Marhaenist.id – Yogyakarta menjadi tempat amanat kebangsaan untuk pertama kali disampaikan dalam perayaan perdana kemerdekaan Republik. Di Yogyakarta pula pidato kenegaraan pertama Presiden Sukarno disampaikan.
Sukarno membayangkan, setelah fasisme tumbang, lalu perang dunia berakhir, maka situasi dunia pun akan berubah menjadi damai. Dunia akan berganti rupa, dari zaman perang menjadi zaman damai.
Yogyakarta menjadi labuhan pertama Presiden Sukarno untuk menjalankan pemerintahan di tengah kecamuk revolusi. Dari sinilah amanat kebangsaan untuk pertama kalinya disampaikan dalam perayaan perdana kemerdekaan Republik Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak serta-merta menghentikan praktik imperialisme. Setelah kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya, Indonesia harus berhadapan dengan Belanda yang ingin kembali berkuasa di Tanah Air.
Kondisi Jakarta yang semakin rawan setelah kedatangan tentara Belanda (NICA) memaksa Sukarno untuk memindahkan pusat pemerintahan. Tawaran dari Kesultanan Yogyakarta untuk menjadikan wilayah itu sebagai pusat pemerintahan diterima Sukarno, salah satunya dengan pertimbangan sektor keamanan.
”Kedudukan pemerintahan harus dipindahkan ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda sehingga kita dapat mendirikan banteng Republik,” kata Sukarno saat diwawancarai oleh Cindy Adams seperti yang tertulis dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Pada 3 Januari 1946, Soekarno mengumumkan kepada jajaran para menteri agar bersiap pindah tanpa membawa harta benda. Perjalanan dilakukan dengan kereta yang didesain sedemikian rupa agar tidak dicurigai oleh tentara Belanda.
”Dan begitulah, di malam gelap tanpa bulan tanggal 4 Januari 1946, kami membawa bayi Republik Indonesia ke ibu kotanya yang baru, Yogyakarta,” kenang Sukarno.
Sejak saat itu, perjuangan revolusi mulai dikendalikan dari Yogyakarta. Dari sinilah Sukarno kerap memberi arahan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak hanya itu, Yogyakarta juga menjadi saksi penyampaian pidato kenegaraan pertama Sukarno saat perayaan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1946.
“Perang dunia telah berakhir. Peledakan bom, dentuman meriam, cetusan senapan mesin sudah tidak terdengar lagi. Lampu –lampu boleh bersinar terang. Keadaan alam telah berganti karena suasana perdamaian telah meliputinya,” begitu pesan Sukarno lewat pidatonya.
Indonesia baru saja merdeka. Usianya belum lagi setengah bulan. Bahkan mungkin warta kemerdekaan belum sampai ke semua telinga rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Sayang sekali, perkiraan Sukarno meleset. Sehari setelah pidato Sukarno, di London, Inggris dan Belanda meneken Civil Affairs Agreement (CAA). Salah satu isinya menyebutkan: Inggris akan mengembalikan Indonesia ke Belanda.
Sekilas untuk diketahui, pada 9 Maret 1942, Belanda takluk pada Jepang. Meski tersingkir, keinginan Belanda untuk menguasai kembali Indonesia tak pernah surut. Karenanya, di Australia, pada 3 April 1944, Belanda membentuk Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda alias Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).
Melalui CAA, Inggris bersedia membantu NICA untuk membersihkan kelompok bersenjata pendukung Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Sedangkan Australia membantu NICA di Kalimantan dan Indonesia bagian timur.
Dan terjadilah hal yang tak diperkirakan oleh Sukarno. Pada 15 September 1945, pasukan Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Jakarta. Lengkap dengan mesin-mesin perangnya.
Republik Indonesia, yang baru berumur sebulan, langsung dalam bahaya. Di Jakarta, NICA merajalela di jalanan. Tentu saja, bukan dengan tangan kosong, tetapi dengan menenteng senjata.
Saat itu, Republik belia ini belum juga punya angkatan bersenjata. Baru pada 5 Oktober 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk. Jadi, ketika NICA datang mengacau, Republik ini belum punya pasukan bersenjata resmi.
Makin hari, tindakan NICA menjadi-jadi. Banyak rakyat biasa menjadi korbannya. Berdasarkan hitungan Sukarno, di Jakarta saja, sepanjang September-Desember 1945, ada 8000 rakyat tak berdosa dibunuh oleh NICA.
Tetapi, NICA tak hanya sewenang-wenang pada rakyat Indonesia, tetapi juga pada pemimpinnya.
Sukarno mengenang satu kejadian. Di suatu malam, sekitar November 1945, Sukarno dan Menteri-Menterinya berkumpul di Pegangsaan 56 Jakarta. Mereka menggelar rapat darurat hingga larut malam. Tanpa ditemani secangkir kopi dan sepotong roti pun.
Tukimin, asisten pribadi Sukarno, terketuk rasa iba. Sehingga, tanpa memberitahu Sukarno, ia membawa mobil Sukarno keluar dari Pegangsaan 56. Niatnya sungguh mulia: mencari kopi dan roti untuk peserta rapat.
Sial, begitu mobil Sukarno meluncur kelaur dari Pegangsaan, NICA juga bergerak. Mereka mengira sang Presiden ada di dalam mobil tersebut. Drama kecelakaan pun dirancang: sebuah truk ditabrakkan dengan mobil itu. Mobil Sukarno hancur. Tukimin terluka parah.
