Disclaimer : Tulisan ini mungkin telah dimuat sebelumnya di media lain dengan konten yang sama atau serupa. Segala bentuk penyesuaian, pengeditan, atau pembaruan telah dilakukan sesuai dengan kebutuhan penyajian informasi di platform ini. Tulisan ini sengaja dimuat kembali untuk mengenang wafatnya Kholis Malik (Ketua Umum PB HMI Periode 2002-2004/ Ketua Hubungan Antar Lembaga DPP Partai Golkar 20024-2029). Hak cipta dan tanggung jawab isi sepenuhnya menjadi milik penulis atau sumber asli yang relevan, sebagaimana diatur oleh hukum yang berlaku.
Marhaenist – DALAM sejarah peradaban manusia, banyak pelaksanaan akad nikah, prosesi dan resepsi pernikahan yang menarik dan unik. Ada pasangan pengantin yang menyatakan “ijab dan kabul” di dasar laut, ada yang melakukannya di udara dengan menggunakan payung udara, ada yang menggunakan balon udara, di kebun raya, dan lain-lain. Tidak sedikit pula pesta-pesta perkawinan yang diselenggarakan secara besar-besaran, mewah, dan serba “wah.” Tapi ada juga yang dilakukan secara massal.
Namun pernikahan yang satu ini lain dari yang lain. Pernikahan Kholis Malik dengan Wahyuni Refi Setya Bekti, bukan seperti biasanya. Karena Kholis yang Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) adalah seorang Muslim-Nasionalis, sedangkan Refi adalah Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang Nasionalis-Muslim. Untuk itu banyak kalangan berharap, pernikahan kedua aktivis itu merupakan simbol obsesi persatuan Indonesia, bahu-membahu membangun kerjasama dan berbagai dimensi kehidupan.
Akad nikah antara Kholis dan Refi diselenggarakan di Masjid Cut Mutiah, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/10). Sedangkan resepsi diselenggarakan di Gedung Pewayangan Kautaman, TMII, Jakarta Timur, Minggu (12/10) malam.
Tentu berbagai kalangan hadir pada hari bersejarah itu, terutama pada acara malam resepsi. Tak hanya ucapan selamat dan doa disampaikan kepada kedua mempelai, tapi beberapa tokoh memberikan catatan tersendiri atas pernikahan Kholis dan Refi.
Membina hubungan yang akrab antara pria dan wanita dalam kehidupan manusia adalah kenyataan kemanusiaan lainnya. Pernikahan adalah cara yang alami dan wajar untuk mewujudkan kecenderungan alami seorang lelaki kepada seorang perempuan, dan untuk membangun keluarga.
“Karena itu pernikahan yang setia berada dalam santunan Allah dan perlindungan-Nya. Karena pernikahan serupa itu sesungguhnya dibuat dan ditegakkan di bawah nama-Nya,” kata Nurcholish Madjid dalam khutbah nikah.
Ia menyatakan sebagai pakaian satu untuk lainnya, suami dan istri memerlukan sikap saling membantu, saling mendukung, saling melindungi, dan saling mencocoki sebagaimana pakaian mencocoki tubuh. Dan pakaian adalah sekaligus untuk tujuan perhiasan dan perlindungan badan. Sebagai perhiasan, suami atau istri saling menunjukkan rasa santun, cinta, dan kebahagiaan, dan sebagai perlindungan, masing-masing suami dan istri berkewajiban saling menjaga nama, kehormatan, dan hak-hak pribadinya.
Sedangkan Siswono Yudohusodo menyatakan dalam hidup ini, ada hal-hal yang kita tanpa belajar langsung bisa, seperti menangis, melihat, mendengar. Ada yang untuk bisa kita harus belajar, dan kemudian tak akan pernah lupa karena kita melakukannya terus menerus, seperti berjalan, makan dan lain-lain.
Mereka yang sudah menikah puluhan tahun juga masih terus belajar. “Ananda berdua jangan takut belajar hidup dari pelajaran hidup,” pesannya kepada Kholis dan Refi.
Koordinator Gerakan Jalan Lurus dr Sulastomo menuliskan, sepasang muda-mudi melaksanakan pernikahan adalah biasa. Tetapi, kalau pasangan itu antara Refi dan Kholis, ini agak “istimewa.” Refi adalah Ketua Presidium GMNI dan Kholis adalah Ketua Umum PB HMI. Hati manusia, sepasang muda-mudi, ternyata bisa menerobos sekat organisasi, bahkan sekat “ideologi.” “Kelompok Cipayung” (HMI, GMNI, PMKRI, PMII, dan GMNI-Red) mungkin telah mempertemukan mereka.
