Marhaenist.id – “Pada pagi hari 8 Oktober 1995 itu, Kak Niko dan saya sempat melantik Anggota Baru Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pasca digodok dalam PPAB. Saya ingat benar, di antara anggota baru yang kami lantik itu, ada mahasiswa bernama Raymundus Fernandes yang di kemudian hari menjadi Bupati Timor Tengah Utara (TTU) dua periode.”
Kutipan di atas saya petik kembali dari tulisan di layar Pos Kupang online, mengenang mendiang Niko Frans (mantan Ketua GMNI Kupang), bertajuk: “Kepingan-kepingan Kenangan bersama Kak Niko; Dari Bali hingga Manado, yang bertanda terbit 6 Juni 2024. Ini artinya belum genap satu tahun berlalu, masih kurang tiga bulan menuju masa setahun kepergian Kak Niko.
Ahhhh, saat ini, hati ini terasa begitu getir dihantam duka kembali. Duka kolektif keluarga besar GMNI se-NTT, pasca berpulangnya adikku se-almamater GMNI Kupang, Raymundus Sau Fernandes, Bupati Timor Tengah Utara (TTU) dua periode (2010-2015 dan 2016-2021).
Dalam sepuluh tahun beliau menjadi Bupati TTU, beta terbiasa menyapanya dengan “Ade Bupati Ray”. Sebutan Ade merujuk pada perasaan persaudaraan; sebagai kakak-adik dalam keluarga besar GMNI di NTT, dan sebutan Bupati merujuk pada sikap respek atau rasa hormat beta pada pencapaian kapasitas kepemimpinan yang telah diraihnya. Acapkali beta pun menyematkan sapaan semacam itu bagi adik-adik alumni GMNI lainnya sesuai peran yang sedang mereka emban misalnya: “Ade Legislator”, “Ade Komisioner”, “Ade Birokrat”, “Ade Dosen”, “Ade Guru”, “Ade Seniman”, dan lain sebagainya.
Kembali ke momen waktu, 8 Oktober 1995, di Sekretariat GMNI, Jalan Anggur, area belakang Margasiswa PMKRI Kupang. Setelah pagi hari, kami berdua; Bung Niko Frans selaku Ketua DPC GMNI Kupang dan saya selaku Sekretaris DPC melantik para anggota baru GMNI, sore harinya beta flight ke Jakarta (bersama tiga orang kawan sesama “pensiunan dini” Pos Kupang) demi melanjutkan pengembaraan jurnalistik di rimba raya metropolitan Jakarta, tepatnya di redaksi koran Berita Yudha.
Dari hampir 100 orang anggota baru yang dilantik, hingga saat ini beta masih “hafal” beberapa nama sekaligus wajah mereka yakni Raymundus Sau Fernandez, Yoppi Lati (kini wartawan Timor Express), Ekachaty Lily Adoe (kini Legislator NTT), Maria Margaretha Bhubhu (kini pegiat masalah perempuan dan perlindungan anak), Thesa Rato (Guru di SMAK Regina Pacis Bajawa), dan Martinus Kapitan Murin (adik kandung beta, kini ASN di Kabupaten Lembata).
Beta hafal keenam nama tersebut, bukan berarti saya tak mengingat eksistensi para anggota baru lainnya di angkatan 1995 itu. Saya tetap memosisikan semua mereka sebagai “adik sendiri”, tanpa pilih kasih. Artinya di saat mana mereka memang membutuhkan saran, bimbingan, dan atau motivasi pergerakan pun motivasi kehidupan, saya pasti selalu menyediakan ruang yang lebar di bilik hati untuk mereka semuanya.
Ingatan saya pada nama anggota baru tersebut, lebih karena memori beta mencatat bahwa dalam masa penggodokan calon anggota baru GMNI Kupang angkatan tahun 1995 ini, kelima nama ini cukup dinamis dalam hal berpendapat/bertukar gagas, dan cukup aktif bersosialisasi selama masa PPAB (Pekan Penerimaan Anggota Baru), serta sesekali bersuara kritis terhadap kekhilafan panitia pelaksana PPAB.
