Marhaenist – Sebuah koalisi dari kubu sayap kiri Prancis meraih jumlah kursi parlemen terbanyak dalam pemilu pada Minggu (07/07/2024), mengalahkan kubu sayap kanan yang tengah bangkit. Namun, koalisi sayap kiri itu masih belum berhasil meraih suara mayoritas. Kondisi tersebut membuat Prancis, yang merupakan pilar Uni Eropa dan tuan rumah Olimpade musim panas mendatang, kemungkinan menghadapi situasi parlemen gantung dan kelumpuhan politik.
Gejolak politik yang terjadi dapat menggangu kondisi pasar dan perekonomian Prancis, yang merupakan perekonomian terbesar kedua di Uni Eropa. Situasi tersebut juga berimplikasi terhadap perang di Ukraina, diplomasi global dan stabilitas ekonomi Eropa.
Ketika memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan pemilu pada bulan lalu, menyusul kemenangan kubu sayap kanan ekstrem dalam pemilu Parlemen Eropa, Presiden Emmanuel Macron mengatakan menyerahkan keputusan kembali kepada warga akan menghasilkan sebuah “klarifikasi.”
Namun nyatanya, di setiap level, perjudian tersebut malah menjadi bumerang. Menurut hasil resmi yang terbit pada Senin (08/07/2024) dini hari, tiga blok koalisi utama gagal meraih 289 kursi yang dibutuhkan untuk mengontrol parlemen Majelis Nasional, yang total beranggotakan 577 anggota.
Hasil menunjukkan bahwa koalisi sayap kiri New Popular Front meraih sedikit di atas 180 kursi, menempatkan mereka di posisi puncak mengungguli aliansi sentris pimpinan Macron, yang meraih 160 kursi. Kubu sayap kanan ekstrem pimpinan Marine Le Pen, National Rally, dan sekutunya berada di posisi ketiga dengan raihan 140 kursi, sebuah peningkatan dari pencapaian yang mereka raih di 2022 dengan 89 kursi.
Prancis di era modern sendiri tidak terlalu familiar dengan kondisi parlemen gantung.
“Negara kita menghadapi situasi politik yang belum pernah terjadi sebelumnya dan bersiap untuk menyambut dunia dalama beberapa minggu ke depan,” ujar Perdana Menteri Gabriel Attal, yang berencana untuk mengirimkan surat pengunduran dirinya segera.
Dengan Olimpiade Paris yang semakin dekat, Attal mengatakan ia siap untuk tetap menjabat “selama dibutuhkan.” Macron sendiri masih memiliki sisa waktu tiga tahun di masa jabatannya sebagai presiden.
Banyak warga Prancis yang menyambut baik hasil pemilu tersebut. di alun-alun Stalingrad, pendukung kubu sayap kiri merayakan kemenangan mereka.
Marielle Castry, seorang warga prancis, tengah berada di Metro di Paris ketika hasil proyeksi pemilu diumumkan.
“Setiap orang sibuk dengan smartphones mereka dan tampak menunggu hasil (pemilu) dan lalu semua orang tampak senang (ketika hasilnya diumumkan),” ujar warga berusia 55 tahun itu.
“Saya telah merasa stres sejak 9 Juni lalu dan sejak pemilu Parlemen Eropa. Dan sekarang, saya merasa senang. Lega.” katanya mengutip Associated Press, (09/07/2024).
Gejolak Politik
Prancis kini menghadapi prospek intrik politik selama berminggu-minggu untuk menentukan siapa yang akan menjadi perdana menteri dan memimpin Majelis Nasional. Dan Macron menghadapi kemungkinan memimpin negara bersama seorang perdana menteri yang menentang sebagian besar kebijakan domestiknya.
Bagi Macron, 46, yang beraliran tengah, pemilu legislatif itu telah berubah menjadi bencana. Ia mengejutkan Prancis dan banyak kalangan dari pemerintahannya, dengan membubarkan majelis rendah parlemen, setelah kemenangan besar kelompok ekstrem kanan pada pemungutan suara Prancis untuk pemilu Eropa.
