Marhaenist.id – Dalam keseharian kita, seringkali kita terjebak dalam hiruk-pikuk dunia materialistik yang mengesampingkan dimensi spiritualitas. Di bulan Ramadhan 1445 Hijriah yang mulia ini, Alhamdulillah, bagi ummat Islam khususnya diberi nikmat untuk bisa kembali berenang dalam kedalaman samudera berkah, samudera spiritualitas, dengan berpuasa dan memperbanyak aktivitas ibadah.
Menelisik sekilas ke dalam terminologi untuk mengingatkan diri kita tentang Marhaenisme, berangkat dari pemikiran para tokoh seperti Garibaldi, Lincoln, Adler, Marx, Voltaire, Enggels, George Washington, Thomas Jefferson, Otto Bauer dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya, Bung Karno kemudian merumuskan paham Marhaenisme sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan dan kemakmuran. Secara sederhana bahwa Marhaenisme didefiniskan sebagai paham yang menentang dan melawan setiap sistem yang disana terdapat penindasan, paham ini dirumuskan oleh Bung Karno dari nama seorang petani Priangan yaitu Marhaen (1926 – 1927 Masehi), dan Marhaenis adalah setiap orang yang berjuang untuk melawan sistem yang menindas itu. Sedangkan spiritualis adalah orang yang ‘concern’ dalam pembangunan jiwanya, memperkuat bangunan batinnya, yang selalu berusaha terhubung dengan keyakinannya tentang adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta, dan sang Marhaenis sebagai seorang hamba. Terakhir ini adalah nilai yang mengakar dalam urat nadi bangsa Indonesia, bertuhan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah masyarakat Indonesia, sejak sebelum merdeka, sampai saat ini, meski setiap zaman kondisi geo-sosio-politik berganti. Hal ini tentunya tidak bisa dipungkiri bahwa Materialisme Dialektika Historisnya memang demikian.
Ada sebuah paradoks menarik yang sering kali terabaikan: Marhaenis, atau bahkan kaum marhaen yang mereka perjuangkan sekalipun, mereka yang bekerja dengan keras di bidang yang mungkin terlihat jauh dari dunia spiritual, sebenarnya memiliki kedalaman spiritual yang luar biasa, karena dalam wilayah praktis inilah medan perang terjadi, baik wilayah lahir mapun batin. Inilah yang mendorong kita untuk mempertimbangkan perspektif yang perlu dimunculkan terus bagi setiap kaum marhaen, yang bukan barang baru: bahwa Marhaenis itu sebenarnya spiritualis.
Pilihan gerak sebagai agen perubahan, seorang Marhaenis akan dihadapkan pada pilihan-pilihan praktis. Dalam hal yang sifatnya praktis ini seorang Marhaenis, bisa jadi mereka berjuang dalam pekerjaan kasar, pekerja pabrik, petani, atau bahkan buruh bangunan, politikus, dokter, dosen, nelayan sering kali dianggap sebagai orang-orang yang terikat dengan urusan dunia materi. Namun, di balik kemegahan material dunia, terdapat kekayaan spiritual yang luar biasa. Pertama-tama, praktis, Marhaenis berhubungan langsung dengan kehidupan dalam bentuk paling sederhana. Mereka menyaksikan siklus alam, kehidupan dan kematian, serta perjuangan untuk bertahan hidup setiap hari dalam perspektif perlawanan terhadap ketidakadilan, ketimpangan ekonomi-sosial-politik. Dalam pengalaman sehari-hari ini, tentunya kesadaran mereka lambat laun bertambah dan terus tumbuh, kesadaran yang membawa pelajaran, pemahaman dimana masuk lebih dalam untuk menghargai keajaiban kehidupan, sampai menyadari kedalaman diri Manusia, dan alam semesta ciptaan Tuhan.
Kemudian, prinsip Marhaenisme juga mengajarkan perjuangan melawan penindasan tanpa pandang bulu, disana ada aspek ketekunan dan kesabaran yang melekat pada jiwa seorang Marhaenis. Marhaenis adalah manusia-manusia penggerak, maka ketika mereka menghadapi tantangan yang menguji batas fisik dan mental, mereka akan mencari kekuatan dari dalam, dari keyakinan spiritual mereka, yang itu memang secara DNA telah tertanam sejak lama, semenjak nenek moyang bangsa Indonesia ini, bahkan jika menggunakan perspektif Agama samawi hal ini telah ada semenjak manusia pertama diciptakan dan diturunkan ke dunia yaitu Nabi Adam, beliau membawa misi ‘nubuah’ mengembalikan kesucian diri untuk memantaskan anak turunnya kembali lagi suci untuk pulang ke surga negeri asal. Oleh karenanya, dalam momen-momen seperti itu, setiap saat Marhaenis idealnya akan belajar untuk berserah kepada kekuatan yang lebih besar dari diri mereka sendiri, mau tidak mau, sebagai kodratnya menjadi bagian dari ciptaan, Marhaenis akan menarik keberanian dan kekuatan dari sumber yang tak terlihat, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dengan kesadaran seperti itu, Marhanenis adalah spiritualis, hal ini sejalan dengan prinsip Tri-sila yang digagas Bung Karno pada 1 Juni 1945 bersamaan dengan lahirnya Pancasila, yang berisi Sosio-Demokrasi, Sosio-Demokrasi, tanpa meninggalkan Berketuhanan yang berkebudayaan. Bung Karno mengatakan waktu itu dalam Pidatonya “sebagai negara yang merdeka, kita membutuhkan suatu ‘weltanschauung’ atau pijakan dasar”. Bung Karno meletakkan pijakan dasar pada 5 prinsip, dan prinsip ke-5 tentang Ketuhanan, beliau mengatakan :
“Ketuhanan, yaitu bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah tuhannya dengan cara yang leluasa. Bung Karno menegaskan bahwa segenap rakyatnya hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain, yakni dengan tiada “egoisme agama”.”