Yang sempat saya tahu, trio cowok dari keenam nama anggota baru ini (Ray, Yoppy, dan Martin) amat karib dalam pergaulan mereka. Ketiganya punya kebiasaan suka “baku olok badan” (berguyon) dalam gradasi atau level yang “rusak punya” (bermakna kocak/lucu dalam tingkat nilai rasa berguyon khas orang NTT). Bila diungkapkan dengan idiom bahasa Kupang, maka cara berguyon si trio ini memang “su ngeri punya na”.
Saya sonde, sekurang-kurangnya kurang terlalu tahu, apakah kebiasaan berguyon mereka semasa mahasiswa masih sama ketika mereka telah tiba pada area pencapaia profesi mereka masing-masing. Feeling saya, ketiganya kalau masih suka berguyon, maka gradasi kengeriannya pasti agak menurun, ya ada kesadaran untuk “ukur-ukur badan” juga, mengingat usia yang terus menua dan kapasitas formal publik yang menempel pada diri mereka masing-masing.
Pasca migrasi beta ke Jakarta tahun 1995 itu, kendati tetap melaksanakan “tugas dari jauh” sebagai Sekretaris DPC GMNI Kupang, beta praktis tidak lagi intens memantau kiprah adik-adik kader GMNI angkatan 1995. Namun, lebih dari lima tahun setelahnya, beta mendengar kabar bahwa Ray telah terpilih sebagai wakil rakyat TTU. Ray bahkan berhasil meraih posisi Wakil Ketua DPRD TTU. Beta sama sekali tidak kaget mendengar kabar pencapaian Ray di panggung politik lokal TTU, sebab beta telah melihat manifestasi talenta kepemimpinannya saat dulu ia mulai menempa diri di GMNI Kupang.
Perjumpaan dengan Wakil Bupati TTU
Melompat ke perjalanan waktu ke tahun 2007, pada momen seminar kebangsaan memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni, dan Harlah Bung Karno 6 Juni, yang diselenggarakan oleh GMNI Cabang Ende. Momen itu berimpitan dengan suasana politik pasca Pilkada Kota Kupang, dan beberapa pekan sebelum pelantikan Walikota dan Wakil Walikota terpilih yakni Daniel Adoe dan Daniel Hurek (Duo Dan).
Saat itu, saya yang sedang mengabdi sebagai Tenaga Ahli Kemenpora RI di Jakarta, hendak hadir ke Ende, karena sturut diundang sebagai pembicara oleh otoritas GMNI Ende. Untuk mensiasati kehadiran saya di Ende, saya sengaja meminta pimpinan di Kemenpora agar memberikan tugas pemantauan program Kemenpora di Kupang. Artinya supaya bisa turun ke NTT dengan “nunut” pada SPPD Kemenpora. Soal bagaimana teknisnya dari Kupang bisa melanjutkan perjalanan ke Ende, itu urusan nanti. Yang terpenting sampai dulu di Kupang. Saya selalu yakin bahwa kalau sudah tiba di kampung halaman sendiri, maka tidak mungkin terlantar dari dimensi pembiayaan.
Puji Tuhan, alhamdulilah, pertolongan Tuhan selalu tepat waktu dan tidak pernah terlambat. Seusai tugas pemantauan Kemenpòra di Kupang, beta berkoordinasi dengan otoritas GMNI Ende dan mendapatkan konfirmasi bahwa Wakil Bupati TTU Raymundus Sau Fernandez juga akan hadir dalam acara di Ende. Bahkan, Wakil Gubernur NTT Frans Lebu Raya yang juga tokoh sentral GMNI di NTT, telah dijadualkan hadir meresmikan gelaran acara seminar GMNI Ende.
Singkat cerita, saya memutuskan untuk tidak “mengganggu” senior Frans dalam hal mengatasi kendala teknis ke Ende. “Plan B” pun dimainkan. Setelah berkoordinasi dengan “protokoler tak resmi” dari Wakil Bupati Ray, saya mendapatkan berita bagus bahwa beta bisa berangkat dari Kupang ke Ende atas fasilitasi Wakil Bupati Ray. Puji Tuhan, alhamdulilah, kendala teknis yang paling krusial telah teratasi. Su tahu to, kendala teknis itu adalah tiket Kupang-Ende, pp. Begitu sudah “takdir” aktivis tipe dompet gemetar seperti saya.
