Marhaenist.id – Seruan reformasi kepolisian kembali menggelegar di ruang publik. Seruan ini bukanlah wacana kosong atau sekadar luapan emosi sesaat, melainkan lahir dari kenyataan pahit: kepolisian Indonesia di bawah komando Listyo Sigit Prabowo telah berubah menjadi institusi represif nan brutal yang gagal menjalankan mandat konstitusi. Nyawa rakyat melayang, ribuan ditangkap, kebebasan berekspresi dibungkam, sementara kepolisian semakin hari semakin dekat dengan modal dan kekuasaan, jauh dari rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Dalam situasi ini, tuntutan mencopot Kapolri bukanlah sikap reaksioner, melainkan langkah paling masuk akal untuk membuka jalan reformasi kepolisian sejati.
Demonstrasi yang merebak sejak 25 Agustus 2025 adalah titik balik. Aksi-aksi yang semula damai berubah brutal ketika aparat kepolisian bertindak represif secara sewenang-wenang. Pada 28 Agustus, seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas dilindas mobil rantis di Jakarta. Rekaman kejadian itu menyebar luas dan memicu gelombang amarah rakyat. Dalam hitungan hari, korban bertambah: Sarinawati, Syaiful Akbar, Muhammad Akbar Basri, dan Rusmadiansyah di Makassar; Andika Lutfi Falah, pelajar 16 tahun di Tangerang; Sumari, tukang becak di Solo; Rheza Sendy Pratama, mahasiswa di Yogyakarta; dan Iko Juliant Junior, mahasiswa di Semarang. setidaknya sembilan korban jiwa hingga 31 Agustus, sementara laporan lain menyebut sudah sepuluh orang meninggal. Lebih dari dua puluh orang juga dilaporkan hilang, terutama di Jakarta, Bandung, Depok, dan sekitarnya. Ratusan lainnya luka-luka, ribuan ditangkap dengan dalih “pengamanan.” Tragedi ini menambah daftar panjang korban kekerasan aparat yang seolah tidak pernah berakhir.
Alih-alih menenangkan keadaan, Kapolri Listyo Sigit Prabowo justru memperkeruh situasi. Sebuah video yang beredar memperlihatkan dirinya memberi perintah tembak di tempat, dengan peluru karet, bila massa berani memasuki asrama atau markas Brimob. Instruksi itu disambut tepuk tangan dan sorakan meriah aparat yang seakan haus darah dan pangkat. Potret ini bukan hanya memperlihatkan kebengisan, tetapi juga membongkar watak asli kepolisian: moral kemanusiaan tidak lagi jadi pegangan, yang ada hanyalah komando represif demi mempertahankan status quo. Bahkan, dua hari setelah Affan Kurniawan terbunuh, tanah kuburnya belum kering ketika Sigit sudah menabuh genderang perintah penembakan. Dari sinilah kita memahami bahwa di bawah kepemimpinannya, Polri bukan lagi alat negara yang tunduk pada hukum, melainkan mesin represi yang tunduk pada kekuasaan.
Tindakan represif di tidak berhenti di jalan. Direktorat Tindak Pidana Siber Polri melakukan penangkapan terhadap sejumlah aktivis demokrasi dengan tuduhan makar. Aktivis ditangkap dengan dalih mengajak pelajar turun aksi, seolah-olah hak konstitusional rakyat untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat adalah kejahatan. Padahal, undang-undang dan konstitusi menjamin kebebasan itu. Penculikan gaya baru oleh kepolisian memperlihatkan wajah asli institusi ini: mereka bukan melindungi rakyat, melainkan melindungi kekuasaan yang berhambakan pada modal.
Respons pemerintah pun tidak berbeda jauh. Presiden Prabowo Subianto memilih pendekatan keamanan sebagai jawaban. Militer dan polisi dikerahkan, sniper dipasang, pemeriksaan diperketat dibangun, sementara tuntutan rakyat tentang perubahan struktural diabaikan. Sebagai kosmetik politik, pemerintah hanya mengumumkan pemangkasan tunjangan DPR sebesar Rp50 juta per bulan, kebijakan kecil yang tidak menjawab inti persoalan. Bagaimana nasib para korban? Bagaimana dengan akuntabilitas Polri dalam peristiwa ini? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah mendapat jawaban, karena yang menjadi prioritas pemerintah adalah merawat stabilitas kekuasaan, bukan keadilan bagi rakyat sesuai amanat konstitusi.
