By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Gelar Muskom, Rakhmadhan terpilih sebagai Ketua DPK GMNI Polbeng Bengkalis
Seruan Ideologis, GMNI Halut Dukung Kongres Persatuan Tanpa Intervensi Kekuasaan
Politik Budi Nurani Ir. Sukarno
Bumikan Marhaenisme Lewat Alumni-nya di Sulteng, Tiga DPC PA GMNI Resmi Dideklarasikan
DPD GMNI Malut Desak Forum Nasional Komunikasi Persatuan Dorong KLB Sebagai Jalan Penyelamatan Organisasi

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Historical

Menukil Kembali Kisah Pindahnya Ibukota Republik ke Yogyakarta

Indo Marhaenist
Indo Marhaenist Diterbitkan : Sabtu, 17 Agustus 2024 | 08:54 WIB
Bagikan
Waktu Baca 11 Menit
Sultan Hamengku Buwono IX mendampingi Presiden Sukarno di dalam mobil untuk kembali ke Istana Kepresidenan Yogyakarta setibanya di Lapangan Terbang Maguwo (Yogyakarta, 1949). IPPHOS/KOLEKSI PERPUSTAKAAN NASIONAL
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Yogyakarta menjadi tempat amanat kebangsaan untuk pertama kali disampaikan dalam perayaan perdana kemerdekaan Republik. Di Yogyakarta pula pidato kenegaraan pertama Presiden Sukarno disampaikan.

Sukarno membayangkan, setelah fasisme tumbang, lalu perang dunia berakhir, maka situasi dunia pun akan berubah menjadi damai. Dunia akan berganti rupa, dari zaman perang menjadi zaman damai.

Yogyakarta menjadi labuhan pertama Presiden Sukarno untuk menjalankan pemerintahan di tengah kecamuk revolusi. Dari sinilah amanat kebangsaan untuk pertama kalinya disampaikan dalam perayaan perdana kemerdekaan Republik Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak serta-merta menghentikan praktik imperialisme. Setelah kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya, Indonesia harus berhadapan dengan Belanda yang ingin kembali berkuasa di Tanah Air.

Kondisi Jakarta yang semakin rawan setelah kedatangan tentara Belanda (NICA) memaksa Sukarno untuk memindahkan pusat pemerintahan. Tawaran dari Kesultanan Yogyakarta untuk menjadikan wilayah itu sebagai pusat pemerintahan diterima Sukarno, salah satunya dengan pertimbangan sektor keamanan.

”Kedudukan pemerintahan harus dipindahkan ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda sehingga kita dapat mendirikan banteng Republik,” kata Sukarno saat diwawancarai oleh Cindy Adams seperti yang tertulis dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Pada 3 Januari 1946, Soekarno mengumumkan kepada jajaran para menteri agar bersiap pindah tanpa membawa harta benda. Perjalanan dilakukan dengan kereta yang didesain sedemikian rupa agar tidak dicurigai oleh tentara Belanda.

”Dan begitulah, di malam gelap tanpa bulan tanggal 4 Januari 1946, kami membawa bayi Republik Indonesia ke ibu kotanya yang baru, Yogyakarta,” kenang Sukarno.

Sejak saat itu, perjuangan revolusi mulai dikendalikan dari Yogyakarta. Dari sinilah Sukarno kerap memberi arahan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak hanya itu, Yogyakarta juga menjadi saksi penyampaian pidato kenegaraan pertama Sukarno saat perayaan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1946.

“Perang dunia telah berakhir. Peledakan bom, dentuman meriam, cetusan senapan mesin sudah tidak terdengar lagi. Lampu –lampu boleh bersinar terang. Keadaan alam telah berganti karena suasana perdamaian telah meliputinya,” begitu pesan Sukarno lewat pidatonya.

Indonesia baru saja merdeka. Usianya belum lagi setengah bulan. Bahkan mungkin warta kemerdekaan belum sampai ke semua telinga rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Baca Juga:   Antara Tan Malaka, Komunis, dan Islam

Sayang sekali, perkiraan Sukarno meleset. Sehari setelah pidato Sukarno, di London, Inggris dan Belanda meneken Civil Affairs Agreement (CAA). Salah satu isinya menyebutkan: Inggris akan mengembalikan Indonesia ke Belanda.