Setiba di Ende, dalam persiapan akhir pelaksanaan seminar, saya sejenak mengajak bicara pimpinan DPC GMNI Ende yakni Bung Vincen Sangu, dan mendiang Wempi Hadir, representasi unsur panitia. Wabup TTU pun telah berada di ruangan acara. Saya bertanya dalam suara agak berbisik ke Vincen dan Wempi, apakah Wabup TTU juga menjadi Pembicara dalam seminar. “Tidak Abang Vik, Bang Ray hadir hanya untuk memberi semangat kepada kami adik-adik,” begitu kira-kira jawaban Vincen.
“Begini Ade, nanti tolong klarifikasi kepada peserta seminar mengenai perubahan daftar pembicara. Dengan tetap menghormati rancangan acara yang sudah disiapkan, tolong segera dekati Bang Ray, minta beliau untuk juga berkenan tampil di panggung seminar sebagai Pembicara. Secara praksis moral ideologis, bila GMNI di daerah membuat acara sebesar seminar ini, maka sebisa mungkin GMNI harus menampilkan pula tokoh-tokoh alumninya yang telah menjadi pejabat politik pemerintahan di daerah. Ini strategi mengonfirmasikan kepada publik tentang rekam jejak kader GMNI dan keberhasilan kaderisasi GMNI. Ini juga penting untuk menumbuhkan kebanggaan kolektif komunitas GMNI agar semua anggota GMNI selalu termotivasi untuk bergerak maju dalam perjuangan ideologis dengan turut bercermin pada keberhasilan jejak langkah senior-seniornya,” begitulah kira-kira beta mengajukan saran.
Vincen dan Wempi setuju dan bersegera untuk meminta Wabup TTU tampil juga sebagai Pembicara. Puji Tuhan, Alhamdulilah, terjadilah demikian seperti yang diharapkan. Maka, tampillah di atas panggung sebagai Pembicara adalah eberapa tokoh lokal di Kabupaten Ende, saya selaku Tim Asistensi Kemepora RI, dan Wabup Ray sebagai tokoh birokrasi dari TTU.
Beberapa jam seusai sesi kami berbicara di seminar tersebut, saat siang hari telah datang bertamu, hadirlah di tengah-tengah peserta seminar Wagub NTT Frans Leburaya untuk meresmikan seremonial rangkaian event seremonial yang telah dirancang oleh GMNI Ende. Kini, saat menulis artikel beraroma feature ini, terkesiaplah saya di dalam hening; bahwa perjumpaan di “Kota Pancasila” Ende, antara saya, Senior Frans, dan Ade Ray ternyata itu menjadi “pertemuan segitiga” kami yang terakhir kalinya. Ahhhhh, kini Senior Frans dan Ade Ray sudah pergi jauh. Jauh sekali, dan tiada pernah kembali.
Bersua Bupati Ray di Arena Kongres Alumni GMNI
Meloncat ke pergerakan waktu di tahun 2015. Ketika itu, belum berhitung sebulan saya dan keluarga kembali ke Jakarta. Sekira awal bulan Agustus 2015, Persatuan Alumni GMNI melangsungkan kongresnya di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Kemayoran, Jakarta Pusat. Dua tahun sebelumnya, di tahun 2013, seiring beta pamitan “pensiun” dari kantor Kemenpora RI, kami sekeluarga sudah pulang menetap di Manado, Sulawesi Utara. Namun, perjalanan waktu mengubah lagi langkah kehidupan. Kami sekeluarga harus balik lagi ke Jakarta, karena saya menyahuti ajakan untuk menjadi Tenaga Ahli Anggota DPR RI Melchias Markus Mekeng, dari Fraksi Partai Golkar.
Pada hari H pembukaan Kongres PA GMNI, yang dibuka langsung oleh Presiden Jokowi, saya mendatangi arena kongres. Bukan sebagai pengurus PA GMNI lantaran beberapa tahun sebelumnya saya sudah mengundurkan diri dari kepengurusan pusat PA GMNI. Saya pun datang tidak sebagai partisipan kongres karena memang tidak diundang. Saya datang sebagai pribadi alumnus GMNI untuk menunjukkan respek pada semua sahabat para kader bangsa jebolan GMNI, yang sedang berkumpul dalam kebersamaan di suatu acara formal tertinggi organisasi.
