Marhaenist.id – May Day, atau yang dikenal juga sebagai Hari Buruh Internasional, adalah peringatan tahunan yang diperingati di berbagai negara di seluruh dunia pada tanggal 1 Mei. Peringatan ini didedikasikan untuk menghormati perjuangan gerakan buruh dalam memperjuangkan hak-hak pekerja, termasuk hak untuk upah yang layak, jam kerja yang manusiawi, serta hak-hak buruh lainya.
Nasib kaum buruh di Indonesia terus menjadi sorotan utama dalam ranah sosial dan ekonomi, seiring dengan berbagai persoalan yang terus menghadang. Dari perjuangan untuk mendapatkan upah yang layak hingga kekhawatiran akan kehilangan jaminan sosial, tantangan yang dihadapi oleh para pekerja ini membangkitkan pertanyaan mendalam tentang keadilan dan perlindungan dalam dunia kerja. Sebagai tulang punggung ekonomi negara, nasib buruh bukan hanya menjadi cermin bagi keberhasilan pembangunan, tetapi juga indikator utama dari seberapa jauh negara ini memuliakan dan melindungi hak-hak manusia.
Pada tahun 2022, misalnya, menurut Kementerian Ketenagakerjaan, kenaikan upah minimum buruh hanya sebesar rata-rata 1,09%, hal ini menjadi sorotan bagi para buruh. Bahkan, menurut Said Iqbal yang merupakan Presiden Exco Partai Buruh, upah selama hampir 4 tahun terakhir selalu berada di bawah inflasi, bahkan di beberapa kota industri kenaikan upahnya nol persen. Misal, upah di Kabupaten Tangerang naik 1,64 persen di 2024, Kabupaten Bekasi 1,59 persen, dan Kabupaten Karawang 1,57 persen persen. Padahal, kenaikan tersebut di bawah nilai inflasi 2024 sebesar 2,8 persen dan angka pertumbuhan ekonomi 5,2 persen.
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 juga perlu menjadi sorotan utama dalam pembahasan mengenai nasib kaum buruh. Meskipun disajikan sebagai langkah reformasi untuk meningkatkan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi, UU ini mendapat banyak kritik, terutama dari kalangan buruh. Mereka menilai bahwa implementasi UU ini akan lebih memihak kepada kepentingan pengusaha daripada melindungi hak-hak pekerja.
Beberapa dampak negatif yang dianggap timbul akibat dari implementasi Omnibus Law Cipta Kerja adalah perubahan paradigma dalam pembayaran upah minimum yang kembali pada konsep upah murah. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa penentuan upah minimum tidak lagi memperhatikan standar hidup layak bagi para pekerja, melainkan lebih cenderung dipengaruhi oleh kepentingan pengusaha dalam meminimalkan biaya produksi. Dengan demikian, terjadi potensi penurunan kualitas hidup para pekerja serta meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga dinilai mempermudah proses pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mengurangi pesangon yang diberikan kepada buruh. Kemudahan dalam melakukan PHK dapat mengakibatkan meningkatnya tingkat pengangguran serta ketidakpastian pekerjaan bagi para buruh. Hal ini berdampak pada stabilitas ekonomi rumah tangga pekerja dan keberlanjutan kehidupan mereka. Pengurangan pesangon yang diberikan juga menyulitkan para pekerja untuk menghadapi kondisi ekonomi yang sulit setelah kehilangan pekerjaan, serta menurunkan kepercayaan mereka terhadap sistem perlindungan sosial yang ada. Dengan demikian, penerapan UU Cipta Kerja ini menghadirkan tantangan baru dalam menjaga kesejahteraan dan keadilan bagi para pekerja di Indonesia.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan kepastian dan perlindungan kepada kaum buruh. Omnibus Law Cipta Kerja seharusnya diarahkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi buruh, bukan sebaliknya. Evaluasi dan revisi terhadap undang-undang ini sangatlah penting agar dapat lebih berpihak kepada kaum buruh. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi dan kebutuhan para pekerja, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar menguntungkan bagi semua pihak.
Bung Karno, dalam Fikiran Ra’jat tahun 1933, telah menggema seruan pentingnya kekuatan bersama melalui bentuk organisasi sarekat-sekerja. Menurutnya, kekuatan ini bukan sekadar simbol, tetapi merupakan alat yang efektif untuk menghadirkan perbaikan nasib kaum buruh. Walaupun telah berlalu hampir satu abad sejak seruan tersebut pertama kali dikumandangkan, pesannya tetap relevan dan memancarkan sinar kebijaksanaan yang memantik perenungan.
Pertama-tama, Bung Karno menekankan kepentingan persatuan dan solidaritas di kalangan kaum buruh. Melalui sarekat-sekerja, mereka dapat mengkonsolidasikan potensi dan kekuatan mereka menjadi sebuah entitas kolektif yang tidak dapat diabaikan. Lebih dari sekadar agregat individu, persatuan ini menciptakan semangat serta moralitas yang mendukung, dan dalam konteks modern, dapat membangun momentum politik yang kuat.
Kedua, Bung Karno menyoroti bahwa kekuatan kolektif ini memiliki daya tekan yang kuat untuk memperjuangkan perubahan yang lebih baik bagi kaum buruh. Dengan kesatuan suara dan keberanian, sarekat-sekerja mampu menuntut hak-hak yang layak, termasuk upah yang setimpal, lingkungan kerja yang aman, dan perlindungan hukum yang memadai. Ini bukan hanya sekedar aspirasi, tetapi panggilan moral untuk memberikan perlindungan yang pantas kepada mereka yang membangun fondasi ekonomi bangsa.
Ketiga, Bung Karno menggambarkan bagaimana kekuatan ini dapat mempengaruhi sikap majikan. Melalui pengorganisasian yang kokoh, kaum buruh tidak hanya menjadi subjek passif dari kebijakan perusahaan, tetapi juga menjadi pihak yang memiliki kekuatan tawar yang signifikan. Dalam hal ini, kekuatan kolektif menyinari perjanjian antara majikan dan buruh, memastikan bahwa kesepakatan tersebut mencerminkan keseimbangan yang adil antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial.
Dalam konteks zaman sekarang, pesan Bung Karno tentang pentingnya sarekat-sekerja untuk perjuangan kaum buruh tetap relevan. Meskipun mungkin berbeda dalam bentuk dan tantangan yang dihadapi, esensi dari seruan itu tidak pernah usang. Kaum buruh masih menemui rintangan dalam mencapai keadilan, dan kekuatan kolektif masih merupakan senjata utama dalam perjuangan mereka. Oleh karena itu, melalui upaya bersama dan organisasi yang kokoh, kaum buruh dapat terus memperjuangkan hak-hak mereka dan mewujudkan visi keadilan yang telah dicanangkan oleh Bung Karno.***
Penulis: Apriansyah Wijaya, Ketua Komisariat GMNI UIN Jakarta.