MAKA seorang Marhaenis tentunya adalah spiritualis, jadi kita harus menolak keras, jika ada pendapat atau tesis yang mengatakan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia secara leterlek, ‘letterlijk’, tanpa takwil. Karena Marhaenisme dan Komunisme/Marxisme adalah hal yang jauh berbeda, karena Marxisme tidak mengakui eksistensi Agama, tidak ada Ketuhanan dalam paham yang mereka bawa. Sehingga, salah jika ada anggapan Marhaenisme termasuk ideologi yang terlarang karena masuk dalam rumusan Pasal 2 dalam TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larangan penyebaran ideologi komunisme, marxisme, leninisme. Yang menyatakan bahwa “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta Media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.”
Oleh karena itu, sudah jelas bahwa Marhaen dan berketuhanan tidak bisa dipisahkan, artinya kerja keras dan dedikasi seorang Marhaenis terhadap tugas-tugasnya mencerminkan pengabdian yang mendalam, karena hal itu adalah cerminan jiwa spiritualitasnya. Ketika mereka mencurahkan waktu dan energi mereka untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat, mereka tidak hanya bekerja untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk kebaikan yang lebih besar yaitu melawan sistem yang menindas, dan tujuan yang mulia yaitu mendapat ridho dari Tuhan yang Maha Besar dan Maha Mulia. Maka jangan heran jika tindakan pengorbanan mereka para Marhaenis yang spiritualis, ada cahaya spiritual yang bersinar, hal itu menunjukkan bahwa setiap tindakan dengan niat yang baik dan benar yang dedikasinya bukan hanya untuk sesama manusia tetapi untuk Tuhannya yang Maha Bercahaya, itu semua adalah bentuk ibadah, bernilai sedekah, dan akan dibalas oleh Tuhan, meskipun sekecil apa pun perbuatan itu, seperti hanya menyingkirkan duri dijalanan. Ini adalah perspektif perjuangan yang perlu dibangun semenjak dini.
Khusus-nya di dalam keyakinan agama Islam, firman Allah SWT dalam surat Al Zalzalah ayat 7-8:
Artinya: “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (sebiji atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
Tidak hanya itu, Marhaenis yang memahami peran dan pilihan gerak perjuangannya dalam melawan penindasan, juga sering kali menjadi pilar-pilar dalam komunitas mereka. Mereka menawarkan bantuan dan dukungan kepada sesama, membangun ikatan yang kuat dan saling menguatkan, kesadaran sosio-Nasionalisme, satu bangsa satu tanah air yang sama-sama mendambakan kehidupan yang adil dan makmur. Kesadaran sosio-Demokrasi, kemerdekaan dalam demokrasi politik dan ekonomi bagi rakyat, semua itu tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan dengan nilai-nilai spiritualitas. Dalam hubungan ini, akan ada kekuatan spiritual yang terpancar, karena mereka akan saling menyadari dan memahami, satu sama lain terhubung dalam kehidupan ini sebagai sesama manusia yang bertuhan, sebagai ciptaan Tuhan dan akan kembali Kepada Tuhan, cepat atau lambat.
Maka dari itu, mari Marhaenis di bulan Ramadhan yang mulia ini, khususnya penganut Agama Islam, introspeksi diri yang mendalam terhadap potensi ruhaniah yang dimilikinya. Meskipun mungkin terlihat bahwa bisa jadi sibuk dengan urusan dunia luar, mereka juga harus memiliki waktu untuk merenungkan makna hidup, tujuan mereka, dan hubungan mereka dengan yang Ilahi. Bahwa prinsip berketuhanan kita apakah sudah benar? Bagaimana kehidupan ruhaniah kita berjalan selama ini? Apakah kita menjadi hamba Tuhan sekaligus Marhaenis yang baik?
SEORANG Marhaenis harus membuang stereotip bahwa kehidupan spiritual hanya dimiliki oleh para pertapa di gunung atau guru meditasi di pedalaman, oleh santri, kyai, pendeta, pastur, para biarawan, para biksu. Marhaenis, dengan semua kerja keras, ketekunan, pengabdian, dan introspeksi yang mereka miliki, adalah spiritualis dalam bentuk yang paling autentik, karena muncul bukan secara tiba-tiba, sudah sangat lama tertancapnya. Mari kita kembalikan nilai-nilai Marhaenis sejati yaitu tetap spiritualis, dan menunjukkan bahwa kehidupan spiritual tidak terbatas pada ritual atau praktik yang terpisah dari dunia material, tetapi dalam setiap tindakan kita, dalam setiap nafas kita, dan dalam setiap detik kehidupan kita yang berharga. Itulah teori berpikir dan langkah yang lurus menjadi seorang Marhaenis yang diharapkan oleh Sang Proklamator ketika merumuskan Marhaenisme.
TERAKHIR, mengutip perkataan beliau Bung Karno pada Mei 1966, ketika beliau ditanya wartawan Cindy Adams dalam wawancara di akhir jatuhnya periode pemerintahan beliau :
Cindy Adams :
“Apakah anda sebelumnya sudah memperkirakan bahwa hal ini semua (tentang kejatuhan kekuasaan politik Soekarno) mungkin akan terjadi ?”
Soekarno :
“Kamu tahu, aku orang yang percaya dengan adanya Tuhan yang Maha Kuasa?”
Cindy Adams :
“Ya”
Soekarno :
“Semua tergantung kepada-Nya, (saya) hidup atau (saya akan) mati.”***
Penulis: Dr. KH. Hasanain Haikal H., SH., MH, Mantan Ketua GMNI Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.