Marhaenis.id – Pada 2019, tahun yang tepat, hajatan demokrasi seperti Pemilihan Presiden (Pilpres), sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak pilih, saya (berumur 19 tahun) pastikan pilihan saya mencoblos tokoh bernama Joko Widodo (nama familiar Jokowi), dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bersama partai koalisi yang mendukungnya, sebagai Calon Presiden Republik Indonesia untuk periode kedua.
Penulis yang saat ini berumur 24 tahun, menempatkan tulisan ini bukan sebagai pelaku akademik, melainkan kegelisahan pribadi sebagai rakyat. Harapan saya tak muluk-muluk, yakni bagaimana era Presiden Jokowi tak hanya sekedar memberikan Bantuan Sosial (Bansos) hanya untuk kepentingan populistik dan konsumtif yang melekat pada pribadinya. Melainkan yakni menterjemahkan dalam wujud ide maupun public policy, yang diwariskan oleh The Founding Father mengenai konsepsi dalam berbangsa maupun bernegara, terutama yakni mengenai ide tentang Demokrasi beserta praktiknya.
Poin terpenting dalam pelaksanaan demokrasi yakni memberikan ruang kebebasan ekspresi kaum muda, kelas menengah dan akar rumput mendapatkan haknya untuk berdemokrasi yang se-demokratisnya, yakni dengan cara berkontestasi secara elegan. Namun justru kondisi Republik akhir tahun 2023 dan memasuki awal tahun 2024, saya sangat pesimistik (semoga saja sewaktu-waktu menjadi optimistik).
Semua jabatan publik dapat diraih secara cepat dengan proses yang singkat, karena bermodalkan privilege dari sang orang tua yang mempunyai pengaruh penting dalam menentukan republik Indonesia kedepannya. Padahal, saya optimis 100% bahwa Jokowi merupakan Presiden yang lahir dari Rakyat, dikenal sederhana. Namun seolah-olah persepsi berubah 180 derajat, sejak ia meng-iya-kan anaknya maju dalam kontestasi, tanpa memikirkan gelombang protes kedepannya.
Misalnya, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sosok yang meng-claim representatif anak muda, Gibran Rakabuming Raka, dengan begitu cepat mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden, yang berpasangan dengan Calon Presiden, Prabowo Subianto. Namun sejumlah temuan-temuan bahwa pencalonan Gibran sebagai Cawapres dinilai telah menyalahi aturan main hukum secara umum. Misalnya pelanggaran etik Hakim MK (Anwar Usman) menambahkan dalil tambahan, saat menjelang pendaftaran Capres-Cawapres, dan KPU (Ketua Hasyim Asyari) menerima Gibran mendaftar sebagai Cawapres.
Arus informasi yang begitu deras, tentu publik bertanya, apakah semudah itu pencalonan Gibran sebagai Cawapres melalui jalur Hoki ? Dimana Gibran diuntungkan dengan peran paman iparnya, mantan Ketua Mahkamah Kontitusi (MK), Anwar Usman yang memimpin jalannya persidangan yang mengabulkan Sebagian Putusan MK dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan penambahan norma “pernah/atau sedang menjabat sebagai Kepala Daerah”. Tentu hal ini diuntungkan bagi Gibran (anak Presiden Jokowi), yang mengorbankan pamannya divonis melanggar etik persidangan (confict of interest) oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang dipimpin oleh Majelis Hakim, Prof. Jimly Assidiqi.
Begitupun juga Ketua KPU, Hasyim As’yari mendapatkan sanksi peringatan keras oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), soal pendaftaran Gibran sebagai Cawapres, karena dinilai lalai dalam mengubah PKPU, sebagaimana menyesuaikan Putusan MK No. 90. Ambiguitas inilah yang membingungkan berbagai elemen, aturan main yang sebenarnya bagaimana ? memang, sejak pencalonan Gibran sebagai putra Presiden Jokowi, membuat publik gaduh.
Mungkin saja, justru bukan Islamphobia atau Fobia Komunis ataupun bahkan ideologi Kapitalisme (pemilik modal sebagai penentu dalam mengatur masalah ekonomi) yang berbahaya, melainkan Oligarki-Nepotisme yang lebih berbahaya (menguasai struktur politik sebagai legacy dalam mengatur urusan ekonomi politik makro), karena membunuh prinsip dalam berdemokrasi.
