada sektor mana yang akan dikorbankan untuk memenuhi program ambisius ini.
Hari ini, terlaksananya program MBG menimbulkan permasalahan pada produk makanan yang disajikan, seperti rasa yang kurang enak sampai kepada produk makanan yang beracun. Mengikuti kasus makanan beracun yang terjadi di SDN 40 Sukoharjo Jawa Tengah yang memakan korban 40 siswa dilarikan kerumah sakit, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana mengatakan bahwa bahan pokok program MBG, yaitu ayam, telah ditarik dan diganti dengan telur, hal ini tentu merupakan penurunan kualitas gizi yang terkandung karena gizi protein pada ayam lebih tinggi daripada telur, seharusnya yang perlu dievaluasi adalah bagaimana pengolahan dari bahan makanan tersebut.
Setelah kejadian miris tersebut, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar turun tangan dengan mendatangi MoU dengan Badan Gizi Nasional untuk lebih memperhatikan kelayakan dari produk makanan yang dihasilkan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa tidak dari awal kerja sama ini berjalan?, bukankah BPOM merupakan instansi pemerintah yang juga krusial untuk program MBG ini? Mengapa baru dilibatkan sekarang.
100 hari kerja yang menyedihkan, ntah apa yang akan dihadapi oleh rakyat Indonesia lagi kedepannya, namun semangat untuk selalu memperhatikan dan mengkritisi berbagai langkah kebijakan pemerintah harus tetap terjaga dan meningkatkan setiap detiknya. Kedaulatan rakyat mesti tetap berdiri kokoh.
Mengutip puisi dari salah seorang aktivis Indonesia ternama, Widji Tukhul:
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang,
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversive dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!”
Merdeka!
Marhaen Menang!
Penulis: Azzan Farizi – Wakil Bidang Politik dan Jaringan DPC GMNI Balikpapan.