Kejadian lainnya, pesawat palang merah hendak menjatuhkan bahan makanan dan obat-obatan ke sebuah kamp tawanan Belanda. Kebetulan, kamp itu berjarak dekat dengan rumah Sukarno. Bukannya jatuh persis ke kamp-kamp tawanan Belanda, peti-peti berisi makanan dan obat-obatan itu jatuh di halaman rumah Sukarno.
“Bunyinya seperti ledakan bom,” kenang Sukarno dalam buku biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Sukarno sadar dirinya dalam intaian marabahaya, bahkan maut. Tempat tinggalnya tak lagi aman. Karena itu, menjelang malam, ia harus menyelinap keluar rumahnya dan menginap di rumah lain.
“Aku terpaksa berpindah-pindah tidur setiap malam,” ceritanya.
Tak jarang, Sukarno terpaksa tidur terpisah dengan istri dan anaknya lantaran menginap di rumah yang berbeda. Tidak jarang juga, ketika menyelinap keluar dari rumahnya menuju ke tempat menginapnya, Sukarno harus menyamar agar tak diketahui NICA.
“Aku menyamar sebagai sopir atau pekerja kasar, dengan memakai sarung dan blangkon. Seringkali aku berjalan seperti orang pincang atau cara lain untuk menghilangkan perhatian pihak NICA,” kata Sukarno.
Bayangkan, kalau rumah yang dituju berukuran kecil. Hanya cukup untuk menampung penghuninya. Terpaksa Sukarno dan istrinya meringkuk di atas tikar, sedangkan pengawalnya tidur di luar rumah.
Pernah terjadi, ketika Sukarno menginap di rumah kawannya, NICA mengendusnya. Saat itu, NICA langsung menghamburkan peluru ke dalam rumah tersebut. Beruntung, Sukarno berhasil disembunyikan di bawah tempat tidur.
Begitulah, maut terus mengejar Sukarno. Hampir setiap hari, selama berminggu-minggu.
Untuk keselamatan keluarganya, Sukarno mengungsikan istri, anak dan mertuanya keluar kota. Jaraknya berjam-jam dari Jakarta. Dua kali dalam sepekan, Sukarno mengunjungi mereka.
Sepanjang Desember 1945, suasana Jakarta makin gawat. NICA makin sewenang-wenang. Makin banyak nyawa rakyat Indonesia yang melayang. Tak hanya itu, nyawa para pemimpin Republik ikut terancam.
Akhirnya, pada 3 Januari 1946, Sukarno memutuskan pemindahkan Ibukota RI dari Jakarta ke Jogjakarta. Saat itu, Jogjakarta belum terjamah oleh Sekutu maupun NICA. Dia berharap, kota itu bisa menjadi benteng perlindungan bagi Republik yang masih belia ini.
Jangan kira masalah selesai. Memindahkan Sukarno dan semua pemimpin Republik beserta keluarganya ke Jogjakarta tidak segampang naik kereta dari Jakarta ke Jogjakarta.
Urusannya tak segampang itu. Tentu saja, NICA tak akan membiarkan Sukarno dan para pemimpin Republik lainnya melenggang bebas ke Jogjakarta. Saat itu, hampir semua pintu masuk dan keluar Jakarta dijaga oleh NICA.
Rencana singkat disusun. Sukarno dan rombongan akan diselundupkan menggunakan sebuah kereta api luar biasa (KLB) pada malam hari. Tak seorang pun diperbolehkan membawa harta-benda.
“Tidak seorang pun boleh membawa harta-bendanya. Saya juga tidak,” demikian pesan Sukarno kepada Menteri-Menterinya.
Akhirnya, pada 3 Januari 1946, ketika gelap mulai menyelimuti Jakarta, Sukarno dan rombongan menyelinap masuk ke sebuah gerbong KLB yang sudah menunggu di rel kereta dekat rumahnya.
Tepat pukul 18.00 WIB, gerbong KLB itu bergerak pelan menuju stasiun Manggarai. Lalu, dari stasiun Manggarai, kereta KLB meluncur menuju Jogjakarta. Agar tak mengundang kecurigaan, lampu-lampu gerbong sengaja dimatikan.
“Seandainya kami ketahuan, seluruh Negara dapat dihancurkan dengan satu granat,” kata Sukarno.
Begitu melewati stasiun Klender, kereta KLB langsung melaju kencang dengan kecepatan 90 km/jam. Nasib baik memihak Republik.
Pagi hari 4 Januari 1946, Sukarno dan rombongan tiba di stasiun Tugu Jogjakarta.
“Dan begitulah, di malam gelap tanpa bulan tanggal 4 Januari 1946, kami membawa bayi Republik Indonesia ke ibu kotanya yang baru, Yogyakarta,” kenang Sukarno.
Sejak hari itu, revolusi Indonesia dikendalikan dari Jogjakarta.
Oiya, kalau kamu penasaran dengan “ular besi” yang pernah menyelamatkan Sukarno dan pemimpin Republik lainnya dari Jakarta ke Jogjakarta, silahkan berkunjung ke Museum Transportasi di TMII.
Dua gerbong yang mengangkut Sukarno-Hatta beserta rombongan, KA IL7 dan IL8, tersimpan di sana. Sayang sekali, lokomotif C28 nomor 49 (C2849), yang menarik gerbong-gerbong itu, tidak diketahui nasibnya hingga kini.
Sukarno selamat dari kejaran maut yang ditebar oleh NICA. Bukan hanya itu, bayi bernama Republik Indonesia itu sanggup bertahan, baik oleh gempuran sekutu maupun agresi militer Belanda.
Dan hari ini, Republik Indonesia sudah memasuki usia yang ke 79 tahun. Semoga tidak menjadi bangsa yang cemas. Merdeka!