Dalam konteks fenomena saat ini, bagaimana posisi demokrasi berpihak ? apakah memang demokrasi yang memberikan ruang berekspresi sebebas-bebasnya dengan mengedepankan prinsip Pancasila, ataukah memang demokrasi direkayasa oleh penguasa rezim Presiden Jokowi yang menguntungkan elit oligarki, atau yang disebut dengan Pseudo-Demokrasi (Demokrasi Semu) ?
Rekonsiliasi Elit & Harga Sembako Melejit era Pseudo-Demokrasi 2024: Pencalonan Gibran Cawapres, Ibarat Republik “Tanpa” Publik
Tentunya, saya yang mempunyai cita-cita untuk mengabdi negeri Indonesia yang tercinta ini, seolah menurunkan motivasi untuk berjuang. Menguatnya budaya nepotisme dan diproses layaknya di karbit, sejak maraknya atraksi politik dengan isu yang beredar “Bapak mencarikan pekerjaan anaknya.”
Awalnya, saya (saat itu berusia 19 tahun), pernah hadir sebagai audiens, acara Talkshow yang diselenggarakan oleh Banteng Muda Indonesia (BMI) DKI Jakarta tahun 2019, dengan mengundang Gibran sebagai narasumber, tepat hari Pahlawan 10 November. Saya meyakini bahwa Gibran merupakan sosok anak muda sederhana dan potensial, sabar dengan proses kematangan politiknya, tanpa menggunakan privilege Bapaknya yang sedang menjabat Presiden.
Namun, sudah berubah, sejak Bapaknya bernama Jokowi (menjabat Presiden) memberikan keleluasaanya terhadap anaknya Gibran mencalonkan sebagai Cawapres, dan Kaesang Pangarep, dua hari lebih beberapa jam, setelah mendaftarkan diri sebagai anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI) langsung menjadi Ketua Umum tanpa melalui proses kaderisasi partai yang diterapkan oleh partai politik pada umumnya.
Anomali tersebut memang sengaja dipertontonkan strategi licin otoritas kekuasaan ataukah memang pembodohan publik ? Ditambah dengan masuknya gerakan oposisi Partai Demokrat masuk ke pemerintahan Kabinet Jokowi, mengangkat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri ATR/BPN, dengan dalih rekonsiliasi demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, apakah menjamin demokrasi ini berjalan dengan baik ? tentu menjadi tantangan, bagi akademisi/intelektual pengkaji demokrasi yang obyektif.
Saya rasa amat, rekonsiliasi politik hanya untuk kalangan elit, bukan mengakomodir kepentingan kesadaran kritis-konstruktif yang bergerak secara organik (tanpa adanya kepentingan elit politik). Masih banyak persoalan yang harus diselesaikan oleh sosok Presiden Jokowi, terutama yakni menyelesaikan 12 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat melalui jalur hukum atau yudisial.
Pertama, pembantaian warga sipil yang tertuduh sebagai anggota PKI 1965-1966; Kedua, penembakan Misterius 1982-1985; Ketiga, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Keempat, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Kelima, Penghilangan aktivis secara paksa 1997-1998; Keenam, Kerusuhan Mei 1998;
Ketujuh, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999; Kedelapan, Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Kesembilan, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999; Kesepuluh, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002; Kesebelas, Peristiwa Wamena, Papua 2003; Keduabelas, Jambo Keupok, Aceh 2003.
Namun seolah-olah isu HAM era Jokowi seperti angin lewat begitu saja. Menjelang masa jabatannya, persoalan HAM tak kunjung tuntas. Namun pertunjukan anomali kembali terjadi, Presiden Jokowi memberikan kenaikan pangkat terhadap Prabowo Subianto sebagai Jendral Kehormatan Bintang 4. Tentu menimbulkan kontroversi publik bagi kalangan aktivisme HAM, karena Prabowo pernah dipecat oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Wiranto, atas perintah Presiden Habibie, karena terduga terlibat dalam tindak pidana penculikan, penahanan beberapa aktivis pada masa itu. Tentunya melanggar norma kemiliteran dan tindak indisipliner.
