Marhaenist.id – Pada 15 Agustus 1945, sekitar pukul 19.00, pertemuan dengan berbagai kelompok gerakan pemuda berlangsung di ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur. Turut hadir: Aidit, Wikana, Chaerul Saleh, Djohar Nur, Subadio, Suroto Kunto, Pardjono, Abubakar, Armansjah dan Sudewo.
Untuk menyampaikan hasil rapat kepada Sukarno, rapat kemudian mengutus 4 orang: Wikana, Aidit, Subadio dan Suroto Kunto. Malam itu juga, sekitar pukul 21.00 WIB, mereka tiba di kediaman Sukarno di Pegangsaan Timur 56.
Wikana bertindak sebagai juru bicara dari utusan pemuda itu. Mereka sepakat bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak yang harus direbut oleh rakyat, bukan bergantung pada penjajah Jepang. Sukarno dan Hatta masih menolak dengan alasan akan merapatkannya dengan wakil-wakil PPKI.
Tidak puas dengan keputusan para tokoh, berbagai kelompok pemuda kembali menggelar rapat di Tjikini 71. Pertemuan kali ini lebih luas dari pertemuan sebelumnya, karena melibatkan dr Muwardi (Barisan Pelopor), Yusuf Kunto (PETA), Shodanco Singgih (PETA), dlll.
Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa Sukarno dan Hatta harus dibawa terlebih dahulu ke tempat dimana tidak ada pengaruh Jepang. Maka, 16 Agustus dinihari, Sukarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok.
Setelah Soekarno dan Hatta diculik ke Rengasdengklok, Soekarno di hadapan Shodanco Singgih memutuskan untuk bersedia mengadakan proklamasi setelah ia kembali ke Jakarta. Golongan tua dan golongan muda pun menyepakati keputusan bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dilakukan di Jakarta oleh Soekarno.
Esok harinya, Ahmad Subardjo rela menaruhkan nyawanya dengan menjemput Soekarno dan Hatta untuk kembali ke Jakarta dan menjamin Proklamasi Kemerdekaan terselenggarakan.
Keesokan harinya, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB, pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang “dipinjam” (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala Perwakilan Kriegsmarine, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.
Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang.
Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan muda, pernyataan kemerdekaan harus sesegera mungkin diumumkan. Mereka khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian atau hadiah dari Jepang.***
Disusun oleh Redaksi dari berbagi sumber.