Sekilas untuk diketahui, pada 9 Maret 1942, Belanda takluk pada Jepang. Meski tersingkir, keinginan Belanda untuk menguasai kembali Indonesia tak pernah surut. Karenanya, di Australia, pada 3 April 1944, Belanda membentuk Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda alias Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).

Melalui CAA, Inggris bersedia membantu NICA untuk membersihkan kelompok bersenjata pendukung Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Sedangkan Australia membantu NICA di Kalimantan dan Indonesia bagian timur.

Dan terjadilah hal yang tak diperkirakan oleh Sukarno. Pada 15 September 1945, pasukan Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Jakarta. Lengkap dengan mesin-mesin perangnya.

Republik Indonesia, yang baru berumur sebulan, langsung dalam bahaya. Di Jakarta, NICA merajalela di jalanan. Tentu saja, bukan dengan tangan kosong, tetapi dengan menenteng senjata.

Saat itu, Republik belia ini belum juga punya angkatan bersenjata. Baru pada 5 Oktober 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk. Jadi, ketika NICA datang mengacau, Republik ini belum punya pasukan bersenjata resmi.

Makin hari, tindakan NICA menjadi-jadi. Banyak rakyat biasa menjadi korbannya. Berdasarkan hitungan Sukarno, di Jakarta saja, sepanjang September-Desember 1945, ada 8000 rakyat tak berdosa dibunuh oleh NICA.

Tetapi, NICA tak hanya sewenang-wenang pada rakyat Indonesia, tetapi juga pada pemimpinnya.

Sukarno mengenang satu kejadian. Di suatu malam, sekitar November 1945, Sukarno dan Menteri-Menterinya berkumpul di Pegangsaan 56 Jakarta. Mereka menggelar rapat darurat hingga larut malam. Tanpa ditemani secangkir kopi dan sepotong roti pun.

Tukimin, asisten pribadi Sukarno, terketuk rasa iba. Sehingga, tanpa memberitahu Sukarno, ia membawa mobil Sukarno keluar dari Pegangsaan 56. Niatnya sungguh mulia: mencari kopi dan roti untuk peserta rapat.

Sial, begitu mobil Sukarno meluncur kelaur dari Pegangsaan, NICA juga bergerak. Mereka mengira sang Presiden ada di dalam mobil tersebut. Drama kecelakaan pun dirancang: sebuah truk ditabrakkan dengan mobil itu. Mobil Sukarno hancur. Tukimin terluka parah.

Baca Juga:   Kucing Hitam Atau Kucing Putih dan Deng Xiaoping

Kejadian lainnya, pesawat palang merah hendak menjatuhkan bahan makanan dan obat-obatan ke sebuah kamp tawanan Belanda. Kebetulan, kamp itu berjarak dekat dengan rumah Sukarno. Bukannya jatuh persis ke kamp-kamp tawanan Belanda, peti-peti berisi makanan dan obat-obatan itu jatuh di halaman rumah Sukarno.

“Bunyinya seperti ledakan bom,” kenang Sukarno dalam buku biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Presiden Soekarno, ajudan Sugandhi, dan Wakil Presiden Moh Hatta (belakang) terlihat keluar dari Istana Kepresidenan Yogyakarta menuju ke Lapangan Terbang Maguwo, untuk diasingkan ke Sumatera (22 Desember 1948). IPPHOS/KOLEKSI PERPUSTAKAAN NASIONAL

Sukarno sadar dirinya dalam intaian marabahaya, bahkan maut. Tempat tinggalnya tak lagi aman. Karena itu, menjelang malam, ia harus menyelinap keluar rumahnya dan menginap di rumah lain.

“Aku terpaksa berpindah-pindah tidur setiap malam,” ceritanya.

Tak jarang, Sukarno terpaksa tidur terpisah dengan istri dan anaknya lantaran menginap di rumah yang berbeda. Tidak jarang juga, ketika menyelinap keluar dari rumahnya menuju ke tempat menginapnya, Sukarno harus menyamar agar tak diketahui NICA.

“Aku menyamar sebagai sopir atau pekerja kasar, dengan memakai sarung dan blangkon. Seringkali aku berjalan seperti orang pincang atau cara lain untuk menghilangkan perhatian pihak NICA,” kata Sukarno.