Hanya Presiden Jokowi yang bisa melakukan apa saja demi Hasrat politiknya untuk membangun dinasti dan kompromi dengan elit oligarki. Penulis juga mengajukan 2 dugaan yang menjadi pertanyaan penulis, pertama, apakah memang Presiden mempunyai Hasrat politiknya untuk melanggengkan kepentingannya, dengan menakut-nakuti Pejabat Daerah atau Desa yang diduga tersandung korupsi sehingga menggunakan instrumen KPK atau Kejaksaan sebagai alat politik ? dan atau kedua, apakah Presiden Jokowi pernah melakukan kesalahan, sehingga ia tersandera politik, oleh elit oligarki di lingkaran Istana ? sebagai rakyat, tentu saya tidak mengerti sebenarnya yang terjadi dalam kepentingan elit itu tersendiri.
Terutama dalam Pemilu 2024, ada indikasi kecurangan dengan menggunakan instrumen lembaga negara dan menggunakan anggaran negara untuk memuluskan hasrat politiknya. Segala potensi sumber daya manusia untuk diarahkan memenangkan Paslon No. 2 (Prabowo – Gibran). Saya tak mengerti, menjelang detik Pemilu 2024 sikap politiknya berubah drastis. Dugaan penulis, secara tersirat ia berupaya menggembosi Partai yang membesarkannya, yakni PDI-P (Partai Tegak Lurus Ajaran Bung Karno), sepanjang dalam perjalanan karier politiknya, sungguh ironi.
Apakah mungkin, De-Soekarnoisasi Djilid II terjadi ? jika periode kedua hampir ada kemiripannya dengan rezim Orde Baru ? Pencitraan politiknya selalu melekat dengan pola-polanya yang hampir mirip. Kenaikan sembako telah naik, namun pemerintah secara inisiaif memberikan bantuan sembako murah. Atau memang ini hanya populistik bersembunyi dibalik kedok Demokrasi ?
Fenomena Neo-Orba Rezim Jokowi, Mungkin De-Sukarnoisasi Djilid II ?
Ketika harga sembako naik, atraksi politik rekonsiliasi elit yang abai terhadap pelanggaran politik dan belum terselesainya HAM. Menjadi catatan publik bahwa ugal-ugalan berpolitik Presiden Jokowi menjadi preseden buruk, lemahnya berdemokrasi dan menguatnya keterlibatan pemodal merangsek sebagai politisi (oligarki) telah gagal dalam praktik berdemokrasi.
Argumentasi penulis bahwa Jokowi jauh dari nawacita Bung Karno, karena Jokowi meng-amini ide memperkuat nepotisme dan dugaan bersengkokol dengan elit oligarki yang berlindung dibalik demokrasi, ketika saat menjabat sebagai Presiden, serta mendukung secara tersirat, Gibran yang mencalonkan sebagai Calon Wakil Presiden.
Sedangkan Bung Karno, tidak mempunyai niatan untuk nepotisme untuk mengusung anaknya sebagai Capres-Cawapres, karena menurutnya, ia berupaya melaksanakan mekanisme demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Ia memberikan ruang kepada masyarakat ide, untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara. Tentu Jokowi dalam kebijakan politiknya melakukan anti-thesa atau bahkan pembelokkan ajaran dan azaz perjuangan Bung Karno.
Meskipun, saya memprediksi ada multi-persepsi pertanyaan yang terbayang. Pertama, apakah Presiden Jokowi telah melaksanakan ide Bung Karno dan berkompromi dengan PDI-P ?; Kedua, apakah ia menggunakan nama “Bung Karno” untuk kepentingan populistik yang mengabaikan prinsip demokrasi dan rekonsiliasi elit oligarki eks-tokoh Orde Baru ?; Ketiga, ia memposisikan sebagai pemimpin yang berwibawa dimata rakyat dan melaksanakan ajaran Bung Karno, namun ia diduga secara tersirat beroperasi menggembosi partai yang membesarkannya, yakni PDI-P ? atau lainnya mungkin.
Pendapat pertama, ia mampu melaksanakan ide-ide Bung Karno serta berkompromi dengan PDI-P, asal kedaulatan rakyat melalui partisipasi masyarakat sipil dilibatkan, baik sebagai pelaksana maupun penyeimbang. Dengan konsekuensi adalah meninggalkan elit oligarki yang menggerus aset negara (alam maupun keuangan untuk memperkaya segelintir orang).
