Marhaenist.id – Orde Baru Tak Pernah Pergi. Ia hanya menjelma bayang-bayang yang lebih pandai menari dalam gelap, mengendap-endap di antara lorong-lorong kekuasaan, menyusup dalam setiap regulasi, menyamar dalam jubah reformasi yang mulai lusuh. Ia bukan lagi gajah yang tampak di pelupuk mata, melainkan ular yang licin, melingkar erat di batang demokrasi, meremukkan batangnya perlahan-lahan.
Orde Baru tak pernah mati, ia hanya berganti warna, seperti bunglon yang mahir membaca cuaca. Dulu, ia menindas dengan sepatu lars, kini ia menindas dengan pena dan tanda tangan. Jika dulu suara dibungkam dengan senapan, kini dibungkam dengan pasal karet dan algoritma. Ruang-ruang kritik makin sempit, pers makin menunduk, dan mahasiswa yang dulu lantang kini lebih sibuk mencari aman.
Seperti angin malam yang menusuk tulang, ia hadir tanpa wujud, namun terasa begitu nyata. Otoritarianisme yang dulu pongah kini lebih sopan, tapi tetap mencekik. Janji reformasi yang dahulu dielu-elukan telah menjadi patung tanpa nyawa di alun-alun sejarah, menatap hampa ke arah masa depan yang semakin kelabu.
Orde Baru tak perlu kembali, karena sejatinya ia tak pernah pergi. Ia hanya merias wajahnya dengan kata-kata manis, mengemas kepentingan oligarki dengan jargon pembangunan, menyelubungi kesewenang-wenangan dengan dalih stabilitas. Demokrasi kita, ternyata hanyalah wayang di panggung sandiwara, dimainkan oleh dalang yang sama, hanya berganti kostum dan peran.
Jika dulu rakyat dikekang dengan aturan, kini mereka dikendalikan dengan utang. Jika dulu yang berbeda pandangan dicap subversif, kini mereka disebut radikal. Orde Baru telah menjadi bayang-bayang panjang yang melintasi zaman, menjajah pikiran, menyusup ke dalam kurikulum, menjelma sebagai doktrin di layar kaca, memahat ulang sejarah sesuai kehendaknya.
Maka, jangan heran jika keadilan terasa seperti ilusi, kebenaran seperti mitos, dan kemerdekaan hanyalah jargon dalam pidato. Karena sejatinya, Orde Baru tak pernah pergi—ia hanya menjelma hantu yang terus mengawasi, tertawa di balik tirai kekuasaan yang kita kira sudah runtuh.***
Penulis: Dimas Muhammad Erlangga, Ketua DPK GMNI Universitas Terbuka Bandung.