Marhaenist.id, Surabaya – Hari Perempuan Intenasional atau dalam bahasa umum yang dikenal oleh masyarakat dunia, International Women’s Day (IWD), yang selalu dirayakan pada 8 Maret adalah momentum perempuan harus menunjukkan eksistensinya, sebagai sesama manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang setara, sama, dan berkeadilan.
Dalam momentum tersebut, penulis mengambil spirit yang bertemakan “Inspire Inclusion“, yang secara umum diarahkan pada inspirasi yang inklusi dengan menciptakan keberagaman dan pemberdayaan, tanpa terkecuali.
Pastinya, momentum tak sekedar diuntungkan oleh satu pihak atau segelintir orang, kelompok atau komunitas. Melainkan yakni mencakup manusia universal dengan keanekaragaman, yang mempunyai visi yang sama yakni memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi Perempuan. Meskipun dalam perjalanan sejarah kemunculan IWD, tak lepas dari perlawanan Perempuan agar mendapatkan Hak-nya yang setara dan berkeadilan.
Pada tahun 1908, kerusuhan dan perdebatan kritis dikalangan muda karena adanya diskriminasi dan penindasan yang menimpa perempuan. Kurang lebih sejumlah 15 ribu perempuan menuntuk haknya untuk diberikan jam kerja yang pendek jika berhalangan, serta diberikan gaji yang selayaknya. Namun tak hanya sebatas itu, melainkan yakni perempuan terlibat aktif dalam politik, khususnya Pemilihan Umum.
Karena kejadian tersebut memicu pergerakan aktif bagi kaum perempuan menjadi pemeran utama untuk menyuarakan perubahan. Hingga tahun 1910 di konferensi International Perempuan Pekerja di Kopenhagen Denmark, Clara Zetkin memberi usulan mengenai hari Perempuan International Day. Konferensi tersebut dihadiri lebih dari 100 perempuan dari 17 negara, yang mewakili serikat pekerja, partai sosialis, dan klub perempuan pekerja.
Hasilnya pada tahun 1911 merupakan tahun dimana Hari Perempuan Internasional disepakati, masa itu peringatan pertama kali bertepatan tanggal 19 Maret yang dirayakan oleh negara Denmark, Austria, Jerman, dan Swiss. Pada peringatan pertama kali tersebut lebih dari satu juta perempuan dan laki-laki hadir dalam mengkampanyekan hak-hak perempuan untuk bekerja, memilih, dilatih memegang jabatan publik dan mengakhiri diskriminasi. Tahun berikutnya perempuan di Rusia memeringati Hari Perempuan internasional pada tanggal 23 Februari, terjadinya perbedaan tanggal perayaan tersebut, akhirnya perayaan Hari Perempuan Internasional secara global diperingati pada 8 Maret setiap tahun.
IWD 2024: Inspire Inclusion, Spirit Keberpihakan Perempuan & Disahkannya RUU PPRT Menjadi UU
Penulis, terinspirasi dari Pidato Guru Besar Ilmu Gender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Alimatul Qibtiyah, poin terpenting dalam kesetaraan Gender adalah tidak adanya ‘dominasi’ yang tak seimbang, baik laki-laki dan perempuan. Melainkan yang terpenting adalah Kolaborasi antara Laki-Laki dan Perempuan, dalam memainkan peranan penting berdasarkan kesepatakan dan kesepahaman bersama. Oleh karena itu,
tema IWD 2024 ini “Inspire inclusion” menegaskan komitmen global untuk menciptakan dunia yang adil, inklusif, dan setara bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamis, ras, suku atau latar belakang sosial lainnya, tema ini juga menekankan pentingnya peran inklusi dalam mencapai kesetaraan dan keadilan gender serta keterwakilan perempuan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mereka yang berasal dari kelompok termarjinalkan. Keterwakilan ini berguna untuk mengetahui perspektif dan sebagai konstribusi aktif dalam upaya pemberdayaan Perempuan. Inklusi yang dimaksud bukan hanya tentang memberi ruang, akan tetapi juga menghargai konstribusi dan keberadaan Perempuan dalam segala aspek.
Di Indonesia terdapat berbagai profesi salah salah satunya ialah pekerja rumah tangga (PRT) yang mencapai sebanyak 5 juta jiwa dan mayoritasnya adalah Perempuan. Kondisi faktual selama ini menunjukan bahwa PRT baik di dalam negeri maupun yang berstatus pekerja migran dalam rentan mengalami kekerasan, pelecehan, penganiayaan maupaun pelanggaran hak asasi lainnya.
Dilansir dari catatan Jaringan Nasional Advokasi Rumah Tangga (Jala PRT), pengaduan PRT yang mendapatkan pelakuan kekerasan dari majikan hingga menjadi korban pelanggaran HAM berjumlah sekitar 600 aduan sepanjang 2023, jika dihitung dari 6 tahun terakhir ini sudah sebanyak 2.641 kasus kekerasan kepada pekerja rumah tangga. Selama 2 dekade terakhir Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) masih terkatung – katung di DPR. RUU PPRT merupakan bentuk perlindungan terhadap PRT dari kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran hak-hak masih dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kajian ini masih banyak terjadi pelanggaran hak terhadap PRT, seperti tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak, tidak ada pengaturan waktu kerja normatif, mekanisme pengupahan, jaminan sosial, perlindungan atas pemecatan sepihak, hingga perlindungan atas tindakan kekerasan. RUU PPRT ini sebagai langkah nyata untuk memberikan perlindungan yang layak bagi para PRT yang selama ini berjuang menanti keadilan dan kesejahteraan melalui disahkannya RUU PPRT menjadi UU PPRT.
Tanpa disadari RUU PPRT ini selain digunakan untuk memberikan perhatian dan perlindungan para PRT, RUU ini juga digunakan untuk memberikan perhatian dan perlindungan kepada semua pihak, baik PRT, maupun pemberi kerja/majikan. Peringatan Hari Perempuan Internasional menjadi momentum untuk merefleksikan tantangan bagi kaum pekerja rumah tangga yang didominasi oleh Perempuan, tulisan ini sebagai pengingat kita semua bahwa perjuangan untuk melindungi PRT masih Panjang.
Mari kita bersatu dalam semangat inklusi dan keberagaman, dengan mendukung dan memastikan RUU PPRT agar segera disahkan menjadi UU PPRT. Karena pengesahan RUU PPRT mendadi UU sebagai wujud pemenuhan hak konstitusional warga, khususnya atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Maka dari itu kita dapat menciptakan dunia kerja yang lebih adil, aman, inklusif, dan berkelanjutan bagi kaum Perempuan.
Penulis: Lailatul Fitriah, Kader DPK GMNI UIN Sunan Ampel Ahmad Yani