Marhaenist.id – Akhir-akhir ini dunia sosial kita disibukkan oleh berita-berita tentang perilaku kejahatan manusia.
Mulai dari pembunuhan, penyiksaan, pembantaian, genosida dan korupsi yang tidak ada habis-habisnya. Di kalangan pemerintah keserakahan pengeksploitasian sumber daya alam menghancurkan tatanan hutan-hutan yang hijau menjadi gersang karena tambang, pemanasan global dan krisis iklim. Agama dijadikan mainan untuk memperoleh kekuasaan. Pemerkosaan, kekerasan seksual, perjudian, pencurian, penipuan dan nafsu birahi yang tidak terelakan.
Semua hal-hal yang dikaitkan dengan sifat setan,seakan seperti diambil alih oleh manusia yang mengagungkan akal. Sepertinya manusia melebihi apa yang bisa diperbuat oleh setan dan mungkin sekarang manusia seperti menjadi sumber kejahatan itu sendiri. Manusia adalah malapetaka bagi dirinya sendiri dan dari semua kejahatan dan kegilaan yang nyata di kehidupan kita. Kita jadi bertanya-tanya apakah kemanusiaan hanya tinggal kenangan dalam kitab-kitab Agama? apa penciptaan manusia memang suatu kesalahan pada asalnya atau memang semengerikan dan semenjijikan itu makhluk yang bernama manusia?
Manusia adalah kemuliaan dan sampah alam semesta demikian kesimpulan Filsuf Prancis Blaise Pascal Pada Tahun 1658 dan sampai saat ini tidak banyak yang berubah. Manusia masih terus mencintai dan terus saja saling membenci. Manusia masih mengeluarkan tangannya pada kemanusiaan dengan terus menerorkan senjatanya pada setiap kepala-kepala manusia. Kita tentu memahami, jika seseorang menyerang sebagai pembalasan atau membela diri. Namun ketika seseorang menyakiti orang yang tidak bersalah kita bertanya tanya bagaimana bisa? ketika berbicara tentang tindak kejahatan kita selalu bernaung pada aturan, etika dan moral.
Dalam aturan, paling tidak kejahatan sering diartikan sebagai perilaku pelanggaran aturan hukum. Akibatnya, seseorang dapat dijerat hukum. Dalam perspektif hukum perilaku kejahatan terkesan aktif, dalam perspektif moral perilaku seseorang dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki dua faktor. Satu Mens Rea (adanya niatan untuk melakukan kejahatan) kedua Aktus Reus (perilaku kejahatan terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Dari segi pelaksanaannya kejahatan bisa dibagi menjadi kejahatan terorganisir yang memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan. Kejahatan yang tidak terorganisir, kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir.
Berdasarkan data Pusiknas Polri sejak Tanggal 1 Januari s/d 17 Mei pada tahun 2024 ada 140.335 kejahatan yang terjadi di Indonesia. Jenis kejahatan yang paling banyak ada pada bentuk pencurian, untuk pembunuhan sendiri dalam data tersebut tercatat dalam 4 tahun terakhir sudah lebih dari 3000 kasus yang diungkap oleh kepolisian. Dalam kasus pembunuhan tersebut, pelaku dan korban justru saling mengenal. Pertanyaannya dari mana asal semua kejahatan ini?. Dari beberapa kasus pembunuhan yang telah disebutkan ada banyak faktor yang membuat manusia-manusia tersebut memutuskan untuk melakukan pembunuhan. Motif utamanya kebanyakan muncul karena faktor emosional seperti sakit hati dan dendam.
Dalam dunia kriminologi ada teori Rasional Choice Theory atau teori pilihan rasional yang menyebabkan beberapa faktor yang membuat seseorang mau menjadi pembunuh atau termotivasi melakukan pembunuhan. Faktor utamanya adalah materi dan perhitungan untung rugi, dalam hal ini untung rugi tidak
selalu berkaitan dengan uang tetapi bisa berkaitan dengan banyak hal. Misalnya, kebebasan rasa senang dan kepuasan.
Hal-hal seperti ini dalam Rasional Choice Theory menjadi daya tarik yang sangat kuat untuk
melakukan pembunuhan. Faktor kedua adalah emosi, emosi seperti kita ketahui dan sering kita rasakan sendiri bahwa emosi kerap kali bersifat dinamis. Untuk itu, emosi secara psikologis berperan besar dalam memotivasi seseorang untuk melakukan pembunuhan.
Seseorang yang memiliki rasa dendam kondisi jiwanya sering kali tidak stabil. Mereka merasa sakit hati, kecewa, marah dan tidak mampu menerima dan memaafkan perlakuan buruk dari orang lain. Emosi inilah yang bisa menjadi pembangkit mengapa seseorang mau menjadi pembunuh. Faktor ketiga, seseorang melakukan pembunuhan karena merasa dirinya mampu. Faktor keempat adanya suatu kuasa, seseorang yang memiliki kekuasaan tertentu secara psikologis merasa mampu untuk menghilangkan segala jejak perbuatannya agar terhindar dari jerat pidana. Untuk faktor kuasa, tentu kita sering menemukannya dalam kasus-kasus yang melibatkan aparat negara.
Dave Grossman penulis buku “On Killing: The Psychological Cause Of Learning To Kill In War and Society” menyatakan bahwa manusia memiliki sifat dasar seperti primata lainnya. Dave yang juga merupakan mantan tentara Amerika ini menganalogikan manusia seperti kera dalam kerajaan primatanya. Dalam hal ini, Dave menyatakan bahwa mayoritas para kera tidak ingin membunuh spesiesnya sendiri kecuali muncul sesuatu hal yang mengganggu.
Jika muncul konfrontasi antar kelompok yang dianggap mengganggu maka pihak musuh dianggap inferior sekaligus marabahaya yang harus dilenyapkan. Maka untuk mendapatkan posisi sebagai Superior para kera ini melakukan pertarungan hingga tak jarang sampai menghilangkan nyawa dari lawannya.
Penulis: Ahmad Saepul Bahri, Kader GMNI Kabupaten Tanggerang, Provinsi Banten.