Macron berpendapat dengan mengirim kembali para pemilih ke TPS dan kotak suara akan memberi Prancis kejelasan. Presiden itu bertaruh bahwa dengan ditentukannya nasib Prancis di tangan mereka, para pemilih mungkin akan beralih dari ekstrem kanan dan kiri, dan kembali ke partai-partai utama yang lebih dekat ke kelompok tengah. Macron banyak mendapat dukungan dari kelompok beraliran tengah yang memberinya kemenangan dalam pemilu presiden tahun 2017 dan 2022.
Namun, alih-alih bersatu di belakangnya, jutaan pemilih di sisi kiri dan kanan pada peta politik Prancis yang semakin terpolarisasi memanfaatkan keputusannya yang mengejutkan itu sebagai kesempatan untuk melampiaskan kemarahan mereka dan mungkin menyisihkan Macron. Para pemilih ini membebaninya dengan parlemen yang sebagian besarnya sekarang ini dapat diisi oleh anggota parlemen yang memusuhinya dan, khususnya, kebijakan Macron yang probisnis.
Tidak seperti negara-negara lain di Eropa yang lebih terbiasa dengan pemerintahan koalisi, Prancis tidak memiliki tradisi di mana anggota parlemen dari kubu-kubu politik yang saling berlawanan bersatu untuk membentuk mayoritas yang berfungsi.
Polarisasi politik Prancis yang tajam – terutama dalam kampanye yang panas dan cepat ini – pasti akan menyulitkan upaya membentuk koalisi. Rasisme dan antisemitisme menodai kampanye pemilu, bersama dengan kampanye disinformasi Rusia. Lebih dari 50 kandidat dilaporkan mengalami serangan fisik – hal yang tidak biasa terjadi di Prancis.
Pemerintah mengatakan mengerahkan 30 ribu polisi pada pemungutan suara putaran kedua pada Minggu, sebuah indikasi bahwa tingginya risiko maupun kekhawatiran akan kemenangan kelompok ekstrem kanan, atau bahkan tidak ada kemenangan jelas bagi blok manapun, dapat memicu protes-protes.
Mayoritas yang dibentuk secara terburu-buru berisiko rapuh, rentan terhadap mosi tidak percaya yang bisa menyebabkannya ambruk.
Ketidakstabilan yang berkepanjangan bisa memperkuat gagasan lawan-lawannya agar Macron mempersingkat masa jabatannya yang kedua dan terakhir. Konstitusi Prancis menghalanginya untuk membubarkan parlemen lagi dalam 12 bulan ke depan, untuk memberikan kejelasan yang lebih baik bagi Prancis.
Prancis Hadapi Masa Depan Tak Menentu
Pembicaraan untuk menemukan jalan politik ke depan telah dimulai di Prancis, menyusul hasil pemilu pada Minggu, yang menempatkan koalisi kiri sebagai pemenang. Hasil pemilu membuat Prancis tidak memiliki mayoritas politik yang jelas atau jalan untuk pembentukan pemerintahan, hanya tiga pekan sebelum Olimpiade.
Ini bukan hasil pemilu yang diperkirakan kebanyakan rakyat Prancis. Bukannya kemenangan sayap kanan, justru koalisi kiri New Popular Front yang meraup kursi paling banyak di Majelis Nasional, dan menjadi kemunduran bagi partai National Rally, sayap kanan yang anti imigran.
Setelah perolehan suaranya melonjak di putaran pertama, National Rally hanya berada di posisi ketiga dalam putaran kedua. Partai ini berada di bawah koalisi sentris pimpinan Presiden Emmanuel Macron, yang memperoleh hasil lebih baik dari perkiraan, meskipun kehilangan hampir 100 kursi dan mayoritas relatif di Majelis Rendah.
Perdana Menteri Gabriel Attal masih memegang posisinya saat ini, sementara presiden mempertimbangkan langkah ke depan.
