Marhaenist – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) Arjuna Putra Aldino mempertanyakan kenaikan harga BBM ditengah laba Pertamina naik dua kali lipat di tahun 2022.
“Data yang dirilis majalah Fortune, laba Pertamina naik dua kali lipat, Pertamina mencatat pendapatan sebesar Rp 820,659 triliun dengan laba bersih Rp 29,191 triliun. Pertamina mencatat laba bersih terhadap pendapatan sebesar 3,6%, bahkan Pertamina masuk 500 perusahaan migas global terbesar. Kenapa harga BBM dinaikkan ditengah Pertamina untung berlipat?,” tanya Arjuna
Hal ini diungkapkan Arjuna dalam forum Dialog Terbuka Penyampaian Aspirasi Kelompok Cipayung Plus bersama Kelompok masyarakat yang dilaksanakan di Margasiswa, Senin (12/09/2022) dengan tema “Kenaikan Harga BBM Kepentingan Siapa? Masalah atau Solusi?”.
Agenda ini dihadiri oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Sekretariat Jenderal PHI dan Jamsos, Agatha Widianawati. Serta juga dihadiri oleh Ketua Umum Kelompok Cipayung Plus, Ketua Umum GMMI, HMI, PMII, GMKI, PMKRI, KMHDI, dan lain-lain.
Arjuna juga menyoroti adanya kenaikan kompensasi kepada Direksi dan Komisaris dengan total Rp446 miliar. Hal ini tercantum dalam Laporan Keuangan Pertamina tahun 2021. Kenaikan kompensasi kepada direksi dan komisaris Pertamina ini memperlihatkan pejabat pengelola energi kita tidak sensitif dengan kehidupan masyarakat yang masih sulit. Hal ini terkesan berpesta pora ditengah penderitaan rakyat.
“Bagaimana dengan kenaikan kompensasi kepada Direksi dan Komisaris Pertamina dengan total Rp446 miliar ditengah kenaikan harga BBM? Ini pertunjukan yang buruk, tidak mencerminkan empati sebagai penyelenggara negara,” terangnya.
Dasar data yang menjadi rujukan pengambilan kebijakan subsidi BBM juga dipertanyakan oleh Arjuna. Masalahnya menurut Arjuna, data konsumsi bbm berbeda-berbeda versi dari antar kementerian dan lembaga. Lantas, yang menjadi rujukan pemerintah untuk memproyeksikan anggaran subsidi energi sebesar Rp. 502 triliun berangkat dari data yang mana.
“Kementerian ESDM punya data sendiri soal konsumsi bbm, Pertemina punya sendiri, BPS juga punya sendiri, semua berbeda-beda satu sama lain. Lantas yang jadi pertanyaan, anggaran subsidi energi sebesar Rp. 502 triliun diproyeksikan dari data yang mana? Jangan sampai ini gelap, tidak transparan, rawan penyelewengan anggaran,” ungkap Arjuna
Rifky Nuril Huda, Wakil Bendahara Umum DPP GMNI yang juga aktif dalam isu energi juga menyampaikan ketimpangan antara produksi dan konsumsi bbm nasional. Menurut Rifky, jumlah dan kapasitas kilang minyak kita yang minim menjadi penyebab negara kita selalu bermasalah dalam akses bahan bakar minyak.
“Kondisi hari ini Lifting minyak bumi konsumsi dan produksi sangat tidak imbang. Kondisi ini salah satunya dipengaruhi jumlah kilang untuk pengelolaan dari minyak mentah menjadi minyak jadi yang minim,” kata Rifky
Rifky juga menyampaikan tata kelola migas kita saing sengkarut dan tumpah tindih. Membuat tata kelola migas menjadi tidak efisien dan seringkali terjadi benturan kepentingan serta ego sektoral masing-masing lembaga.
“Dan di dukung regulasi yang tidak pro terhadap rakyat yaitu Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Adanya UU tersebut muncul SKK Migas di hulu dan BPH Migas di hilir. Problemnya di dua lembaga hulu dan hilir ini saling sengkarut,” ungkapnya.