Marhaenist.id – Beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) belakangan ini memang jadi sorotan publik karena pernyataan mereka yang dianggap blunder atau tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat sehingga dikatakan sebagai Anggota DPR dengan pernyataan kontroversial.
Mereka kadang menganggap dirinya lebih mulia dari dari apapun sehingga mereka harus berbuat sesuka hati yang jauh dari fungsinya serta melupakan apa yang harus diperjuangkannya.
Mereka pula terkadang ingin dihormati dalam segala hal dan dalam keadaan apapun atau gila hormat, padahal mereka saat ingin dipilih sebagai wakil rakyat, mereka harus mengemis bahwa ngemisnya sampai kehilangan harga diri seperti orang yang tak terhormat.
Berikut anggota DPR RI yang menuai kritik karena penyataan kontroversial yang dirangkum oleh Marhaenist.id:
Ahmad Sahroni dari Fraksi Nasdem
Ahmad Sahroni menyebut orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia” saat kunjungan kerjanya di Medan, Sumatera Utara.
Pernyataan ini dianggap merendahkan rakyat dan langsung memicu kemarahan di media sosial.
Ahmad Sahroni juga pernah dianggap kontroversi karena diduga meminta agar negara membiayai perjalanan istrinya yang sedang berada diluar negeri dengan memakai uang negara.
Adies Kadir dari Fraksi Golkar
Adies Kadir sempat menyampaikan bahwa tunjangan beras anggota DPR naik dari Rp10 juta menjadi Rp12 juta, dan tunjangan bensin dari Rp3 juta ke Rp7 juta.
Setelah dikritik, ia mengklarifikasi bahwa data tersebut salah dan menyebut tunjangan beras sebenarnya hanya Rp200 ribu. Namun, kerusakan citra sudah terlanjur terjadi.
Adies Kadir juga menyebut bahwa tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR “ _make sense_” karena harga sewa rumah di sekitar Senayan dianggap mahal. Pernyataan ini dinilai tidak peka terhadap kondisi ekonomi rakyat.
Nafa Urbach dari Fraksi Nasdem
Tak lama setelah klarifikasi Adies, giliran Nafa Urbach yang menuai sorotan. Artis yang kini duduk sebagai anggota DPR Komisi IX dari Fraksi NasDem itu menyampaikan dukungannya terhadap tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan.
“Anggota Dewan itu kan enggak orang Jakarta semua, guys. Itu kan dari seluruh pelosok Indonesia. Nah, mereka diwajibkan kontrak rumahnya dekat-dekat Senayan supaya memudahkan menuju DPR,” kata Nafa, dalam siaran langsung di media sosial.
Dia bahkan membandingkan dengan dirinya yang tinggal di Bintaro dan harus bergulat dengan kemacetan setiap kali menuju Senayan.
Ahmad Doli Kurnia dari Fraksi Golkar
Ahmad Doli Kurnia yang menanggapi soal tidak adanya kenaikan gaji bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun anggaran 2026.
Doli menyebut kenaikan gaji PNS 2026 tak tepat di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja.
Ahmad Doli beranggapan bahwa menaikkan gaji PNS di situasi ekonomi saat ini tidak mudah. Pertama, kata dia, keputusan itu harus melihat kondisi fiskal pemerintah.
Kedua, ada usulan agar PNS bisa bekerja dari mana saja atau work from anywhere. Menurut Doli, menaikkan gaji dengan beban kerja yang dipertanyakan merupakan paradoks.
Pernyataan Ahmad Doli dinilai kontradiktif dengan fakta yang terjadi di lapangan: kini, pendapatan yang diterima anggota DPR meningkat di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sedang tidak baik-baik saja.
Nasim Khan dari Fraksi PKB
Pernyataan kontroversial anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKB Nasim Khan mengudara saat rapat Komisi VI DPR bersama PT KAI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/8). Ia mengusulkan agar diadakan gerbong khusus area merokok atau smoking area di rangkaian kereta api.
Menurutnya, gerbong khusus yang diperuntukkan sebagai area merokok itu bisa sekaligus dijadikan kafe.
Menurut Khan, dulu ada gerbong khusus area merokok tapi kini sudah dihilangkan. Ia mengatakan saat ini sudah hampir tidak ada kereta yang dilengkapi dengan area merokok.
Lebih lanjut, menurut pemikiran Khan, adanya gerbong kereta khusus area merokok ini dapat memberikan manfaat dan keuntungan bagi PT KAI.
Ia pun meyakini dari rangkaian kereta yang cukup panjang, PT KAI bisa menyisihkan satu gerbong khusus untuk area kafe dan merokok itu.
Pernyataan Khan ini menuai kritik tajam dari masyarakat, dan tak terkecuali netizen di media sosial. Tak sedikit yang mempertanyakan mengapa pernyataan tersebut bisa keluar dari mulut seorang wakil rakyat yang seharusnya memperhatikan dan memperjuangkan kehidupan rakyatnya.
Eko Patrio dari Faksi PAN
Saat situasi memanas antara masyarakat dan DPR RI, Eko Patrio mala memparodikan “Sound Horeg” sehingga memancing kritik.
Bukannya menahan diri dari situasi kemarahan masyarakat kepada DPR RI, Eko Pratrio malah mengunggah parodi sebagai operator Sound Horeg.
Unggahan ini pun dianggap menantang rakyat yang tengah mengkritik pedas DPR. Terlebih lagi, video Eko yang berjoget dalam Sidang Tahunan MPR 2025 sudah lebih dulu viral di jagat maya.