Tragedi Agustus kelabu bukanlah peristiwa tunggal, melainkan bagian dari rentetan panjang kegagalan Polri di bawah kepemimpinan Sigit. Kita tentu masih ingat tragedi Kanjuruhan pada 2022 yang menewaskan 135 suporter sepak bola akibat tembakan gas air mata kepolisian di stadion Kanjuruhan. Hingga hari ini, keadilan bagi korban dan keluarga tidak pernah ditegakkan, justru yang muncul adalah praktik impunitas yang melindungi pelaku. Lalu kasus Ferdy Sambo yang memperlihatkan ke publik bagaimana pejabat tinggi Polri terlibat dalam jaringan judi online yang menjadi salah satu persoalan bangsa hari ini, serta kasus Teddy Minahasa yang memperjualbelikan narkoba yang ia tukar dengan tawas. Semua ini menunjukkan bahwa jargon Presisi yang digembar-gemborkan Sigit hanyalah kedok: presisi dalam melindungi bisnis haram, presisi dalam menjaga kepentingan modal, dan presisi dalam membunuh rakyat.
Dalam konteks ini, publik berulang kali dibuat kecewa oleh kepolisian di bawah Sigit. Polri lebih sibuk menjaga citra kekuasaan ketimbang menjaga keamanan dan kedaulatan rakyat. Ketika masyarakat menuntut keadilan, yang muncul adalah intimidasi brutal dan penangkapan represif. Ketika rakyat meminta reformasi institusi, yang diberikan adalah peluru karet dan gas air mata. Ketika rakyat menuntut transparansi, yang diberikan adalah administrasi melelahkan yang selalu membutuhkan “uang Pelicin”. Kepolisian di bawah Sigit adalah potret nyata dari institusi yang kehilangan kompas moral, kehilangan legitimasi, dan kehilangan kepercayaan rakyat.
Maka, tuntutan mencopot Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri adalah tuntutan yang paling masuk akal. Reformasi kepolisian tidak bisa dimulai tanpa terlebih dahulu memotong kepala busuk yang menjadi sumber masalah dari institusi tersebut (sejalan dengan yang kerap diucapkan Prabowo:Ikan Busuk Mulai Dari Kepalanya). Sigit adalah produk rezim Jokowi, pengangkatannya sarat dengan kompromi politik dan relasi kuasa, selama menjabat ia gagal menata Polri menjadi institusi sipil yang berpihak pada konstitusi dan rakyat. Selama kepemimpinannya, Polri justru semakin jauh dari rakyat, semakin brutal terhadap gerakan sipil, dan semakin dekat dengan kepentingan modal. Tanpa mencopot figur gagal, represif, dan koruptif ini, wacana reformasi Polri tidak akan lebih dari sekadar omon-omon.
Namun mencopot Sigit tentu hanyalah langkah awal, bukan akhir. Setelah kepalanya diganti, jalan terbuka untuk melakukan koreksi total terhadap institusi ini. Reformasi Polri harus mencakup pertanggungjawaban atas seluruh kejahatan aparat, dari Kanjuruhan hingga Agustus kelabu, dari Gamma di Semarang hingga Affan di Jakarta. Reformasi harus menyentuh akar persoalan: menata ulang struktur kepolisian, membongkar relasi busuk antara Polri dengan modal, mengakhiri impunitas, dan memastikan bahwa kepolisian kembali menjadi aparat sipil yang tunduk pada konstitusi, bukan kekuasaan yang berhambakan modal.
Reformasi kepolisian bukan sekadar tuntutan moral, tetapi kebutuhan mendesak bagi kelangsungan demokrasi dan keadilan di negeri ini. Tidak akan pernah ada kedamaian selama aparat bersenjata bebas membunuh rakyatnya. Tidak ada keadilan selama kepolisian terus menjadi anjing penjaga rumah kaum pemodal. Tidak ada rasa aman yang lahir jika aparat gagal memberikan jaminan atas ruang akan rasa aman tersebut. Karena itu, reformasi Polri harus dimulai hari ini, dan langkah pertamanya jelas: copot Listyo Sigit Prabowo dari jabatannya sebagai Kapolri. Hanya dengan itu, pintu menuju kepolisian yang benar-benar presisi: presisi dalam melindungi rakyat, bukan membungkamnya dapat kembali dibuka.
Copot Sigit! Jalankan Reformasi Kepolisian Sekarang Juga!***
Penulis: Deodatus Sunda Se, Direktur Institut Marhaenisme 27.