Marhaenist.id – Perairan Laut China Selatan selalu menjadi “palagan geopolitik” yang terus memanas dan bisa menganggu stabilitas keamanan kawasan dalam jangka panjang. Lautan ini menjangkau wilayah mulai dari Selat Malaka hingga Selat Taiwan, serta memiliki luas sekitar 3.500.000 km2. China secara sepihak pada tahun 1947 menyatakan perairan tersebut sebagai wilayah mereka dan menandainya dengan sembilan garis putus-putus (the nine-dash line). Tentu tindakan tersebut memicu protes dari Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam, yang juga mengklaim sebagian dari Laut China Selatan sebagai wilayah mereka.
Namun akhir-akhir ini China justru semakin massif dan ekspansionis menguasai wilayah perairan Laut China Selatan. Pada tahun 2021, Bloomberg melaporkan, China telah memiliki kota terluas di dunia di Laut China Selatan, yakni kota Sansha. Merujuk laporan US Naval War College, kota yang didirikan di Pulau Woody pada 2012 itu telah memiliki luas total 800.000 mil persegi atau 2.072.000 kilometer persegi dalam nine-dash line hasil imajinasi China. Kota-kota reklamasi ini dipenuhi oleh bangunan kantor, pangkalan militer, radar, pelabuhan, desalinasi air laut, fasilitas pengolahan limbah, perumahan rakyat, sistem peradilan, jaringan 5G, sekolah, penerbangan reguler ke dan dari daratan, serta infrastruktur lain. Kota Sansha ini menjadi simbol “supremasi China” atas wilayah perairan Laut China Selatan.
Ekspansionisme China di Laut China Selatan juga menimbulkan reaksi dari negara-negara lain, termasuk kekuatan superpower lama, yakni Amerika Serikat. Berbeda dengan China, kehadiran Amerika Serikat di Laut China Selatan tidak melalui skema unilateral claim (klaim sepihak) atas wilayah perairan Laut China Selatan, melainkan melalui pakta pertahanan, aliansi atau kerjasama baik di bidang militer maupun non-militer.
Ada tiga aliansi besar yang dikomandoi Amerika Serikat bersama apa yang mereka sebut sebagai coalition of the willing, sebuah aliansi strategis yang bisa melakukan campur tangan untuk intervensi militer maupun politik-ekonomi atas nama kemanusiaan atau stabilitas keamanan sesuai dengan American values yang menjadikan Amerika sebagai world policemen (polisi dunia). Dalam konteks Laut China Selatan, kehadiran Amerika Serikat berada dibawah bendera atau atas nama “kebebasan bernavigasi”.
Tiga aliansi strategis yang disponsori Amerika Serikat yaitu Quadrilateral Security Dialogue (Quad), Australia, United Kingdom and United States (AUKUS), dan The Five Power Defence Arrangements (FPDA). Quad fokus pada kerja sama non-militer. AUKUS dan FPDA fokus pada aliansi militer. Semua aliansi ini menjadikan Laut China Selatan sebagai titik krusial dalam semua skema kerjasama di kawasan Indo-Pasific. Semua aliansi juga didasarkan pada kekhawatiran yang sama yakni kekhawatiran terhadap peningkatan laju kekuatan militer China. Dari London sampai Washington hingga ke Canberra dan Tokyo serta New Delhi, semua menganggap Beijing sebagai ancaman.
Panasnya persaingan China dan Amerika Serikat di kawasan Laut China Selatan kian diperparah dengan semakin intensifnya Chip War (perang chip) diantara kedua negara. Sepanjang 2021, selain simbol kedigdayaan negara dalam teknologi, yang terlihat jelas dalam persaingan AS-China, chip semikonduktor menampilkan posisinya yang sangat krusial di tengah melejitnya kebutuhan perangkat teknologi modern. Pada Agustus 2022, Biden telah meluncurkan CHIPS and Science Act (CSA) dan mencoba meluncurkan ”Chip 4 Alliance”. Tujuannya, mencegat kemajuan China dalam pengembangan industri chip, termasuk mengajak Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Departemen Perdagangan AS juga memberi perintah kepada sejumlah perusahaan teknologi, yaitu KLA Corp, Lam Research, Applied Materials, Nvidia, dan Advanced Micro Devices, agar tidak mengekspor bahan maupun alat pembuatan cip semikonduktor di bawah 14 nanometer ke China. Amerika Serikat sedang berupaya membendung akselerasi teknologi semikonduktor dari China. Caranya, dengan memberlakukan pembatasan penjualan produk semikonduktor beserta perangkat produksinya dari China. AS tidak mau China menguasai teknologi canggih berkelanjutan. Apalagi, teknologi semikonduktor ini, selain vital untuk produksi ponsel pintar, juga diterapkan pada teknologi sehari-hari, militer, dan antariksa.
