Marhaenist.id – Dalam lorong-lorong kampus yang sepi, di pojok-pojok gedung tua yang berlumut, di bawah bayang-bayang pepohonan yang mengelilingi kampus, tersimpan banyak ironi yang menjerat pikiran penghuninya, kata Tan Malaka tujuan Pendidikan ialah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.
Namun tulisan ini bukan sekadar keluhan hampa. Ini adalah seruan, sebuah manifestasi dari keinginan untuk merubah tatanan yang ada ke arah yamg lebih bijak dan baik. Sebagai penghuni kampus, harus berani menentang represi dan memperjuangkan apa yang mesti Agent of change perjuangkan. Kita harus menciptakan sebuah gerakan yang mengubah kampus dari penjara pemikiran menjadi taman kebebasan, kita mesti harus memperjuangkan kampus menjadi miniatur negara yang ideal, dimana demokrasi dan kebebasan adalah nyata.
Saat masih berstatus sebagai mahasiswa baru, saya berulang kali mendengar ucapan baik dari kakak tingkat, beberapa dosen, maupun teman seperjuangan, bahwa kampus adalah miniatur sebuah negara. Simpelnya seperti ini; jika kalian ingin melihat sebuah konsep negara, maka kalian cukup melihat dan menganalisis sebuah universitas atau kampus. Dulu saya sempat mengamininya, namun dewasas ini saya menyadari bahwa apa yang mereka ucapkan itu nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, Bukan bermaksud untuk menggeneralisir, bahwa yang mereka katakan ada (sedikit) benarnya juga. Namun, saya meyakini bahwa apa yang mereka katakan lebih banyak yang nggak sesuai dengan kenyataan.
Jika benar kampus dikatakan sebagai “Miniatur negara” seyogyanya mahasiswa yang menduduki jabatan pada ORMAWA eksekutif, Legislatif, serta Yudikatif baik ditingkat fakultas maupun universitas harusnya sebagai aktor intelektual dan eksekutor mampu bergerak berlandaskan ke-ilmuan dan teori-teori empiris yang ada karena pada esensinya mereka adalah representasi wakil rakyat, namun sayang sekali mereka bergerak seadanya, dan nggak mencemirkan wakil rakyat itu sendiri.
Hal yang pertama kali saya amati adalah urgensi kedudukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) maupun MPM. Kedua nomenklatur tersebut merujuk pada organisasi yang membidangi ranah Eksekutif, dan Legislatif. Pertanyaan saya adalah, apa sih urgensi BEM dan DPM?
Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah kinerja ORMAWA itu sendiri. Hanya sedikit ORMAWA yang bersedia mewakili keprihatinan mahasiswa yang mereka pimpin. Sebagai contoh, kinerja ORMAWA umumnya terbatas pada internalnya sendiri, pertemuan dengan birokrasi kampus yang mereka “ Dewa-kan”, dan eventual. Namun, jika kita melihatnya secara proporsional, hanya sebagian kecil pengurus yang benar-benar aktif terlibat dalam kegiatan tersebut. Pertanyaannya adalah, di mana peran aktif pengurus lainnya?
Masalah lain adalah terkait dengan jabatan mereka. Sebutan “presiden mahasiswa” mungkin tidak selaras dengan tugas dan tanggung jawab yang mereka emban. Ini hanya sebagian dari berbagai keresahan, belum lagi masalah pertanggungjawaban, maupun program kerja yang sebenarnya tidak menyentuh sama sekali kepada mahasiswa, jika ada pun hanya bersifat kultural dan formalitas, semoga saja ORMAWA dalam kampus ini tidak sedang dalam fase problematik yang menguras energi karena terlibat conflict of interest (benturan kepentingan).
Pada dasarnya jika menginginkan ekosistem demokrasi yang baik seharusya ORMAWA serta komunitas yang ada di dalam kampus mestinya menerapkan Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), sebab itulah gunanya pembelajaran yang ada di dalam kelas agar praktik-praktiknya tidak terlalu jauh menyimpang, tidak asal sembarangan dalam menjalan kan roda organisasinya.
Terlalu hipokrit rasanya jika masih bertanya masyarakat mana yang diwakili atau bahkan mementingkan kelompoknya sendiri, bagi saya itu tidak menjadi soal sebab yang paling fundamental adalah kedewasaan untuk menyadari bahwa merangkul segala heterogenitas yang ada dengan dinamika yang naik turun para pimpinan yang terhormat dijajaran BEM maupun MPM mesti hadir menjadi partner kolaboratif yang merangkul seluruh aspirasi, bahkan kritik sekalipun, jangan sampai pada akhirnya melupakan tanggungjawab moril yang ada sehingga hasil daripada demokrasi melahirkan kepemimpinan yang bijaksana, sebab dinamika yang terjadi dalam kontestasi pesta demokrasi yang mewarnai politik kampus juga hampir mirip dengan iklim politik di Indonesia, seperti terjadinya konflik antarkubu ketika pemira, pelanggaran ketika kampanye, adanya buzzer, black campaign, dsb.
Kampus sebagai tempat lahirnya generasi intelektual sudah seharusnya mencetak mahasiswa-mahasiswa yang berpolitik secara baik dan sehat, politik kampus menjadi saluran penghayatan nilai-nilai yang baik, seperti integritas, tanggung jawab, etika, dan sebagainya.
Politik kampus seharusnya menjadi ladang dan pemupukan bagi para mahasiswa yang nantinya sebagai menjadi generasi penerus bangsa. Jangan sampai politik kampus ikut mencontoh buruknya politik yang terjadi di Indonesia, melihat kondisi perpolitikan di tanah air akhir-akhir ini yang buruk, juga terdapat dikotomi sehingga menimbulkan perpecahan.
Adanya warna-warni dalam pesta demokrasi di kampus tentu merupakan proses pembelajaran bagi mahasiswa sebelum terjun ke dunia perpolitikan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya sikap yang baik dalam melakukan politik kampus karena sejatinya politik kampus merupakan miniatur politik Indonesia, dan kampus merupakan miniatur negara.
Mari bersatu menyatakan egalite, liberte dan fraternite. Membawa Revolusi menuju kepada Dunia Baru kata Soekarno tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation parnation.
Penulis: M Fadil Tegar Syafian, Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.