Banyak yang memuji perolehan suara sayap kiri, untuk apa yang disebut sebagai “Front Republikan” oleh partai-partai arus utama, untuk menjauhkan sayap kanan dari kemenangan.
Gesine Weber, analis di German Marshall Fund mengungkapkan pandangannya, seperti melansir dari VOA.
“Saya pikir, skenario yang paling memungkinkan saat ini adalah blok sayap kiri, New Popular Front dan Ensemble, yaitu partai-partai yang mendukung Macron, membentuk semacam kesepakatan koalisi atau setidaknya semacam perjanjian kerja sama.”
Setelah lebih cenderung ke tengah kanan, presiden Prancis dan aliansinya mungkin sekarang harus lebih cenderung ke kiri. Macron mungkin harus membentuk pemerintahan dengan lawan politik, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama tujuh tahun berkuasa.
Weber mengatakan, Macron nampaknya akan tetap mengendalikan kebijakan luar negeri, yang mendukung Ukraina, Uni Eropa, dan aliansi transatlantik.
Namun, sebuah aliansi yang mungkin dibentuk dengan sayap kiri bisa menghentikan atau membalikkan agenda domestik Macron, termasuk reformasi pensiun yang kontroversial dan sejumlah reformasi lain.
Keterbelahan politik Prancis tergambar di Neuilly-Plaisance, di pinggiran ibu kota Paris, yang pemilu pada Minggu mempertemukan kandidat sayap kiri melawan sayap kanan.
Louise Ragu adalah seorang pemilih di kawasan ini.
“Saya memilih sayap kiri. Mereka memiliki nilai-nilai yang saya percayai,” kata dia.
Begitu juga dengan Yanina Kerkini, anak dari seorang imigran Aljazair, dia mengkhawatirkan daya tarik dari sayap kanan.
“Orang-orang mengatakan lebih banyak tentang apa yang benar-benar mereka yakini. Kami melihatnya setiap hari. Mereka melupakan sejarah. Itu membuat saya sedih,” kata dia.
National Rally kecewa dengan hasil pemilu kali ini, tetapi mereka masih tetap memenangkan puluhan kursi legislatif baru, dan tetap menjadi kekuatan utama menjelang pemilu presiden Prancis, tiga tahun lagi.
Sebelumnya pada Minggu, tangisan kegembiraan dan airmata kelegaan pecah di seluruh Paris, ketika hasil awal putaran kedua pemilu legislatif Prancis diumumkan. Koalisi kiri New Popular Front muncul sebagai kekuatan dominan di Majelis Nasional, setelah memenangkan lebih dari 180 kursi.
“Malam ini, Prancis mengatakan “tidak” terhadap kehadiran National Rally ke kekuasaan. Disini, melalui Anda semua, saya ingin berterimakasih kepada jutaan rakyat Prancis yang mengizinkan kita malam mini menghela nafas lega. Pemilu ini adalah yang pertama dan terutama kemenangan dari New Popular Front yang mampu menyatukan kelompok sayap kiri, mewujudkan harapan, mendesakkan sebuah front republican melawan bahaya dari sayap kanan,” kata Olivier Faure, pemimpin dari partai Sosialis Prancis, melansir AP.
Koalisi National Rally pimpinan Le Pen memenangkan 143 kursi, sebuah kekecewaan besar setelah kemenangan pada putaran pertama 30 Juni dengan margin yang jelas.
“Rawa yang saya peringatkan sebelumnya telah menjadi kenyataan. Prancis akan sepenuhnya terblokir oleh tiga kelompok yang kurang lebih memiliki pengaruh yang sama di Majelis Nasional. Nah, kita akan menuju ke sana. Ini menyedihkan. Kita kehilangan satu tahun lagi, satu tahun lagi imigrasi yang tidak diatur, satu tahun lagi kehilangan daya beli, satu lagi lonjakan ketidakamanan di negara kita. Tetapi jika kita memang harus melewatinya, kita akan melewati itu,” ujar LePen.
Sementara aliansi tengah pimpinan presiden Emmanuel Macron berada di posisi kedua setelah memenangkan lebih dari 160 kursi.