Marhaenist.id-Pelatihan yang diberikan oleh TNI kepada penyelenggara pemilu, memunculkan sejumlah kekhawatiran yang layak mendapatkan perhatian serius. Salah satu aspek kritis adalah persepsi negatif yang mungkin muncul di kalangan masyarakat mengenai integritas KPU dan Bawaslu. Masyarakat bisa melihat keterlibatan militer ini sebagai indikasi bahwa militer memiliki peran yang terlalu besar dalam proses pemilu, yang seharusnya dijalankan secara sipil dan netral. Keterlibatan militer dalam pelatihan penyelenggara pemilu bisa dianggap sebagai upaya militer untuk memperluas pengaruhnya dalam proses politik. Ini berpotensi mengganggu netralitas dan independensi penyelenggara pemilu yang seharusnya bebas dari intervensi pihak manapun, termasuk militer.
Menurut pemberitaan terbaru, Pelatihan Penyelenggara Pemilu yang diadakan di RINDAM (Resimen Induk Kodam) melibatkan berbagai pelatihan dan simulasi untuk meningkatkan kesiapan penyelenggara pemilu. Berita ini mencatat bahwa pelatihan ini mencakup materi mengenai teknik pengamanan, penanganan kerusuhan, dan prosedur operasi standar yang harus diterapkan dalam pelaksanaan pemilu. Namun, keberadaan pelatihan ini di institusi militer dapat menimbulkan kontroversi mengenai keterlibatan TNI dalam proses yang seharusnya netral dan non-militer.
Ada potensi konflik kepentingan jika militer terlibat dalam pelatihan pengawas pemilu. Militer seharusnya netral dalam urusan politik, dan pelatihan ini bisa menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh militer dalam proses pemilu. Netralitas militer dalam urusan politik adalah prinsip yang harus dijaga ketat untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam pemilu.
Kalaupun pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pengawas pemilu dan memperkuat pemahaman mengenai hukum dan peraturan pemilu, kepolisian lebih tepat untuk melakukannya. Kepolisian memiliki peran yang jelas dan signifikan dalam menjaga keamanan dan ketertiban selama proses pemilu. Mereka bertanggung jawab atas pengamanan logistik pemilu, perlindungan terhadap kandidat, serta penanganan konflik yang mungkin terjadi selama kampanye dan hari pemungutan suara. Kepolisian sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam hal pengawasan pemilu dari sisi keamanan. Mereka lebih tepat untuk memberikan pelatihan terkait penanganan pelanggaran dan gangguan keamanan selama pemilu daripada militer yang fungsinya lebih pada pertahanan negara.
Melibatkan kepolisian dalam pelatihan pengawas pemilu bisa lebih diterima publik karena kepolisian dianggap lebih terkait langsung dengan penegakan hukum dan keamanan sipil. Pelatihan oleh kepolisian tidak akan menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi infiltrasi militer dalam proses politik. Kepolisian memiliki mandat dan keahlian yang relevan untuk menangani isu-isu keamanan yang mungkin muncul selama pemilu, sehingga pelatihan oleh mereka akan lebih efektif dan diterima dengan baik oleh masyarakat.
Penting untuk memastikan bahwa setiap pelatihan yang ditujukan untuk penyelenggara pemilu dilakukan oleh pihak yang memiliki mandat dan keahlian yang sesuai. Dalam konteks ini, kepolisian lebih tepat dan lebih dapat diterima untuk memberikan pelatihan terkait penanganan pelanggaran dan gangguan keamanan selama pemilu. Keterlibatan militer dalam pelatihan tersebut hanya akan menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi pengaruh militer dalam proses politik, yang dapat merusak integritas dan netralitas penyelenggara pemilu.
Oleh : Eko Zaiwan, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Peneliti Presisi45