Marhaenist.id – Usul DPR terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang dilaksanakan dalam rapat Paripurna DPR pada tanggal 11 Juli 2024, menimbulkan reaksi berbagai kalangan akademisi maupun tokoh masyarakat hal itu disebabkan oleh beberapa alasan yaitu, pertama, secara prosedural proses pembahasan di Baleg hanya ‘memakan’ waktu sehari yaitu pada tanggal 9 Juli 2024 kemudian diajukan dalam rapat paripurna untuk disetujui dilakukan revisi oleh DPR. Kedua, materi muatan yang ada dalam rancangan UU tersebut mengubah beberapa Pasal penting, Ketiga, Revisi atas UU tersebut ditengarai untuk memberikan jabatan ‘baru’.
Wantimpres sesungguhnya diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2006 sebagai konsekuensi dari dihapusnya lembaga negara DPA melalui perubahan UUD 1945 pada perubahan ke- 4 tahun 2002. DPA sebelum dihapuskan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia diatur Bab IV UUD 1945. Diklasifikasikan sebagai lembaga tinggi negara yang sejajar dengan Presiden, DPR, BPK, dan MA, sementara MPR disebut sebagai lembaga tertinggi negara. Dulu Muh.Yamin, dalam menjelaskan tentang lembaga-lembaga negara tersebut menyebutnya sebagai- Six power of the Republic (enam kekuasaan dalam Republik)
Dalam kontek historis sesungguhnya DPA yang diatur dalam Pasal 16 UUD 1945, merupakan adopsi dari sistem ketatanegaraan Belanda yang disebut sebagai Raad van State lalu kemudian di Hindia Belanda namanya Raad Van Nederlandsch Indie, sama halnya dengan DPR yang disamakan dengan Volksraad, MA dengan landraad dan Raad van Justitie dan BPK berasal dari Raad van Rakenkamer. Raad van Nederlandsch Indie dengan jumlah anggota terdiri dari 4-6 orang yang secara atribusi kewenangannya yang diberikan yaitu menasehati dan mengontrol Gubernur Jenderal. Lalu, dalam pembentukan UUD 1945 oleh BPUPK dan disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 DPA diakomodasi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, diatur dalam Pasal 16 UUD 1945.
DPA pertama kali dibentuk 25 September Tahun 1945 terdiri dari 11 Orang dengan Ketuanya R. Margono Djojohadikusumo kemudian ditindaklanjuti melalui UU Nomor 3 Tahun 1967 tentang DPA pada masa awal Pemerintahan Orde Baru.
DPA, keberadaanya pada waktu itu adalah memberikan nasehat, pertimbangan dan usul kepada Presiden menyangkut tentang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kepada Presiden. Lalu, DPA karena dianggap tidak efisien dan dengan terbentuknya lembaga-lembaga negara baru yang lebih memiliki tugas dan wewenang yang jelas, DPA ‘dilikuidasi’.
Pasca dihapusnya DPA di dalam UUD 1945 hasil perubahan, keberadaan DPA diubah dengan nomenklatur Dewan pertimbangan Presiden yang statusnya menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara yang berada di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden kemudian diatur dalam UU nomor 19 Tahun 2006.
Diskursus yang menjadi perdebatan dan menuai pro-kontra di ruang publik, yaitu, menyangkut tentang, pertama, perubahan nama dari Wantimpres menjadi DPA (kembali), kedua, tentang kedudukan DPA (rancangan revisi UU) dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan ketiga, tentang komposisi dan jumlah anggotanya.
Beragam pendapat tentang perubahan nama Wantimpres menjadi DPA, baik dari aspek historis maupun fungsi memang tak terhindarkan karena jika kemudian nomenklatur itu berubah menjadi DPA maka asosiasinya adalah DPA yang merupakan salah satu lembaga negara yang ada dalam UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan artinya dengan penggantian nomenklatur tersebut adanya keinginan menaikan ‘derajat’ lembaga tersebut yang berbeda dengan Wantimpres . Jika melihat keberadaanya sejak dibentuk Wantimpres Tahun 2007 nyaris tak bergema dalam menjalankan tugasnya.
Hal lain yang menarik adalah tentang eksistensinya yang akan berubah DPA kembali menjadi lembaga negara yang sejajar dengan cabang kekuasaan dalam negara lainnya, meskipun keberadaanya hanya diatur dalam UU. Dalam kontek itu secara teoritik sebagai lembaga negara harus jelas; bagaimana pengisian jabatannya, tugas dan wewenangnya, masa jabatanya, hubungan antar lembaga negara dan sumber wewenangnya. Sehingga ketika keinginan untuk menaikan ‘derajat’ dari Wantimpres menjadi DPA tidak ‘menabrak’ konstitusi.
Wantimpres, hari ini jumlahnya 9 (sembilan) orang terdiri dari berbagai latar belakang keahlian, sementara itu dalam rancangan revisi UU jumlahnya ditentukan sesuai kebutuhan Presiden tanpa melihat latar belakang keahlian ataupun pengalaman bernegara artinya dalam kontek ini lebih mempertimbangkan aspek akomodasi kepentingan Presiden bukan kelembagaan.
Usulan revisi UU Nomor 19 Tahun 2006, dalam kontek politik hukum seyogyanya harus utuh komprehensif untuk kepentingan dan rute menuju cita-cita bangsa Indonesia mewujudkan negara demokratis yang adil dan makmur, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Jangan sampai syak wasangka yang berkembang oleh berbagai kalangan ini menjadi kenyataan akan niat dari revisi UU tersebut dilatar belakangi oleh bagi- bagi kekuasaan dan untuk kepentingan jabatan ‘baru’ pasca 20 oktober 2024.
Sehingga, spirit pembentukan DPA harus dibarengi dengan penataan kelembagaan negara, evaluasi dan perbaikan sistem demokrasi yang hari ini super liberal dan meneguhkan kembali staat ide yang sesuai dengan geopolitik Indonesia. Maka, untuk itu diperlukan penjelasan yang utuh tentang politik hukum dan kenegaraan dari usulan revisi UU 19 Tahun 2006 yang mengubah Wantimpres menjadi DPA.
Penulis : DR. ABDY YUHANA, SH., MH. Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Alumni GMNI.