Marhaenist.id – Tentunya kita mengucap syukur Alhamdulillah lantaran kita baru saja memperingati 71 tahun lahirnya GMNI. 71 tahun kita sudah mengikrarkan diri untuk menjadi organisasi Mahasiswa yang berwatak kerakyatan dan memihak pada kaum marhaen.
Sejak kelahirannya, GMNI memang dimaksudkan untuk menjalankan Marhaenisme Ajaran Bung Karno di dalam melaksanakan tugas suci dan mulia merawat dan menjaga Indonesia agar tetap berporos pada Asas kedaulatan Rakyat.
Olehnya itu kepada siapapun yang bergabung dan menjadi bagian GMNI yang hanya menjadikannya sebagai alat untuk meraih kekuasaan (kepentingan diri dan kepentingan kelompoknya) tentulah akan menemui jalan buntu dan kehancuran.
Kita perlu tegaskan bahwa GMNI lahir sebagai Zeitgeist (semangat zaman) untuk menunaikan kewajibannya membersamai (memihak) pada marhaen menuju Indonesia Merdeka, Adil dan Makmur.
Hendaknya sejarah dipahami sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan (masa lalu, masa kini dan masa depan), dan untuk memahaminya haruslah kita melihat dan mengurainya secara dialektik (kekuatan-kekuatan yang saling berkontradiksi) yang berjejak dalam susunan riwayat GMNI.
Mengapa demikian? karena hanya dengan itu kita dapat menarik benang merah peristiwa-peristiwa bersejarah dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya agar tidak terjadi seperti yang diucapkan Karl Marx (Sejarah berulang. Pertama sebagai tragedi, kedua sebagai komedi).
Pertama, konfilik poros nasionalis dalam buku Rocamora yang berjudul Nasionalisme Mencari Ideologi masa Bung Karno. Kedua, Poros Nasionalis masa Soeharto. Ketiga, Poros Nasionalis masa Reformasi.
1. Konflik Poros Nasionalis
Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai wadah perjuangan nasionalis pasca kemerdekaan tahun 1945 hendaknya dipandang sebagai organisasi yang menterjemahkan keinginan Bung Karno sebagai partai pelopor, pun demikian harus pula dilihat bahwa mereka yang tergabung dalam PNI terbagi dalam banyak faksi yang oleh Rocamora disebutnya sebagai Faksi Konserfatif diwakili oleh gerbong Osa Maliki – Usep Ranuwiharja, Faksi Progresif Revolusioner yang diwakili oleh gerbong Ali Sostroamijojo – Surachman yang kelak diplesetkan menjadi dan disingkat ASU.
Bung Karno menghendaki PNI sebagai partai pelopor progresif Revolusioner, dalam menafsirkan Marhenisme hendaknya tidak keluar dari Tools yang digariskannya, hingga pada akhirnya Ali Sostroamijojo menghendaki keinginan Bung Karno dengan merumuskan pokok-pokok Marhaenisme dengan menyebutkan bahwa Marhaenisme ialah Marxisme yang dikondisikan di Indonesia, yang dikenal dengan istilah Deklarasi Marhaenis. dengan kata lain bahwa Marhaenisme dalam cara berfikirnya mengandung Materialisme-Dialektika-Historis (MDH). Pertentangan diantara Nasionalis (baik dari PNI maupun organ afiliasi) yang kian menajam terjadi sekitar tahun 1957-1965.
2. Poros Nasionalis masa Soeharto
Setelah Bung Karno di gulingkan, Soeharto yang memegang kendali dalam pemerintahan Indonesia (Angkatan Darat) kelak menjadi Presiden menghendaki agar segala yang berbau Komunisme dan Sukarnoisme haruslah dibumihanguskan (dihilangkan sama sekali), maka kepemimpinan PNI diambil alih oleh Osa Maliki dan Usep dengan syarat yang telah disodorkan oleh Soeharto, yaitu: Marhaenisme Is Pancasila (Pancasila Orde Baru P4), Marhanisme berisi pokok Yudha Praditina Marhaenis, Marhaenisme bukanlah Marxisme dan sepakat mencabut gelar Bung Karno sebagai bapak Marhaenisme.
Kontrol Soeharto terhadap seluruh organisasi pemuda, mahasiswa dan keagamaan maupun Partai politik dapat dimengerti sebagai upaya menjaga stabilitas politik. Dengan sendirinya proyek Desoekarnoisasi terjadi secara massif dan terencana. Maka nasionalis PNI (yang juga GMNI) yang bergabung dan mendukung pemerintahan Soeharto telah mengingkari dan meninggalkan asas Marhaenisme rumusan Bung Karno.
3. Nasionalis masa Reformasi
Gagalnya Soeharto dalam menjalankan Amanat Penderitaan Rakyat membuktikan bahwa ia adalah antek Neokolim (wujud nyata kolonialisme, feodalisme, kapitalisme dan imprealisme) dan merupakan unsur Kontra Revolusi yang di kutuk habis-habisan oleh Bung Karno. Jutaan orang Indonesia dibantai (baca Genoside) tanpa proses hukum, dan parahnya arah Indonesia menuju Revolusi sosial (Sosialisme Indonesia) berubah 180 derajat.