“Saya termasuk orang yang merasa ikut berbahagia. Refi, insya-Allah adalah seorang Nasionalis-Muslim yang baik. Sedangkan Kholis adalah seorang Muslim-Nasionalis yang baik pula. Kalau ada yang berpendapat, itulah wajah Indonesia, maka perkawinan Refi-Kholis membuktikan kebenaran wajah itu. Keduanya membuktikan, bahwa tidak boleh ada ‘dikotomi’ antara nasionalisme dan Islam. Seandainya saya menjadi perancang pelaminannya, di sebelah Refi akan saya pasang bunga hias logo HMI, sementara di sebelah Kholis, akan saya pasang bunga hias logo GMNI. Sungguh, banyak yang tersirat dari perkawinan keduanya,” kata Sulastomo.
Ir Akbar Tandjung yang Ketua DPR RI menilai Kholis Malik dan Wahyuni Refi adalah dua nakhoda dari dua kapal yang berbeda, yang kini hendak berlabuh di dermaga yang sama untuk membangun asa yang tidak berbeda. Ini merupakan suatu yang langka! Meskipun –barangkali– mereka dulu sering gontok-gontokan, beradu kekuatan menunjukkan eksistensi grup.
“Tapi itu masa lalu! Kini mereka sudah ‘taubat’ membangun dunia yang lebih bermartabat dan terhormat, karena mereka kini lebih mengutamakan kerjasama membangun cita berdasarkan cinta hingga terlahir realita yang penuh makna –sebagaimana ‘Kelompok Cipayung’ yang pernah saya rintis dahulu,” katanya.
Akbar menambahkan, perpaduan religiusme-nasionalisme merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan kehadirannya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa membangun secara seimbang antara sisi keagamaan dengan sisi kenasionalan. Darinya akan lahir “bayi” yang memiliki dedikasi dan karakter. Ia tidak mudah tergiur oleh kemewahan yang ditawarkan oleh negara atau bangsa lain, tetapi memiliki keinginan kuat untuk membangun kemewahan di negeri sendiri dalam bingkai spiritualitas agama dan negara,” ujarnya.
Sedang Harry Tjan Silalahi mengemukakan ungkapan kata-kata: Perkawinan Refi dan Kholis ini adalah unik. Semua perkawinan pada hakikatnya adalah unik, karena dia adalah komitmen rohani yang mendasarkan diri pada dua insan atas dasar cinta kasih, sekaligus menyediakan diri untuk melanjutkan ciptaan umat manusia. Refi dan Kholis sudah berikrar membentuk suatu keluarga yang sakinah, dengan menerima model keluarga yang dikehendaki oleh Allah sebagai lembaga alamiah dengan segala fungsinya yang tak tergantikan berdasarkan rencana Allah, wis jodo, orang bilang.
Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jumly Asshidiqie SH mengatakan “Saya turut berbahagia menyaksikan peristiwa ini, karena mencerminkan perkawinan budaya yang sangat bersejarah di antara dua kebudayaan dominan dalam kehidupan kita,” katanya singkat.
Menarik ditulis, kebetulan calon mempelai adalah pentolan dari dua organisasi pemuda dan mahasiswa yang establish di Indonesia. Si pria, Kholis Malik, asli Ciamis, Ketua Umum PB HMI; perempuan, Wahyuni Refi, arek Suroboyo, Ketua Umum GMNI. Masing-masing mewakili genre idiologinya, dimana satu pihak adalah pengemban semangat paham pembaru Pan Islamisme Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani, sedangkan pihak lain sebagai penyokong setia paham modern state “nasionalisme”-nya Bung Karno, kata Martimus Amin (praktisi hukum).
Demikian penggalan atau cuplikan “kado” untuk kedua mempelai yang disampaikan berbagai tokoh yang dikemas dalam sebuah buku mungil bertajuk “Ketika Bilqis dan Sulaiman Menyatu.” Kumpulan tulisan itu bukanlah sesuatu yang dilebih-lebihkan. Tetapi itu adalah sebuah kenyataan yang penuh harapan untuk membangun Indonesia yang memiliki latar belakang multi, baik menyangkut soal suku, agama, ras, dan juga golongan.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa pernikahan antara Kholis Malik (Ketua Umum PB HMI) dan Wahyuni Refi Setya Bekti (Ketua Presidium GMNI) semoga menjadi awal runtuhnya sekat nasionalis dan agamis dalam wacana pergerakan masyarakat Indonesia. Selamat!
Penulis: A. Basori