Di masa rehat pasca seremoni pembukaan Kongres PA GMNI, saya pun menyempatkan diri bersua sejenak dengan antara lain kolega terdekat beta di DPC GMNI Kupang dulu, yakni Bung Niko Frans. Saya menjadi Sekretaris DPC GMNI Kupang saat mendiang Kak Niko menjabat Ketua. Saya pun berpapasan dan bergurau barang sejenak dengan beberapa yunior alumni se-almamater GMNI Kupang. Di pelataran depan aula arena PRJ tempat pelaksanaan kongres, saya dan beberapa kawan alumni dari sejumlah daerah di Indonesia bercengkerama dan berdiskusi ala kadarnya. Di antara kumpulan lima sampai enam orang yang berdiri dalam formasi lingkaran, ada juga Raymundus Sau Fernandez yang waktu itu sudah menjadi Bupati TTU.
Kepada saya, Ray berujar perlahan, “Abang persiapkan diri untuk maju lagi di Pilkada Lembata”. Saya memang pernah maju berkontestasi dalam Pilkada Lembata tahun 2011 sebagai Calon Wakil Bupati mendampingi Calon Bupati Herman Wutun yang diusung oleh Partai Golkar. Mendengar perkataan Ray, saya pun dengan suara perlahan menanggapi. “Ade Bupati Ray, terima kasih perhatiannya. Tapi saya sudah putuskan untuk tidak akan maju lagi. Saya sudah petik hikmahnya. Dalam urusan politik praktis di NTT, sepertinya komunitas alumni GMNI tidak punya strategi kolektif perjuangan ideologis. Saya doakan Ade Bupati Ray bisa memimpin TTU untuk periode kedua.” Menyimak tanggapan beta, dia pun tersenyum tipis dan berujar pelan. “Iya Abang, saya bisa memahami situasi yang Abang rasakan”. Perjumpaan di pelataran arena PRJ Kemayoran itu, ternyata menjadi pertemuan terakhir saya dengan “Ade Bupati Ray”.
Percakapan Ringkas via Ponsel di Tahun 2018
Saya terkenang lagi pada satu momen di pertengahan tahun 2018, mungkin di bulan Mei atau Juni, saat mana beta masih mengemban amanah sebagai Wakil Sekjen DPP Partai Golkar. Di suatu momen, saya sedang bersama dua sahabat yakni Fransiskus Roi Lewar (kini Ketua DPC Partai Solidaritas Indonesia/PSI Kabupaten Flores Timur), dan Mikael Mali (kini fungsionaris pusat Partai Kebangkitan Nusantara/PKN), kami sedang berada di daerah Bogor untuk suatu urusan rintisan usaha/bisnis kecil-kecilan. Dalam perjalanan dari Bogor hendak balik ke Jakarta, saya menelpon “Ade Bupati Ray” untuk menyampaikan niat sekaligus ancang-ancang beta untuk maju dalam kontestasi pemilu legislatif yakni menjadi Caleg pusat dari Partai Golkar di Dapil 2 NTT yang juga meliputi wilayah Pulau Timor. Waktu itu “Ade Bupati Ray” sepertinya tidak lagi bergabung di PDI-Perjuangan, dan sudah menjadi Ketua DPW Partai Nasdem NTT.
Kendati kami berbeda keanggotaan Parpol, namun “ikatan rasa sebagai sesama alumni GMNI Kupang”, terasa lebih kuat tertanam di sanubari. Hal mana melumerkan sekat kepentingan persaingan antar-parpol. Saya pun tahu persis bahwa isteri dari “Ade Bupati Ray” yakni Kristina Muki akan maju pula sebagai Caleg Pusat dari Partai Nasdem pada Pileg 2019. Mendengar niat beta, dari balik ponsel, dengan suara tegas dan penuh persaudaraan ideologis, “Ade Bupati Ray” menjawab. “Saya dukung niat Abang. Saya tunggu Abang di Kefa. Kalau Abang su mau turun konsolidasi, Abang telpon saya, katong katumu di Kefa. Nanti katong diskusi, cari jalan bagaimana baiknya.”