Pendapat kedua, maraknya jabatan yang seharusnya diisi oleh warga sipil (baik organisasi atau akademisi/ilmuwan yang ahli dibidangnya) yang mengatur jalannya kebijakan yang seharusnya diberikan keleluasannya. Malah dialihkan pos jabatan tersebut diisi oleh kalangan purnawirawan hingga pecatan militer. Misalnya, Prabowo Subianto diangkat sebagai Menhan, Luhut Panjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi), Wiranto (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden dan Mantan Menkopolhukam era Presiden Jokowi Periode pertama). Tentu konsep ini tak bedanya dengan kebijakan Presiden Soeharto, dikenal dengan rezim Orde Baru yang mengaktifkan Dwifungsi ABRI (militer).
Pendapat ketiga, membangun aliansi baru dengan eks-Orde Baru yang berlatarbelakang Oligarki Eks-Militer, dengan secara tersirat dan perlahan, meninggalkan sekaligus terindikasi menggembosi partai yang membesarkan dia hingga mencapai pucuk kepemimpinan Republik Indonesia yakni Presiden (sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan).
Tentu dalam konteks Pemilu 2024, seandainya pendapat pertama digunakan, maka tentu kolaborasi-kolektif akan semakin kuat. Seiring dengan beberapa hasil Survei menunjukkan trend Jokowi Effect dikenal sebagai pemimpin yang merakyat. Disamping itu, PDI-P secara cermat dan matang dalam mempersiapkan calon presiden selanjutnya melalui mekanisme musyawarah mufakat dan proses Panjang, yakni Ganjar Pranowo berpasangan dengan ahli hukum yang dikenal tegas dan berpegang teguh yakni Mahfud MD.
Seharusnya, dalam fatsun atau etika politik, Jokowi sebagai kader PDI-P, tentu mendukung Calon Presiden yang diusung oleh PDI-P. Karena jelas, PDI-P sudah menjaring melalui jarring aspirasi dari akar rumput hingga keputusan preogratif mandat kongres PDI-P tahun 2019, memberikan kewenangan Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, menentukan kader terbaiknya untuk berkontestasi Pilpres 2024. Namun Jokowi berpaling dan memenangkan Prabowo (rival politiknya tahun 2014 & 2019), sebagai rival kontestasi Pilpres 2024 berhadapan dengan Ganjar, apakah Jokowi sedang baper dalam berpolitik ? tentu tidak ada yang tahu tabir ini, saya sebagai rakyat biasa.
Pendapat kedua tak lepas ada kemiripan dengan rezim Orde Baru. Tentu prediksi penulis, jika paslon 02 diprediksi sah diputuskan oleh KPU, menjadi Presiden, maka dikhawatirkan benih-benih otoritarianisme dibawah rezim militer akan terjadi. Insiden terjadi saat Budayawan bernama Butet Kartaredjasa dan Agus Noor’s menampilkan teatrikal bertajuk “Musuh Bebuyutan” di Taman Ismail Marzuki, mendapatkan intimidasi oleh aparat, pembungkaman kebebasan ekspresi. Hal ini menggambarkan bahwa watak rezim Jokowi periode kedua dikenal otoritarianisme, sebagaimana fenomena ini dikenal sebagai Neo-New Order (Neo-Orba).
Pengkajian tentang Neo-New Order yang melekat pada rezim Jokowi, ditulis oleh Tim Lindsley, Guru Besar Social and Indonesia Law, Universitas Melbourne, Australia, menuliskan artikel berjudul “Is Indonesia Sliding Towards a Neo-New Order ?” , dalam poin artikel tersebut menggambarkan kehilangan kepercayaan masyarakat sipil yang berjuang HAM dan Demokrasi kepada Jokowi. Karena sikap politiknya bergeser ke politik global yang sayap kanan (kapitalisme global). Dengan kata lain, istana didominasi oleh kalangan oligarki yang menguasai partai politik, media dan beberapa pihak menguasai 60 persen dari perekonomian.
Selain itu, lemahnya sistem politik Indonesia yang tidak diatur dengan baik, karena melanggengkan orang kaya dan mendorong kandidat secara illegal dengan menutup biaya tinggi agar dapat terpilih. Hal ini menandakan bahwa demokrasi yang lemah (sistem pengawasan lemah), potensi korupsi di kalangan elit politik dan menjadi alasan utama pendekatan predator mereka terhadap pengadaan publik. Hal tersebut memperburuk reputasi Indonesia dalam kacamata dunia.