Pembatasan yang dilakukan AS ini cukup merepotkan China. Perusahaan konsultan di Beijing, CCID, menaksir industri semikonduktor China kekurangan hingga 220.000 pekerja ahli. Lembaga konsultan lain, Gartnet Co, menyebut China akan butuh lama untuk mengatasi ketertinggalan industri semikonduktor. Selama ini China adalah konsumen semikonduktor terbesar di dunia.
Dari 580 miliar dollar AS pendapatan produsen semikonduktor global 2022, sebanyak 415 miliar dollar AS didapat dari pasar China. Beijing menghabiskan lebih banyak uang untuk mengimpor semikonduktor dibandingkan untuk membeli minyak. Maka berlanjutnya perang chip bukan hanya berdampak buruk bagi pasar semikonduktor global namun juga ikut meningkatkan tensi geopolitik global, termasuk ikut menentukan arah konstelasi geopolitik di kawasan Laut China Selatan.
Chip is The New Oil: Jalur Rantai Pasok Semikonduktor
Dunia kita akhir-akhir ini semakin terdigitalisasi, hampir semua aktivitas manusia saat ini tak terlepas dari sentuhan teknologi. Perkembangan dan inovasi teknologi layaknya kecerdasan buatan, komputasi kuantum, dan Internet of Things tak bisa lagi dibendung. Laporan terbaru We Are Social dan Hootsuite menunjukkan, jumlah pengguna internet di seluruh dunia telah mencapai 5,16 miliar orang pada Januari 2023. Jumlah tersebut mencapai 64,4% dari populasi global yang totalnya 8,01 miliar orang. Hal ini menunjukan bahwa teknologi internet bukan lagi barang sekunder, melainkan telah menjadi barang primer, layaknya kebutuhan pokok manusia guna menjalankan aktivitas hidupnya.
Semakin vitalnya peran teknologi internet, maka peranan semikonduktor niscaya semakin memegang peranan kunci. Semikonduktor adalah zat yang memiliki sifat kelistrikan tertentu yang memungkinkannya berfungsi sebagai fondasi komputer dan perangkat elektronik lainnya. Sehingga semikonduktor merupakan tulang punggung komunikasi modern dan teknologi data. Dengan semikonduktor memungkinkan sistem teknologi berjalan secara efisien, aman, bersih dan pintar. Menurut OECD, semikonduktor dapat dipisahkan menjadi dua kategori besar: integrated circuit (IC) dan opto-elektronik, sensor, dan semikonduktor diskrit (OSD). Chip (atau IC) dapat dipahami sebagai bagian dari semikonduktor yang menyumbang sekitar 83% dari seluruh penjualan semikonduktor.
Chip inilah yang sering disebut sebagai “otak” dari perangkat elektronik modern. Chip berbentuk rangkaian logika, memori, mikro, atau analog yang bertugas menjalankan otak komputasi dan berfungsi memproses kode biner, menyimpan informasi/data, hingga mengubah data analog, seperti rekaman suara, menjadi data digital. Berdasarkan data Rabobank Research, di antara semua kategori semikonduktor, chip kategori logika dan memori memiliki pangsa pasar terbesar dan menguasai lebih dari separuh pasar global. Tren permintaan akan semikonduktor dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan.
Menurut data Asosiasi Industri Semikonduktor (SIA) penjualan semikonduktor global mencapai US$46,6 miliar selama bulan Oktober 2023, meningkat 3,9% dibandingkan dengan total penjualan pada bulan September 2023 sebesar US$44,9 miliar. Peningkatan penjualan ini sebagai akibat meluasnya penggunaan AI generatif setelah peluncuran ChatGPT, sebuah chatbot AI yang dikembangkan oleh OpenAI yang berbasis di AS, dan peningkatan penjualan mobil listrik, PC dan ponsel pintar. Kondisi dunia yang mengedepankan teknologi membuat chip menjadi the new oil, sebagai komoditas penentu tatanan geopolitik global dalam lima dekade ke depan.