Isi percakapan ringkas via ponsel pada medio 2018 itu, belakangan tidak jua terealisasi hingga pelaksanaan Pileg 2019 tiba. “Ade Bupati Ray” tetap menjaga komitmen persaudaraan ideologisnya terhadap saya. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Halangan dan atau hambatan muncul dari pihak saya. Niat politik beta untuk ikut kontestasi Pileg 2019 itu pada akhirnya pupus di tengah jalan, terhempas oleh kedigdayaan intrik politik dari dalam partai sendiri. Intrik beraroma ‘homo homini lupus’ (manusia memangsa sesamanya sendiri), semata-mata oleh, untuk, dan atas nama kepentingan an-sich. Atas itu semua, tak terkecuali aroma pahit perpolitikan, beta tetap menaikkan rasa syukur berlimpah ke hadirat Tuhan. Sebab telah dan selalu beta imani bahwa setiap rancangan Tuhan, sepahit apapun yang dapat dirasakan secara manusiawi, pasti dan selalu berbuah sukacita di dalam batin.
Menyerah pada Kuasa Alam, Takluk pada Kuasa Takdir
Rabu tengah malam, 26 Maret 2025, selayang pandang mata saya menangkap berita yang beredar di medsos, perihal perahu yang ditumpangi mantan Bupati TTU Raymundus Sau Fernandes hilang terbawa arus laut. Di antara rasa kantuk yang sangat, dan telah dalam posisi berbaring untuk tidur/istirahat malam, beta berujar pelan dalam doa: “Tuhan, Allah yang mahabaik, lindungilah Ade Bupati Ray dan para penumpang perahu yang terbawa arus”.
Kamis pagi-pagi, 27 Maret 2025, saya bergegas menghantar/menemani isteri beta, Deisy Kasenda, dari kediaman kami di wilayah Kabupaten Minahasa Utara menuju RS. Prof Kandou di Malalayang, Kota Manado untuk pemeriksaan berkala setiap bulan, semenjak didera sakit hampir tiga tahun lalu, dan kini, puji TUHAN, telah memasuki masa kesembuhan dan pemulihan pasca pergumulan sakit. Mengingat beta mengendarai sepeda motor, maka praktis tak dapat membuka layar medsos untuk memantau dinamika berita dan informasi.
Di ruang tunggu antrian pasien RS Kandou, beta lekas-lekas mengambil ponsel untuk memantau layar medsos. Terlihat dua sahabat sekaligus yang menandai beta untuk status FB mereka. Kedua sahabat rasa saudara itu adalah Dion DB Putra, Pemred Pos Kupang yang semasa dulu pernah menjadi Sekjen PMKRI Kupang, dan Honing Sanny, alumni GMNI Cabang Jogyakarta yang pernah menjadi Legislator Pusat di Gedung DPR/MPR RI Senayan. Honing dan Ray dulunya pernah bersama bernaung di partai yang sama yakni PDI-Perjuangan. Keduanya pun akhirnya juga berpisah dari partai yang sama. Isi status FB dari No “Eja” Dion dan Ama “Eja” Honing mengabarkan berita lelayu, kabar duka, bahwa Mantan Bupati TTU Raymundus Sau Fernandes ditemukan meninggal dunia, Kamis (27/3/2025) pagi, akibat perahu Lampara tenggelam di perairan Oebubun, Desa Oepuah, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten TTU.
Tak berhitung menit, layar medsos pun viral dengan status dan link-link berita perihal berpulangnya “Ade Bupati Ray”. Beta terdiam. Tepekur membisu. Hanya bisa membatin, mendoakan keselamatan jiwa “Ade Bupati Ray”. Rasa sedih bercampur getir pun berkelindan, berputar-putar di bilik hati. Sejenak beta berbisik ke arah isteri beta yang sedang duduk mengantri menunggu jadual pemeriksaan dokter. “Kita pe ade dulu di GMNI Kupang, mantan Bupati Timor Tengah Utara, so pigi, meninggal dunia akibat perahu tenggelam,” ucap beta dalam dialek Manado. Isteri beta ikut terdiam, lalu berujar pendek pertanda turut merasakan duka yang beta rasakan. “E dodo e…..kasiang kang”.
