Marhaenist.id – Rencana pemerintah membuka peluang bagi manajer asing untuk memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kita sudah kehilangan kepercayaan diri terhadap kemampuan anak bangsa sendiri?
Kebijakan ini terlihat seolah rasional dan modern—“demi profesionalisme dan efisiensi global.” Namun di balik retorika itu tersembunyi mentalitas inferior yang sudah lama menggerogoti bangsa ini: keyakinan bahwa yang datang dari luar negeri pasti lebih baik.
Ijazah dan Kesetaraan yang Tak Pernah Netral
Dalam praktik internasional, ijazah tidak pernah benar-benar setara antarnegara. Lulusan dari negara berkembang sering kali dianggap “kurang” oleh negara maju. S1 dari Asia kerap hanya diakui setara dua tahun kuliah di Eropa, dan S2 bisa saja hanya dianggap S1.
Ini bukan sekadar soal akademik, melainkan politik dan ekonomi. Negara maju sengaja melindungi pasar kerja mereka dengan “menurunkan” pengakuan ijazah dari negara berkembang. Dengan begitu, hanya mereka yang lolos ujian tambahan yang bisa bekerja di sana.
Artinya, sistem pendidikan global sudah bias sejak awal—dan lebih berfungsi sebagai alat kontrol ekonomi ketimbang penilaian objektif atas kualitas pengetahuan.
Ironi Ketergantungan pada Label Asing
Karena terjebak dalam cara pandang seperti ini, kita sering gagal melihat kemampuan sendiri. Padahal, banyak profesional Indonesia telah berhasil memimpin perusahaan multinasional, baik di dalam maupun luar negeri. Masalah di tubuh BUMN bukan pada kemampuan SDM lokal, tetapi pada tata kelola, intervensi politik, dan lemahnya meritokrasi.
Mengganti direksi BUMN dengan orang asing tidak menyelesaikan akar masalah. Yang dibutuhkan adalah sistem yang bersih, bukan sekadar figur dengan aksen asing.

Kualitas Tidak Ditentukan Asal Negara
Menjadi pemimpin BUMN bukan hanya soal mengelola neraca keuangan. Itu juga soal memahami realitas sosial, budaya kerja, dan tanggung jawab publik. Seorang manajer asing mungkin mahir membaca laporan keuangan, tetapi belum tentu memahami bagaimana kebijakan tarif listrik atau BBM memengaruhi kehidupan rakyat di pelosok.
Kualitas kepemimpinan seharusnya diukur dari integritas, kapasitas, dan komitmen—bukan dari paspor atau universitas tempat seseorang belajar.
Menolak Mentalitas Rendah Diri
Dengan mengundang manajer asing memimpin BUMN, pemerintah sebenarnya sedang melegitimasi diskriminasi akademik global. Kita menerima begitu saja bahwa lulusan luar negeri lebih unggul, sementara anak negeri yang sudah bekerja keras dan memahami konteks lokal dipinggirkan.
Ini bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi juga martabat bangsa. Kita tidak akan pernah menjadi negara maju jika terus merasa bahwa kualitas terbaik selalu datang dari luar.
Saatnya Percaya pada Daya Anak Bangsa
Sudah waktunya kita berhenti memuja simbol “standar global” yang sejatinya dibentuk oleh kepentingan ekonomi negara maju. Bangsa ini memiliki banyak putra-putri yang cerdas, tangguh, dan berintegritas—tinggal diberi ruang dan sistem yang adil untuk membuktikan diri.
Pemimpin BUMN yang sejati bukan yang memiliki ijazah bergengsi, tetapi yang punya komitmen untuk memajukan rakyat dan mengelola kekayaan negara dengan hati bersih.
Kemandirian bangsa tidak lahir dari kontrak kerja dengan orang asing, tetapi dari keberanian untuk mempercayai diri sendiri.***
Penulis: Dr.med.vet. Rudi Samapati, Alumni GMNI.