Bayangkan, kalau rumah yang dituju berukuran kecil. Hanya cukup untuk menampung penghuninya. Terpaksa Sukarno dan istrinya meringkuk di atas tikar, sedangkan pengawalnya tidur di luar rumah.

Pernah terjadi, ketika Sukarno menginap di rumah kawannya, NICA mengendusnya. Saat itu, NICA langsung menghamburkan peluru ke dalam rumah tersebut. Beruntung, Sukarno berhasil disembunyikan di bawah tempat tidur.

Begitulah, maut terus mengejar Sukarno. Hampir setiap hari, selama berminggu-minggu.

Untuk keselamatan keluarganya, Sukarno mengungsikan istri, anak dan mertuanya keluar kota. Jaraknya berjam-jam dari Jakarta. Dua kali dalam sepekan, Sukarno mengunjungi mereka.

Sepanjang Desember 1945, suasana Jakarta makin gawat. NICA makin sewenang-wenang. Makin banyak nyawa rakyat Indonesia yang melayang. Tak hanya itu, nyawa para pemimpin Republik ikut terancam.

Akhirnya, pada 3 Januari 1946, Sukarno memutuskan pemindahkan Ibukota RI dari Jakarta ke Jogjakarta. Saat itu, Jogjakarta belum terjamah oleh Sekutu maupun NICA. Dia berharap, kota itu bisa menjadi benteng perlindungan bagi Republik yang masih belia ini.

Jangan kira masalah selesai. Memindahkan Sukarno dan semua pemimpin Republik beserta keluarganya ke Jogjakarta tidak segampang naik kereta dari Jakarta ke Jogjakarta.

Baca Juga:   Pancasila dan Hari Kelahirannya: Mengali Fakta Sejarah!

Urusannya tak segampang itu. Tentu saja, NICA tak akan membiarkan Sukarno dan para pemimpin Republik lainnya melenggang bebas ke Jogjakarta. Saat itu, hampir semua pintu masuk dan keluar Jakarta dijaga oleh NICA.

Rencana singkat disusun. Sukarno dan rombongan akan diselundupkan menggunakan sebuah kereta api luar biasa (KLB) pada malam hari. Tak seorang pun diperbolehkan membawa harta-benda.

“Tidak seorang pun boleh membawa harta-bendanya. Saya juga tidak,” demikian pesan Sukarno kepada Menteri-Menterinya.

Akhirnya, pada 3 Januari 1946, ketika gelap mulai menyelimuti Jakarta, Sukarno dan rombongan menyelinap masuk ke sebuah gerbong KLB yang sudah menunggu di rel kereta dekat rumahnya.

Dengan dihadiri Presiden Soekarno, Sidang Kabinet RIS yang pertama telah dilangsungkan pada 5 Januari 1950 di gedung bekas Raad van Indie di Pedjambon, Jakarta. Presiden Soekarno dengan para menteri kabinet pertama RIS, di muka Gedung Dewan Menteri (bekas Raad van Indie) di Pedjambon. Pada gambar tidak terlihat Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, yang tidak hadir karena sakit. KEMPEN

Tepat pukul 18.00 WIB, gerbong KLB itu bergerak pelan menuju stasiun Manggarai. Lalu, dari stasiun Manggarai, kereta KLB meluncur menuju Jogjakarta. Agar tak mengundang kecurigaan, lampu-lampu gerbong sengaja dimatikan.

“Seandainya kami ketahuan, seluruh Negara dapat dihancurkan dengan satu granat,” kata Sukarno.

Begitu melewati stasiun Klender, kereta KLB langsung melaju kencang dengan kecepatan 90 km/jam. Nasib baik memihak Republik.

Pagi hari 4 Januari 1946, Sukarno dan rombongan tiba di stasiun Tugu Jogjakarta.

“Dan begitulah, di malam gelap tanpa bulan tanggal 4 Januari 1946, kami membawa bayi Republik Indonesia ke ibu kotanya yang baru, Yogyakarta,” kenang Sukarno.

Sejak hari itu, revolusi Indonesia dikendalikan dari Jogjakarta.