Merunut pada laman berita Pos Kupang online, otoritas kepolisian TTU mengonfirmasikan, terdapat delapan orang penumpang perahu Lampara yang tenggelam. Tiga orang selamat, dan lima lainnya dinyatakan meninggal dunia dan atau hilang. Kita semua, lebih-lebih warga masyarakat TTU di mana pun berada, tentu sangat bersedih hati atas tragedi tenggelamnya perahu Lampara. Kabut duka hari-hari ini masih bergelayut di atas bumi TTU, bahkan di cakrawala bumi Nusa Tenggara Timur.
Setiap orang yang pernah mengenal sosok Raymundus Sau Fernandes, sungguh berduka dan terpukul atas kepergian almarhum. Ray adalah pemimpin politik yang identik dengan karakter sederhana dan bersahaja. Dia dikenal sangat mengayomi rakyat kecil selama masa kepemimpinannya sebagai bupati. Dia begitu peduli pada rakyat kecil, sebab dia sendiri lahir dari lingkungan keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya berprofesi sebagai petani kecil, dan ibunya berprofesi sebagai penjual sayur di pasar. Bahkan selama Ray menjabat sebagai Bupati TTU dua periode, ibunya tetap tidak mau meninggalkan pekerjaannya sebagai penjual sayur di pasar tradisional. Sungguh ini fakta keteladanan sosial yang langka dan menggetarkan nurani publik.
Mengenang sosok “Ade Bupati Ray”, sesungguhnya adalah mengenang kesederhanaan dan kebersahajaan pemimpin. Ray adalah seorang “marhaenis” sejati. Dia begitu peduli pada rakyat kecil, kaum yang acapkali terpinggirkan. Dia sangat sayang kepada para petani, peternak, dan nelayan serta kaum pekerja marjinal. Ray identik dengan pejuang pemikir-pemikir pejuang yang tangguh. Ray adalah politisi yang tak pernah mau menyerah, apalagi takluk kepada rintangan politik yang menghalangi kebenaran nilai politik yang ia yakini. Ray adalah seorang figur nasionalis yang hidupnya bersahaja selaras dengan muatan ideologi marhaenisme warisan Bung Karno. Ray, oleh karenanya juga seorang Pancasilais yang teguh.
Kini, di akhir hayatnya, Ray seperti membuktikan bahwa ia tetap tak pernah menyerah pada 1001 tantangan kehidupan. Ia pun tak pernah mau takluk pada 1001 rintangan politik yang menghalangi keyakinannya pada sekumpulan kebenaran nilai politik. Riwayat dan alur kehidupan Ray, mengonfirmasikan kepada kita semua bahwa ia hanya menyerah pada kuasa alam, pada kuasa natur. Kuasa gerak natur! Ray pun hanya takluk pada kuasa takdir, pada otoritas kehendak Tuhan. Ia telah setia dan teguh sampai di garis akhir, di penghujung usianya.
Raymundus Sau Fernandes! Dalam kesunyian malam di tengah hempasan gelombang laut yang mengguncang-guncang raganya, dan sengatan udara malam yang dingin membisukan tulang, jiwa Ray telah terbang tinggi, pulang kembali ke pangkuan keabadian, ke hadapan Tuhan, Allah Sang Pencipta dan Penguasa Alam Semesta.
“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Timotius 4:7). Ini nats Alkitab yang pas untuk mengiringi perjalanan jiwa “Ade Bupati Ray” memasuki “Yerusalem Baru”. Salam dukacita yang sangat, dari beta dan keluarga nun jauh di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, untuk ade nona Kristina Muki, isteri terkasih dari “Ade Bupati Ray” beserta anak-anak tercinta di Kefamenanu, Timor Tengah Utara, NTT manise.
Di antara tetes airmata yang menitik tatkala catatan duka ini saya ramu, demi mengenang “Ade Bupati Ray”, hati saya dengan pasti memadahkan rasa hormat tertinggi dan pujian iman percaya kepada TUHAN, bahwa “semua hal yang TUHAN buat atas hidup kita, pasti baik, sungguh baik, dan selalu baik!”.***
Penulis: Viktus Murin, Sekretaris GMNI Kupang (1993-1996), Sekjend Presidium GMNI (1999-2002).