Namun yang menjadi masalah krusial, semikonduktor merupakan komoditas dengan tahapan produksi yang cukup panjang. Spesialisasi geografi dalam rantai pasoknya menyebabkan produksi sebuah chip harus melintasi antar negara bahkan benua. Berdasarkan data Boston Consulting Group, ada sekitar 50 titik dalam rantai pasok semikonduktor, dengan satu kawasan memegang lebih dari 65% pangsa pasar global. Sekitar 75% kapasitas produksi semikonduktor, serta banyak pemasok bahan utama seperti silicon wafers, photoresist dan bahan kimia khusus lainnya terkonsentrasi di Asia Timur, wilayah yang sangat rentan terhadap ketegangan geopolitik. Bahkan kapasitas manufaktur semikonduktor yang paling mutakhir, dengan kemampuan menghasilkan node di bawah 10nm saat ini berada di Korea Selatan (8%) dan Taiwan (92%).
Dalam struktur rantai pasok semikonduktor global, Uni Eropa, Jepang, dan AS lebih terlibat di segmen hulu rantai pasok, mereka mendominasi ekspor bahan kimia layaknya silicon, germanium, dan lainnya yang menjadi bahan baku semikonduktor. Bahan baku layaknya batang silicon kemudian dipotong menjadi wafer di Korea Selatan. Wafer ini kemudian digunakan untuk membuat integrated circuit (chip) oleh pabrik di Taiwan. Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) adalah produsen chip semikonduktor terbesar di dunia.
Mengutip data TrendForce, TSMC menguasai 54% pangsa pasar semikonduktor dunia pada 2020. Disusul raksasa elektronik Korea Selatan, Samsung, berada di peringkat kedua dengan pangsa pasar 17%. Selain Asia Timur, Asia Tenggara juga berperan aktif dalam industri semikonduktor, terutama Malaysia dimana Outsourced Semiconductor Assembly and Test (OSAT) yang berpusat di Penang yang dijuluki Silicon Valley dari Timur berperan merakit, mengemas, dan menguji chip semikonduktor. Baru kemudian pabrik-pabrik di China yang berperan mengintegrasikan chip ke dalam produk elektronik akhir baik untuk kebutuhan konsumen maupun industri, seperti smartphone, mobil listrik dan lainnya.
Melihat data ini, Asia Pasifik menjadi episentrum semikonduktor global. Maka kita perlu merevisi tesis Mackinder bahwa kawasan heartland yang menjadi titik tolak geopolitik global bukan lagi berada di Asia Tengah dan Timur Tengah yang menjadi sentra produsen minyak dan gas alam dunia melainkan bergeser ke Asia Pasifik yang menjadi basis produksi chip semikonduktor global sebagai the new oil. Di tengah kondisi semacam ini, Laut China Selatan memiliki peranan yang sangat vital.
The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memperkirakan sekitar 80 persen volume perdagangan global dilakukan melalui laut. Laut Cina Selatan berkontribusi terhadap sepertiga perdagangan global. Bagi banyak negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Laut China Selatan merupakan persimpangan maritim yang penting untuk perdagangan. Menurut CSIS, lebih dari 64 persen perdagangan maritim China dan hampir 42 persen perdagangan maritim Jepang melewati Laut China Selatan pada 2016. AS memiliki lebih dari 14 persen kapal niaganya melewati wilayah tersebut. Bahkan 20% perdagangan maritim di Eropa berhubungan dengan Laut Cina Selatan.
Artinya, Laut China Selatan bukan hanya penting bagi negara-negara Asia akan tetapi juga penting bagi negara-negara di kawasan barat Pasifik, karena hanya merupakan satu-satunya rute menuju pasar-pasar utama di Amerika dan Eropa. Sekitar 5 triliun dollar AS nilai perdagangan melewati kawasan ini. Bahkan, menurut laporan The Wall Street Journal, ekspor dan impor Amerika Serikat di kawasan ini saja mencapai 1,2 triliun dollar AS. Maka tak berlebihan jika Laut China Selatan disebut sebagai buffer zone (zona penyangga) bagi Asia Pasifik yang menjadi pusat industri chip semikonduktor global.
