Marhaenist.id, Blitar – Solidaritas Pejuang-Pemikir Pemikir-Pejuang membuat Seruan Kebanggsaan Indonesia Berkabung; Matinya Demokrasi di Pelataran Makam Bung Karno, Blitar.
Seruan ini dibacakan oleh Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino yang menyoroti masalah demokrasi yang kini diwarnai dengan intimidasi yang dialami oleh berbagai kalangan, pelanggaran etika terjadi berulang-ulang tanpa rasa malu, aturan soal netralitas ditabrak begitu saja.
Ada 6 poin seruan kebangsaan yang disampaikan oleh Arjuna, pertama, mendesak Presiden Jokowi untuk tidak menggunakan simbol, program dan fasilitas negara untuk kampanye terselubung yang menguntungkan kandidat tertentu demi terselenggaranya pemilu yang adil, jujur dan fair.
Hal ini menurut Arjuna sangat penting disuarakan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan Presiden sebagai lembaga tinggi negara.
“Mendesak Presiden Jokowi untuk tidak menggunakan simbol, program dan fasilitas negara untuk kampanye terselubung yang menguntungkan kandidat tertentu demi terselenggaranya pemilu yang adil, jujur dan fair,” seru Arjuna.
“Kami tidak mau Presiden jadi tim sukses,” tambah Arjuna.
Kedua, Mendesak Presiden Jokowi untuk menjunjung tinggi kepentingan Negara diatas kepentingan keluarga dan para kroni, karena sebagai Kepala Negara Presiden bertugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Menurut Arjuna, poin ini disampaikan sebagai wujud agar Presiden menjalankan sumpah jabatannya melindungi semua warga negara Indonesia yang memiliki keragaman etnis, suku hingga keragaman pilihan politik di Pilpres 2024. Semua harus dilindungi tidak boleh didiskriminasi karena pilihan politik.
“Kami tidak mau Presiden dipersepsikan hanya milik golongan politik tertentu. Mereka yang pilihan politiknya berbeda didiskriminasikan, itu bisa mengancam persatuan nasional”, imbuh Arjuna
Ketiga, Mendesak Presiden untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan intimidasi terhadap aktivis, budayawan dan semua komponen masayarakat serta berhenti menjadikan kasus hukum sebagai alat sandera politik untuk memenangkan kandidat tertentu.
Menurut Arjuna, kriminalisasi para aktivis dan budayawan kian marak hanya karena mereka mengeluarkan kritik pedas kepada pemerintah. Begitu juga politisasi kasus korupsi yang dijadikan alat sandera politik memenangkan kandidat tertentu harus dihentikan.
“Kriminalisasi terhadap aktivis dan budayawan harus dihentikan, pemerintah harus dewasa secara politik. Politisasi kasus korupsi yang dijadikan alat sandera politik untuk memenangkan kandidat tertentu juga harus dihentikan,” tegas Arjuna.
Keempat, Mendesak Presiden untuk menegakan rule of law dengan prinsip kesamaan di mata hukum, adil dan tidak memihak agar hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa ada intervensi dari pihak mana pun.
Hal ini berkaitan dengan menempatkan hukum di posisi tertinggi, hukum tidak boleh dipermainkan oleh kekuasaan. Penyelenggaraan negara yang baik didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Hukum tidak boleh menjadi alat untuk mempertahankan kekuasasaan, digunakan sebagai senjata untuk memberangus mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah.
“Hukum tidak boleh menjadi alat untuk mempertahankan kekuasasaan, digunakan sebagai senjata untuk memberangus mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah,” papar Arjuna.
Kelima, Mengajak seluruh komponen masyarakat untuk menolak segala bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dapat merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Arjuna menilai akhir-akhir ini ada upaya melanggengkan nepotisme dan politik dinasti. Sehingga pandangan masyarakat bahwa nepotisme bertentangan dengan kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh Pancasila terkacaukan.
Karena itulah kami mengingatkan kembali bahwa pemberantasan nepotisme menjadi amanat reformasi yang tidak boleh ditinggalkan. Padahal nepotisme merusak tatanan sosial dan tatanan bernegara.
“KKN adalah musuh demokrasi. Demokrasi akan cacat jika ada upaya pelanggengan terhadap KKN secara sistematis,” ujar Arjuna.
Selain itu, seruan ini juga mengajak semua komponen masyarakat untuk berani bersuara sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi UUD karena bangsa ini milik kita semua, dari semua untuk semua.
“Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah fondasi kehidupan politik yang beradab. Tanpa ada kebebasan berekspresi dan berpendapat kita seperti kembali ke era Orde Baru dan masa kolonial,” tambah Arjuna.
Alasan Arjuna menyelenggarakan agenda seruan ini di makam Bung Karno di Blitar adalah keinginan untuk mengadu ke Bung Karno sebagai Bapak Bangsa soal kondisi bangsa ini yang semakin jauh dari cita-cita Bung Karno dimana demokrasi harus didasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
“Ingat Bung Karno berpesan demokrasi harus dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan bukan oleh siasat kotor dan nafsu kekuasaan. Kami ingin mengadu kepada Bapak kami,” tutup Arjuna,***