Marhaenist.id – Perempuan selalu dielu-elukan sebagai simbol keindahan, kelembutan, dan inspirasi. Namun, dibalik itu, banyak yang masih terperangkap dalam belenggu simpati yang menyesakkan. Simpati yang seharusnya menjadi jembatan menuju kebebasan justru berubah menjadi rantai halus yang mengekang.
Saya mewakili suara perempuan yang resah dan resah karena pemberdayaan perempuan seringkali hanya menjadi retorika tanpa kebebasan sejati. Sehingga simpati terhadap perempuan seolah menjadi bentuk komitmen, padahal di baliknya, ada kontrol, ada batasan, ada ketidakadilan yang tetap bercokol.
Ini bukan sekadar tentang mengakui peran perempuan, tetapi memastikan bahwa mereka benar-benar bebas menentukan jalannya sendiri. Jangan biarkan simpati berubah menjadi belenggu!Jangan biarkan perjuangan perempuan hanya menjadi narasi yang indah tanpa perubahan nyata!

Menelusuri lebih jauh tentang seksisme, seksisme sering kali keluar dari mulut para pemangku kebijakan dibungkus sebagai “guyonan.” Tapi apa lucunya? Dimana kelucuannya jika yang jadi bahan candaan adalah perempuan, dijadikan objek, direduksi hanya sebatas tubuh dan nafsu?
Seharusnya kalian dipilih rakyat untuk membangun bangsa, bukan untuk melanggengkan budaya patriarki lewat lelucon murahan! Bukan perempuan yang harus terbiasa menerima pelecehan terselubung, tapi kalian yang seharusnya belajar berbicara dengan hormat.

Dan ternyata, pelacuran itu bukan hanya perkara transaksi tubuh. Ada pelacuran dalam sistem kita! Narasi yang dijajakan oleh pejabat, yang tanpa malu menjadikan perempuan sebagai komoditas dalam percakapan mereka.
Sudah cukup! Seksisme bukan hiburan. Seksisme adalah bukti mentalitas bobrok yang harus dilawan.
#InternasionalWomensDay
#PerempuanMelawan #BukanSekadarSimpati #KesetaraanSejati #GMNI
Penulis: Intania Putri Mardiyani (Sarinah Tanee), Kabid Kesarinahan DPC GMNI Jakarta Timur.