Pada sisi yang lain nasionalis progersif yang pada masa Soeharto ditekan habis-habisan ternyata tidak lenyap, ia berjejak dan tersebar di berbagai organisasi kerakyatan, pun mereka harus” bekerja di bawah tanah” atau sering disebut pejuang gorong-gorong dan tidak terang-terangan mengadvokasi rakyat.
Usaha untuk menggulingkan dan meyudahi kekuasaan Soeharto berhasil dilakukan pada 21 mei 1998. Pada masa Reformasi, Nasionalis Progresif memimpin (termasuk GMNI) dalam upaya mengkonsolidasikan kekuatan. Dinamika perjalanan GMNI diuji setiap waktu. Benih-benih konservatif dan bahkan Borjuis didalam tubuh Nasionalis masih ada dan bahkan sementa ini mendominasi dalam perpolitikan Indonesia.
Dari peristiwa sejarah, kita hendaknya belajar betapa rumit dan kompleksnya dinamika “pertentangan” dalam tubuh Nasionalis secara dialektik. Bahwa dalam peretentangan paling tinggi (negasi) hendaknya kita mampu menarik garis Demarkasi mana kawan dan mana lawan.
Sebagai bagian dari GMNI, saya sedari awal bahkan sampai kongres GMNI di Minahasa (tahun 2017) melihat realitas dalam tubuh GMNI bahwa terdapat 2 gerbong besar yang saling berhadapan, antara yang menghendaki GMNI menjadi organisasi yang pragmatis bahkan oportunis yang lebih mengedepankan formalitas organisasi dan yang menghendaki perbaikan secara radikal konsep gerakan dan pemihakan secara Ideologis, sering diistilahkan memisahkan air dan minyak.
Meskipun dengan segala kekurangan, saya tanpa tedeng aling-aling berpendapat bahwa dibawah kepemipinan Arjuna-Dendi, kerja-kerja perbaikan organisasi telah dilakukan dengan sekuat-kuatnya, ini nampak terdokumentasikan dari lahirnya Silabus Organisasi.
Selain itu, upaya membersamai kader sebagai komitmen untuk membenahi organisasi secara Ideologis telah dilakukan. Selanjutnya sikap yang berbeda dilakukan oleh Imanuel Cahyadi dan Sujahri Somar bersama pengurusnya dengan tanpa malu mendatangi Prabowo di rumahnya (kertanegara) dan menyatakan dukungannya sebagai calon presiden pada tanggal 14 oktober 2023 dengan menggunakan atribut organisasi menegaskan posisi pragmatisnya.
Dan juga melihat kondisi GMNI sulbar akhir-akhir ini, GMNI polewali yang dulunya berada barisan Arjuna-Dendi, kini beralih mendukung Imanuel Cahyadi-Sujahri tidaklah mengherankan bagi saya, karna langkah dan pertimbangan yang diambil tentunya tidak jauh berbeda dengan Imanuel-Sujahri, semunya tidak berdasarkan pertimbangan ideologis.
Ini tampak berbeda dengan keterbelahan GMNI mamuju dan Polewali yang di dahului oleh pertentangan (konfercab) dan lebih bernuansa Ideologis (karena unsur partai banyak mencampuri).
Sangat disayangkan, kawan seperti Riyan tidak jujur dalam keterlibatannya, pun demikian Barak yang tidak tidak tau permasalahannya tiba-tiba mendukung. Saya menduganya ini ada kaitan dengan perebutan formasi struktur PA.
Terakhir, perlu saya tegaskan bahwa posisi saya di DPP GMNI sekarang tidaklah pernah saya impikan sebelumnya dan tidak pernah saya minta. Namun mandat organisasi telah diberikan maka saya pun menjalankan mandat itu dengan penuh suka cita. Apa yang saya kerjakan selama di DPP? tidak banyak, tapi saya hanya memastikan GMNI Sulbar tidak diganggu oleh intrik-inrik luar serta mengupayakan perluasan komunikasi kawan-kawan dicabang. Hanya itu yang dapat saya kerjakan. Untuk selanjutnya siapapun yang ingin mengisi struktur di DPP silahkan jikalau kawan-kawan punya ambisi untuk itu, selain itu bersabarlah. Bagi saya jabatan dan posisi adalah bonus saja dari kerja-kerja organisasi atau proses yang dijalankan, begitupula dengan kekuasaan.
Terlalu kecil kalau GMNI hanya bicara bagi-bagi kekuasaan, jangan mereduksi GMNI hanya sekedar wadah perpanjangan karir. GMNI Dilahirkan untuk Hal-Hal Besar (Ad Maiora Natus Sum).
Saya ucapkan terimakasih banyak kawan-kawan, hendaknya pengabdian kita pada GMNI tak kunjung padam.
Merdeka…!!!
Penulis Abdul Muid, Wakil Ketua Bidang Agraria DPP GMNI.