Uya Kuya dari Fraksi PAN
Konten pernyataan dari Uya Kuya bahwa gaji Rp3 juta per hari untuk anggota DPR tidalah cukup, memicu juga kemarahan publik.
Mesikipun belakangan, Uya Kuya mengatakan bahwa konten itu adalah konten lama yang dipotong dan disebarkan secara berulang.
Ia menyatakan bahwa video tersebut bukan tanggapan atas isu gaji DPR, melainkan bagian dari konten lama yang dibuat pada Januari 2025.
Meskipun demikian publik mengangap video itu adalah bentuk sindiran atau cibiran terhadap masyarakat yang memicu salah satu kemarahan rakyat kepada DPR RI.
Kontroversi lain Uya Kuyu, saat dalam sidang tahunan parlemen pada Agustus 2025, ia terlihat dalam sebuah video sedang berjoget-joget bersama anggota DPR lainnya.
Ia membela aksinya dengan mengatakan bahwa dirinya adalah artis, sehingga wajar membuat konten seperti itu.
Pernyataannya itu memicu kritik karena dianggap tidak peka terhadap kondisi rakyat dan memperlihatkan citra glamor wakil rakyat.
Deddy Sitorus, dari Fraksi PDI Perjuangan
Deddy Sitorus menjadi sorotan publik pada Agustus 2025 setelah potongan video lawasnya viral kembali di media sosial. Kontroversi ini muncul dari pernyataannya dalam acara Kontroversi di Metro TV yang tayang pada Desember 2024.
Dalam video tersebut, Deddy menanggapi isu perbandingan antara iuran Tapera (3% dari gaji pekerja UMR) dan tunjangan rumah anggota DPR yang bisa mencapai Rp50 juta per bulan.
Ia menyebut bahwa membandingkan DPR dengan “rakyat jelata seperti tukang becak atau buruh” adalah bentuk “sesat logika”.
Menurutnya, perbandingan yang lebih tepat adalah antara DPR dan karyawan BUMN, karena banyak anggota DPR berasal dari luar daerah dan membutuhkan tunjangan rumah.
Istilah “rakyat jelata” memicu gelombang kritik di media sosial. Banyak warganet menilai pernyataan tersebut arogan dan merendahkan konstituen.
Komentar seperti “Dulu ngemis suara sama rakyat yang mana, Pak?” membanjiri platform-platform digital.
Dengan adanya video viral itu, publik menilai Deddy Sitorus sebagai wakil rakyat seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih diksi dan menunjukkan empati terhadap masyarakat.
Meskipun Deddy Sitorus telah buka suara dan menyebut bahwa potongan video tersebut telah disebarkan secara tidak utuh dan keluar dari konteks.
Ia menyebut penyebaran video itu sebagai ulah “buzzer jahat rendahan” yang ingin menciptakan kegaduhan politik.
Meskipun demikian, publik tetap saja memberikan penilaian buruk terhadapnya.
Joget Anggota DPR di Tengah Kondisi Rakyat yang Tak Baik-Baik Saja
Tak hanya secara verbal, tingkah laku anggota DPR usai rapat mereka, yang salah satunya membahas kenaikan tunjangan, menari di atas penderitaan rakyat yang juga ikut jadi sorotan dan menuai kritik pedas dari rakyat.
Selain itu, video viral di media sosial sejumlah anggota DPR RI tampak asyik berjoget di sela rangkaian Sidang Tahunan MPR, di antaranya adalah artis Uya Kuya dan Eko Patrio.
Meskipun Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir berdalih bahwa para anggota DPR berjoget setelah acara inti selesai, tetapi masyarakat menganggapnya sebagai ungkapan rasa senang karena telah mengetuk palu atas kenaikan gaji mereka berserta tunjangannya dengan nilai yang fantastik.*
Kontroversi ini memperlihatkan betapa pentingnya sensitivitas bahasa dalam komunikasi politik, terutama ketika menyangkut isu kesejahteraan dan kesenjangan sosial. Kalau kamu tertarik, aku bisa bantu telusuri dampak politik dari pernyataan ini atau bagaimana media membingkai kontroversi tersebut.
Kontroversi ini juga memperkuat persepsi publik tentang jurang antara gaya hidup elite politik dan realitas rakyat biasa. Banyak yang menilai bahwa wakil rakyat seharusnya lebih menunjukkan empati dan tanggung jawab sosial daripada mencari sensasi.
Dampak dan Respons Publik terhadap Kontroversi Anggota DPR RI
Kontroversi ini memperlihatkan betapa pentingnya sensitivitas bahasa dalam komunikasi politik, terutama ketika menyangkut isu kesejahteraan dan kesenjangan sosial. Kalau kamu tertarik, aku bisa bantu telusuri dampak politik dari pernyataan ini atau bagaimana media membingkai kontroversi tersebut.
Kontroversi ini juga memperkuat persepsi publik tentang jurang antara gaya hidup elite politik dan realitas rakyat biasa. Banyak yang menilai bahwa wakil rakyat seharusnya lebih menunjukkan empati dan tanggung jawab sosial daripada mencari sensasi.
Banyak warga menilai bahwa DPR lebih mementingkan kepentingan politik dan fasilitas mewah daripada aspirasi rakyat.
Akibat dari itu, terciptalah gelombang kritik terhadap DPR RI semakin memuncak, dengan seruan “Bubarkan DPR!” ramai di media sosial dan aksi demonstrasi besar-besaran pada 25 Agustus 2025.***
Catatan Redaksi Marhaenist.id yang dirangkum dari berbagai macam sumber.