Oiya, kalau kamu penasaran dengan “ular besi” yang pernah menyelamatkan Sukarno dan pemimpin Republik lainnya dari Jakarta ke Jogjakarta, silahkan berkunjung ke Museum Transportasi di TMII.

Dua gerbong yang mengangkut Sukarno-Hatta beserta rombongan, KA IL7 dan IL8, tersimpan di sana. Sayang sekali, lokomotif C28 nomor 49 (C2849), yang menarik gerbong-gerbong itu, tidak diketahui nasibnya hingga kini.

Sukarno selamat dari kejaran maut yang ditebar oleh NICA. Bukan hanya itu, bayi bernama Republik Indonesia itu sanggup bertahan, baik oleh gempuran sekutu maupun agresi militer Belanda.

Dan hari ini, Republik Indonesia sudah memasuki usia yang ke 79 tahun. Semoga tidak menjadi bangsa yang cemas. Merdeka!

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Gelar Muskom, Rakhmadhan terpilih sebagai Ketua DPK GMNI Polbeng Bengkalis
Minggu, 13 Juli 2025 | 23:22 WIB
Seruan Ideologis, GMNI Halut Dukung Kongres Persatuan Tanpa Intervensi Kekuasaan
Minggu, 13 Juli 2025 | 18:17 WIB
Politik Budi Nurani Ir. Sukarno
Minggu, 13 Juli 2025 | 17:10 WIB
Bumikan Marhaenisme Lewat Alumni-nya di Sulteng, Tiga DPC PA GMNI Resmi Dideklarasikan
Minggu, 13 Juli 2025 | 16:48 WIB
DPD GMNI Malut Desak Forum Nasional Komunikasi Persatuan Dorong KLB Sebagai Jalan Penyelamatan Organisasi
Minggu, 13 Juli 2025 | 02:22 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Pro dan Kontra PT. SIM di Dusun Pelita, Bupati SBB dilema?
Opini
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Historical

Refleksi 17 Agustus 1945: Menuju Kemerdekaan RI, Mengenang Peristiwa Rengasdengklok

Marhaenist.id - Pada 15 Agustus 1945, sekitar pukul 19.00, pertemuan dengan berbagai…

Kabar GMNI

Persoalkan Flayer Bawaslu, GMNI Ternate Anggap Statement Oknum yang Mengatasnamakan GMNI Malut Kekanak-Kanakan

Marhaenist.id, Ternate - Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia…

Kabar PA GMNI

“Merahnya Ajaran Bung Karno” Sebuah Refleksi Pembebasan Ala Indonesia

Marhaenist.id, Lebak - Dalam rangka menyambut bulan kemerdekaan RI dan sekaligus sebagai…

Kabar GMNI

Semarak Dies Natalies GMNI ke 71 Tahun, GMNI Touna Berbagi Takjil dan Berbuka Puasa bersama Pihak Kepolisian

Marhaenist.id, Touna - Dalam rangka memperingati Dies Natalis GMNI ke 71 Tahun, Gerakan…

Mahasiswa Cipayung Plus Kota Medan temui Ganjar Pranowo diskusikan energi baru terbarukan. MARHAENIST
Polithinking

Temui Ganjar, Mahasiswa Cipayung Plus Diskusikan Energi Baru Terbarukan

Marhaenist - Sejumlah organisasi mahasiswa yang tergabung Kelompok Cipayung Plus Kota Medan…

Kabar GMNI

Sambut Dies Natalis ke 71 di Bulan Ramadhan, GMNI Kendari Gelar Buka Puasa Bersama dan Tasyakuran

Marhaenist.id, Kendari - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Polithinking

Naik Bus, Ganjar-Mahfud Hadiri Sidang Putusan Sengketa Pilpres di MK

Marhaenist.id, Jakarta - Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor…

Kabar GMNI

Sambut HUT Ke-16, GMNI Gelar Aksi Evaluasi Kinerja Pemkot Tangsel

Marhaenist.id, Tangsel - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Kabar GMNI

Dukung Persatuan, DPD GMNI Sultra Apresiasi Terbentuknya Forum Nasional Komunikasi Persatuan dalam Konsolidasi Nasional di Blitar

Marhaenist.id, Kendari - Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sulawesi…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?