Marhaenist.id-Fenomena politik dalam Pemilihan Umum mengaminkan elemen penting, yaitu yang jujur dan adil (Free and Fair Election), untuk menjamin terciptanya demokrasi bagi para pemangku kepentingan, yaitu pemilih, kandidat, dan penyelenggara. Demokrasi berasal dari kata demos dan kratos, yang artinya kekuasaan mutlak oleh rakyat, sehingga segala bentuk hasil dari demokrasi ini adalah representasi yang betul-betul dari kebutuhan rakyat.
Pesta demokrasi yang menjadi diskusi hangat adalah apakah kotak kosong merupakan representasi kebutuhan masyarakat? Sebab, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 37 daerah yang melaksanakan Pilkada melawan kotak kosong, termasuk dua kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, salah satunya Kabupaten Ogan Ilir. Perhelatan ini menimbulkan kebingungan bersama: apakah hal ini terjadi karena kelayakan sang calon, yang merupakan petahana, atau karena pembentukan skema perahu besar, yang mungkin melibatkan transaksi politik antara elit di Kabupaten Ogan Ilir?
Fenomena kotak kosong ini terjadi apabila tidak ada calon lain yang mampu bersaing ketika mayoritas partai politik memilih untuk berkumpul dalam satu perahu. Meskipun demikian, berdasarkan putusan MK yang terbaru, meskipun partai mampu menerbitkan tokoh dari internalnya, mereka cenderung tidak siap membentuk koalisi besar atau melawan koalisi besar yang sudah memiliki calon.
Jika melihat legalitasnya, menurut Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015 tentang Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah, Pilkada calon tunggal dilegalkan jika, setelah perpanjangan masa pendaftaran, tetap hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar. Keputusan MK tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 54C ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Dari putusan ini, saya melihat bahwa MK hanya memberikan dua pilihan: setuju, jika mendapatkan suara terbanyak, atau tidak setuju sang calon tunggal menjadi pemimpin di daerahnya (hal. 44-45 Putusan MK).
Namun, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, dinyatakan bahwa pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom, yaitu satu kolom yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar. Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.
Menurut pandangan saya, konsep melawan kotak kosong dalam Pilkada seharusnya tidak hanya menjamin kedudukan hukum bagi pasangan calon untuk berkampanye kepada pemilih, tetapi juga memberikan kesempatan bagi sekelompok masyarakat yang tidak puas untuk memilih kotak kosong dan mengkampanyekannya. Hal yang sama juga seharusnya diberlakukan terhadap kotak kosong, sebagai konsekuensi dari diakomodasinya kolom kosong dalam putusan MK dan UU, sehingga tercipta aspek keadilan dalam pesta demokrasi ini.
Dampaknya, fenomena kotak kosong ini mengakibatkan tidak terciptanya pilihan yang adil karena ketimpangan antara sosok tokoh dengan kolom kosong dalam surat suara. Oleh karena itu, secara berkeadilan, para calon tunggal seharusnya tidak merasa nyaman, melainkan mulai menggalakkan visi dan misinya sehingga tercipta kesepakatan di akar rumput dan mampu menampung seluruh aspirasi masyarakat.
Penulis Samuel Rio,Ketua DPC GMNI Ogan Ilir