Marhaenist.id – Sebagai mantan aktifis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GMNI ), ketika menjelang pelaksanaan Kongres XXII di Bandung – Jawa Barat, seorang sahabat lama alumni GMNI bertanya kepada saya, “Bung Sil ente mau hadir gak pada acara Kongres GMNI di Bandung ? Saya langsung katakan bahwa saya tidak mau ikut- ikutan gawe – gawe di acara itu. Biarlah adik menentukan jalan mereka sendiri”.
Ketika Kongres mulai digelar, disaat pembukaan saya tidak melihat seorang pejabat tinggi negara yang membuka Kongres. Ternyata yang membuka Kongres bukan Presiden/Wakil Presiden atau minimal Menteri Pemuda dan Olahraga, ternyata yang membuka Kongres itu adalah salah seorang alumni Senior.
Menyaksikan perhelatan itu, dalam hati saya berkesimpulan bahwa Organisasi GMNI yang dimasa lalu menjadi kebanggaan saya, ternyata tidak lagi dipandang sebagai organisasi Mahasiswa yang layak diperhitungkan dalam percaturan politik kebangsaan kaum muda Indonesia.
Mengamati pergumulan adik-adik dalam arena Kongres, ternyata ketika Kongres baru berjalan sehari sudah terjadi hura-hara. Dan persidangan Kongres pun mengalami Dead lock. Kalau Dead lock 3 atau 4 jam itu biasa, dan itu menjadi bagian dari sebuah dinamika berkongres atau jenis apapun dan dalam organisasi apapun itu hal yang lumrah. Tetapi ketika Dead lock nya berlangsung berhari – hari, itu bukan lagi hal yang biasa tapi itu yang luar biasa.
Ke luar biasa itu oleh sahabat saya dari organ Forum Alumni GMNi, Bung Adjat Sudrajat dalam pernyataan sikapnya menyatakan bahwa Kongres yang sudah melampaui batas waktu dan menguras energi dari peserta sudah berlangsung selama 11 hari mungkin bisa diusulkan ke organisasi yang mengelola “Guiness Book of Recird” untuk dicatat sebagai organisasi yang menyelenggarakan Kongres terlama di dunia.
Kalau sedikit berkilas balik dalam melihat kiprah organisasi ini, sebetulnya Kongres dengan spirit “Persatuan dan Kesatuan” akibat perpecahan saat pelaksanaan Kongres XXI di Ambon 5 tahun lalu yang melahirkan dua kubu dalam organisasi GMNI. Kubu yang satu dipimpin oleh Imanuel Cahyadi, sedangkan kubu yang lain dipimpin oleh Arjuna.
Melihat realitas perpecahan itu, berbagai pihak (Para Senior) memberi saran supaya dilakukan kongres persatuan kembali kedua kubu tersebut. Berbagai upaya dilakukan. Dan upaya itu digaungkan jauh sebelum perhelatan Kongres ke XXII dilaksanakan.
Dengan sebuah harapan bahwa melalui mekanisme “Kongres Persatuan” perpecahan antara kedua kubu akan terselesaikan. Tapi realitanya berbanding terbalik dari harapan banyak pihak.
Melihat kondisi obyektif yang tidak sehat dalam keorganisasian GMNI, yang tidak habis-habisnya berkonflik, satu hal mendasar tanpa disadari akan terjadi proses “demoralisasi” oleh publik terhadap kelembagaan organisasi ini.
Akibat dari itu pula secara internal akan terjadi kemandekan kaderisasi dalam proses berorganisasi. Karna kaderisasi yang tidak berjalan efektif, maka terjadi kemandekan dalam rotasi kepemimpinan organisasi di setiap lini dan tingkatan. Kondisi ini yang menjadi masalah dikemudian hari bagi organisasi ini.
Mengamati situasi yang tidak sehat ini, kalo menurut hemat saya, bubarkan saja Kongres itu. Tidak perlu dilanjutkan. Kalau dilanjutkan dalam keterpaksaan, pasti hasilnya tidak optimal. Pasti ada residu yang tertinggal yang dibawa pulang oleh peserta yang tidak legowo menerima keputusan yang dipaksakan oleh pihak lain. Dan residu itu akan jadi bahan bakar pemicu perpecahan dimasa depan.
Atau dengan opsi lain, kalau realitas bahwa organisasi ini sudah tidak bisa disatukan lagi, yaa BUBARKAN SAJA…!!! Supaya tidak ada lagi pihak yang mengklaim penguasaan terhadap kelembagaan tersebut. Biarkan GMNI menjadi bagian dari memory collective yang pernah beraktifitas di lembaga tersebut.
Merdeka…..
Marhaen….. Jaya..
Penulis: Silvester Mbete, Alumni GMNI.