MARHAENIST – Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79 adalah momentum yang ditunggu oleh masyarakat dalam mengekspresikan nilai kebangsaannya. Namun tak hanya sebatas itu, kemerdekaan perempuan menjadi hal yang fundamental, karena perempuan dalam keluarga— berstatus sebagai ibu dalam “madrasatul ula’, pendidikan awal bagi putra-putrinya.
Namun, tantangan menjadi perempuan era Post-Modernisme— semakin kompleks, ditambah sentimen tekanan publik seolah-olah dengan tuntutan domestifikasi ditengah ketimpangan gender. Sejumlah fenomena kekerasan hingga diskriminasi yang dihadapi oleh Perempuan, ditengah maraknya budaya patriarki— yang dapat menghambat ekspresi perempuan dalam berkontribusi— baik untuk keluarga, sosial, agama, bangsa dan negara. Lemahnya dalam penerapan keadilan gender (baik laki-laki dan perempuan).
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dalam lima tahun terakhir— tren angka perceraian di Indonesia meningkat— lebih didominasi pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi penyebab utama, yang selaras dengan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) per 1 Januari 2024— sejumlah 15.745 korban kekerasan di Indonesia, dan 13.681 korban kekerasan dialami wanita.
Kemudian ditambah dengan hasil survey, 10.334 kekerasan terjadi dalam lingkungan rumah tangga. Oleh karena itu, kaasus kekerasan dirilis oleh Kemenpppa membeerikan klasifikasi bahwa terdapat 5.437 kekerasan ditujukan pada kekerasan fisik dan 7.248 kekerasan ditujukan pada kekerasan seksual (kemenpppa.go.id 2024).
Beberapa contoh kasus yang tersebar di media sosal— beredarnya kasus KDRT di Cipondoh, dengan saksi inisial (A) menjelaskan kejadian KDRT, saat perempuan sebagai korban— dipukul dan ditendang oleh suami sebagai pelaku penganiayaan, dengan membawa pisau di ruang tamu. Kejadian tersebut, korban sempat keluar rumah dan melarikan diri— rambut korban ditarik pelaku, sehingga tidak dapat melarikan diri dari tempat kejadian. Meskipun demikian, berita tersebut telah dilaporkan ke pihak berwenang, dan polisi mencari keberadaan pelaku dan melanjutkan proses hukum tersebut. (Tempo.co 2024)
Mempertegas Pelaksanaan Hukum untuk Perlindungan Korban Kekerasan
Seyogyanya pemerintah memberikan perlindungan dan hukum yang tegas dalam melindungi korban kekerasan— misalnya, terdapat UU No. 23/2004, membahas bentuk-bentuk tindakan yang tergolong dalam KDRT beserta sanksi oleh pelaku. Undang-undang tersebut juga memaparkan hak-hak yang didapat korban KDRT. Selain UU No.23/2004, terdapat UU No. 12/2022— mengatur Pencegahan segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual berupa Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Hak Korban— serta koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan kerjasama internasional, agar pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual dapat dilaksanakan secara efektif. Selain itu, penting adanya keterlibatan masyarakat dalam pencegahan dan pemulihan korban, agar dapat mewujudkan kondisi lingkungan yang bebas dari keekerasan seksual.
Sejauh pengamataan penulis, kekerasan seksusal tidak akan pernah usai tanpa adanya kesadaran hukum. Yang mana, hukum di Indonesia tidak bekerja secara maksimal jikalau masyarakatnya tidak mengerti atau memahami hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman mendalam tentang hukum di Indonesia— terkhusus pencegahan terhadap pelecehan dan kekerasan perempuan.
Selain minimnya kesadaran hukum, penulis masih menjumpai minimnya kesadaran, kesetaraan, dan keadilan gender di Indonesia. Budaya patriarki yang kental (seolah-olah Perempuan berperan sebagai pelayannya laki-laki semata). Budaya patriarki berhembus dan menciptakan segregasi antara laki-laki dan perempuan— dipahami secara sempit bahwa laki-laki bertugas mencari nafkah tanpa berkontribusi dalam upaya membangun rumah tangga, dan cenderung menuntut hal yang lebih terhadap Perempuan yang hanya dipahami sebagai pelayan sekaligus berdandan cantik— dan mengurus anak dan mengerjakan urusan rumah tangga.
Sehingga, penulis khawatir terjadi adanya penindasan dan merendahkan perempuan— dengan anggapan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan hanya menjadi beban laki-laki. Oleh karena itu, era yang serba terbuka— maka perlu memperjuangkan kesadaran dalam kesetaraan gender, karena kunci dari kesetaraan gender adalah kolaborasi antara laki-laki dan perempuan, saling mengisi pos-pos kekurangan dari sejumlah kelebihan yang dimiliki oleh tiap individu.
Yang dikhawatirkan oleh penulis, adanya gerakan fenimisme radikal melekat— saat perempuan mengalami masa kejayaan, tidak butuh lagi kehadiran dan peran seorang laki-laki. Kaum wanita banyak memperjuangkan kesetaraan tanpa melihat hakikat keadilan. Oleh karena itu, permasalahan tersebut dapat diselesaikan apabila kedua belah pihak saling menurunkan egonya masing-masing untuk mencapai suatu keadilan. Kita mungkin tidak bisa membetulkan stigma negatif yang tertancap pada generasi sebelum kita tapi kita bisa memutus stigma tersebut pada generasi setelah kita.
Perlu adanya didikan pada anak laki-laki untuk bertanggungjawab dan saling mengerti satu sama lain sehingga muncul keseimbangan beban yang ditanggung oleh kedua belah pihak. Selain itu perlu untuk dihilangkan stigma feminisme radikal pada perempuan, karna pada hakikatnya peran laki-laki dan Perempuan sama pentingnya dalam keberhasilan rumah tangga tersebut. Komunikasi baik yang tercipta diantara mereka dapat mencapai suatu kesepakatan yang disepakati oleh kedua belah pihak, kesepakatan tersebut yang dinamakan suatu keadilan.
Penulis mengutip buku tentang “Sarinah” karya Bung Karno, sosok Sarinah merupakan ibu asuh segaligus seorang wanita yang berada dibalik kehebatan Bung Karno. Semasa hidupnya, Bung Karno menempatkan bahwa pentingnya seorang perempuan dibalik dari kejayaan seorang laki-laki. Dalam buku Sarinah juga menceritakan penderitaan perempuan— dalam upaya memperjuangkan haknya demi terwujudnya kesetaraan gender. Dengan upaya tersebut kita dapat mengatasi permasalahan yang ada dan membangkitkan jiwa-jiwa sarinah muda yang berkelanjutan untuk membangun negeri kita yang jauh lebih baik dari zaman ke zaman.
Andi Nazla Brillian Hidayati, Mahasiswa S-1 Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Kader GMNI UINSA Ahmad Yani.