Paradigma Baru Gerakan Non-Blok
Kita telah melihat bahwa rantai pasok chip semikonduktor memiliki interkoneksi atau saling ketergantungan geografis. Maka dibutuhkan kemapanan geopolitik terutama stabilitas kawasan jangka panjang untuk keamanan rantai pasok semikonduktor global. Karena perang chip apabila terus menerus meningkat eskalasinya bukan hanya berdampak pada China dan Amerika Serikat namun juga masyarakat global. Masa depan dunia sedang dipertaruhkan. Dan keamanan rantai pasok semikonduktor global tak bisa dilepaskan dengan keamanan geopolitik Laut China Selatan yang menjadi buffer zone dari kawasan Asia Pasifik sebagai heartland industri chip semikonduktor global.
Artinya rantai pasok chip semikonduktor ini rawan menghadapi guncangan akibat tensi geopolitik di Laut China Selatan yang terus memanas. Untuk itu, perlu ada paradigma baru dalam menyelesaikan problem geopolitik Laut China Selatan. Karena dominan paradigma yang digunakan dalam merespon masalah geopolitik Laut China Selatan saat ini yakni unilateralisme dan pakta pertahanan maupun blok ekonomi-politik sehingga muncul fragmentasi pro-China dan pro-Amerika. Negara-negara ASEAN seringkali hanya menjadi proxy dari dua kekuatan besar yang sedang bertarung. Padahal kita mengenal peribahasa “dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah”, dua kekuatan besar bertarung namun negara-negara berkembang di ASEAN terkena dampak sistemik yang merugikan negaranya.
Maka kita perlu meredefinisi kembali paradigma gerakan non-blok (non-aligned movement) yang pernah dicetuskan oleh Bung Karno, founding father kita. Gerakan non-blok tentu perlu diaktualisasikan ditengah kondisi dunia yang berubah, yang berada dalam ketegangan chip war. Salah satu values yang dapat menjadi falsafah baru atau new paradigm dari gerakan non-blok saat ini adalah global connectivity, konektivitas global atau saling ketergantungan (interdependensi) adalah sebuah keniscayaan yang mesti diterima sebagai kesadaran dalam membangun hubungan antar negara. Karena dunia yang terfragmentasi dalam blok/pakta atau tindakan sepihak (unilateral) hanya merugikan semua pihak, tak ada yang diuntungkan karena pada faktanya semua rangkaian kegiatan layaknya rantai pasok memiliki saling ketergantungan geografis.
Hal utama yang perlu ditekankan dalam paradigma baru gerakan non-blok yakni pemahaman akan “kedaulatan” (sovereignty). Bahwa kedaulatan tidak bisa diartikan secara ekslusif yang seringkali terdistorsi oleh apa yang disebut Bung Karno sebagai “nasionalisme merkantilis”, suatu nasionalisme perdagangan yang mengejar kepentingan sendiri yang seakan-akan terlepas dari yang lain. Bahkan cenderung hendak meniadakan the others, yang lain yang dianggap berbeda, yang bukan bagian dari himpunan, yang disisihkan untuk tak bisa ambil bagian.
Maka paradigma baru gerakan non-blok harus juga didasarkan pada komitmen akan “inklusivitas” yang menghormati yang berbeda dalam keberbedaannya dan yang lain-lain dalam kelainannya. Dalam Bahasa Bung Karno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam bumi nasionalisme. Sebaliknya nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sari internasionalisme.
Tantangan terbesar dari paradigma baru gerakan non-blok adalah keyakinan akan ide-ide ilusif akan great power, world policeman, yang dibayang-bayangi hasrat akan supremasi kekuatan superpower yang utuh dan tak retak yang mencoba membagi dunia secara tradisional dalam kerangka dunia “pusat” dan “periferi”. Namun ditengah rantai pasok global yang mengalami keterkaitan secara geografis, gagasan semacam ini telah usang dan tak relevan. Maka ASEAN relevan untuk menjadi lokomotif penggerak dari paradigma baru gerakan non-blok yang mempromosikan konektivitas dan iklusivitas global sebagai sebuah upaya mengatasi krisis geopolitik Laut China Selatan dan melindungi kedaulatan masing-masing negara.***
Arjuna Putra Aldino, Ketua Umum DPP GMNI.