Pendapat ketiga, ia secara terang-terangan meninggalkan PDI-P dengan berkompromi dengan aliansi beberapa partai politik, yang didalamnya tentu mayoritas sebagai pengusaaha sekaligus elit politik (oligarki). Hal in secara terang benderang, bahwa anaknya Presiden Jokowi, Gibran berpaling untuk ikut berkontestasi Pilpres melalui jalan Hoki (rubah UU Pemilu lewat Paman Hakim MK dan paksakan diri mendaftar, meskipun PKPU belum direvisi oleh KPU).
Padahal Gibran merupakan kader PDI-P aktif dan menjabat sebagai Walikota Surakarta, yang secara penuh didukung oleh PDI-P. Namun ia abai dan membangun poros baru (didalamnya elit oligarki). Jelas ia tak hanya cacat etik MK dan KPU, melainkan yakni cacat etik dan fatsun kepartaian yang menjadi tradisi PDI-P, yakni musyawarah mufakat, dan setiap kader harus mengikuti apa yang menjadi kesepakatan bersama dalam musyawarah mufakat internal partai.
Karena alasan PDI-P tidak mencalonkan Gibran, karena pengalaman politiknya masih seumur jagung. Dengan catatan penulis, rendahnya keterlibatan Gibran berpartisipasi dalam politik untuk memenangkan sang Ayahnya yang berkompetisi (baik Pilkada Surakarta 2 Periode, Pilkada DKI Jakarta, dan Pilpres 2 Periode). Ia dicalonkan sebagai Walikota Surakarta, tak lepas keterlibatan Bapak untuk mencarikan pekerjaan Anaknya menjadi Walikota Surakarta, lewat lobi-lobi Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri (potong kompas, tidak melalui mekanisme musyawarah/rekomendasi DPC PDI-P Surakarta). Tentu pencalonan Gibran sebagai Walikota melalui jalur Hoki (keberuntungan karena Bapaknya Presiden).
Fenomena ini tentu merusak iklim demokrasi yang sesungguhnya. Tentunya, PDI-P melaksanakan proses kaderisasi dengan penggemblengan ideologi Bung Karno, yang menempatkan Marhaenisme sebagai azaz perjuangan dan Pancasila sebagai sistem nilai dalam perumusan kebijakan. Banyak tokoh dari PDI-P yang berhasil melalui proses penggemblengan, tak hanya Jokowi. Beberapa seperti hanya Ganjar Pranowo (Gubenrur Jawa Tengah), Olly Dondokambey (Gubernur Sulawesi Utara), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Hendra Prihadi (Walikota Semarang), dll yang tidak dapat disebut satu persatu.
Biasanya, kader tulen yang mampu menterjemahkan pemikiran Bung Karno, maka ia menempatkan Marhaenisme sebagai teori perjuangan, yang menempatkan Pangan yang Daulat. Karena menurut Bung Karno, persoalan pangan adalah persoalan hidup dan matinya sebuah bangsa. Namun yang menjadi beban, terutama saya secara pribadi sebagai anak kos yang masak sendiri, keberatan dengan harga sembako yang melambung tinggi. Rezim Jokowi, mana keberpihakannya kepada masyarakat miskin termarjinalkan dan kelas menengah sebagai pelajar/mahasiswa ?
Tentu menjadi catatan kritis, ketika harga sembako naik, karena lemahnya dari Pemerintahan Presiden Jokowi menjelang akhir masa jabatan periode kedua. Pendapat penulis, Pertama, mengenai program food estate (ketahanan pangan) tidak diserahkan ke ahlinya (misalnya Kementerian Pertanian atau Badan Pangan Nasional), melainkan ke Kementerian Pertahanan, yang dijabat oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto; Kedua, lemahnya riset-riset inovasi tentang pengembangan dan ketahanan pangan, dan gerakan alternatif hadapi cuaca ekstrem; Ketiga, lemahnya pengawasan pendistribusian bahan pangan, yang dikhawatirkan adalah permainan harga (yang ditimbun dengan sengaja memainkan harga pangan menjadi naik).***
Penulis: Aji Cahyono, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Writer Independent.