Marhaenist.id, Binjai – Satu tahun sudah 35 anggota DPRD Kota Binjai duduk di kursi legislatif, namun alih-alih menghadirkan terobosan baru bagi masyarakat, kinerja mereka justru dinilai minim kontribusi hingga menuai sorotan.
Sorotan tajam datang dari Ketua DPC GMNI Kota Binjai, Windi Tanjunga, yang menyebut DPRD Binjai hanya menghabiskan anggaran tanpa menghasilkan produk nyata.
Tunjangan Fantastis: Rp36–45 Juta per Anggota per Bulan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017, anggota DPRD Kabupaten/Kota menerima rangkaian tunjangan berikut:
1. Uang representasi: Rp1.575.000
2. Tunjangan keluarga: Rp220.000
3. Tunjangan beras: Rp289.000
4. Uang paket: Rp157.000
5. Tunjangan jabatan: Rp2.283.750
6. Tunjangan alat kelengkapan: Rp91.350
7. Tunjangan reses: Rp2.625.000
8. Tunjangan perumahan: Rp12.000.000
9. Tunjangan komunikasi intensif: Rp10.500.000
10. Tunjangan transportasi: Rp12.000.000
“Jika semua komponen ini dijumlahkan, estimasi penghasilan per anggota DPRD mencapai kisaran Rp36 hingga Rp45 juta per bulan, sudah termasuk potongan pajak penghasilan, PPh 21%,” ujar Windi Tanjung, Jumat (5/9/2025).
Duduk, Absen, Pulang, dan Tunjangan Jalan Terus
Sejak dilantik pada September 2024, DPRD Binjai nyaris tidak menghasilkan satu pun peraturan daerah (Perda) baru yang signifikan. Padahal, setiap anggota dewan digaji dengan fasilitas dan tunjangan yang cukup besar.
“Yang kita lihat hari ini hanyalah rutinitas: datang, duduk, absen, pulang. Setelah itu, menikmati tunjangan. Nol besar kinerjanya,” kata Windi Tanjung.
Menurutnya, pola ini menunjukkan bahwa DPRD Binjai gagal menjalankan tiga fungsi utama legislatif: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Kondisi ini berbanding terbalik dengan beban anggaran yang dikeluarkan daerah untuk membiayai para wakil rakyat tersebut.
35 Anggota, Hanya Segelintir yang Bersuara
Dari 35 anggota DPRD, Windi menilai hanya segelintir yang benar-benar bekerja dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Ia mencontohkan Ronggur Raja Doili Simorangkir dari Fraksi Partai Gerindra, yang berani mengangkat isu maraknya tempat hiburan malam (THM) di Binjai.
“Sisanya nyaris tak terdengar. Padahal gaji dan tunjangan mereka tidak kecil. Apa pantas rakyat membiayai mereka hanya untuk rapat seremonial?” tegas Windi.
Potensi PAD Terabaikan: Pajak Air Tanah
Salah satu kritik tajam yang dilontarkan Windi adalah soal potensi pendapatan asli daerah (PAD) dari Pajak Air Tanah (PAT). Banyak kafe dan penginapan di Binjai diketahui menggunakan air tanah atau sumur bor untuk operasional, tanpa kontribusi berarti ke kas daerah.
“Ini jelas merugikan daerah. Kota Binjai punya BUMD yaitu PDAM Tirtasari, yang harusnya diberdayakan. DPRD bisa buat aturan agar pengusaha wajib menggunakan air PDAM atau dikenakan pajak air tanah. Itu solusi konkret untuk menambah PAD,” paparnya.
PAT sendiri telah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Regulasi ini menegaskan bahwa pemanfaatan air tanah untuk kepentingan industri dan komersial wajib dikenakan pajak, dengan tarif maksimal 20 persen dari harga dasar air.
Pengenaan pajak ini bertujuan untuk mengatur penggunaan air tanah agar tidak dieksploitasi secara berlebihan, mengingat air tanah merupakan sumber daya alam yang terbatas dan memerlukan waktu yang lama untuk terisi kembali (recharge).
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mengatur pemungutan pajak ini guna memastikan penggunaan yang lebih bijak serta menjaga ketersediaan air tanah bagi generasi mendatang.
Pajak Air Tanah (PAT) didasarkan pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang dicabut dengan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Regulasi tersebut mengatur bahwa pajak ini masuk dalam kategori pajak daerah dan dikelola oleh masing-masing pemerintah daerah.
Sehingga setiap daerah memiliki aturan yang berbeda mengenai PAT, mulai dari tarif dan proses pembayaran pajaknya ditentukan oleh peraturan daerah. Namun pemerintah daerah hanya dapat menentukan besar tarif PAT tidak melebihi batas maksimal yang ditetapkan pemerintah pusat dalam UU PDRD s.t.d.t.d. UU HKPD.
Merujuk Pasal 66 UU 1/2022, subjek pajak air tanah (PAT) adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Maka, individu atau badan usaha yang menggunakan air tanah untuk kebutuhan pribadi, industri, atau komersial wajib membayar pajak ini.
Pemanfaatan air tanah yang dilakukan tanpa izin dapat dikenakan sanksi denda sesuai ketentuan yang berlaku.
Penggunaan Air Tanah yang Tidak Dikenakan Pajak
Dalam Pasal 65 ayat (2) UU 1/2022 disebutkan, pengambilan air tanah yang dikecualikan dari objek PAT apabila digunakan untuk : Keperluan dasar rumah tangga, Pengairan pertanian rakyat, Perikanan rakyat, Peternakan rakyat, Keperluan keagamaan, Kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda.
Tarif PAT bervariasi di setiap daerah, biasanya berkisar antara 10% hingga 20% dari harga dasar air. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 69 UU 1/2022 bahwa tarif PAT ditetapkan paling tinggi 20%. Kemudian masing-masing pemerintah daerah akan menetapkan besar tarifnya melalui Peraturan Daerah (Perda). Tarif ini disesuaikan dengan kebutuhan air di daerah dan tujuan pemakaiannya (misalnya, untuk keperluan industri atau domestik).
Defisit Anggaran vs Kinerja Legislasi
Binjai dalam beberapa tahun terakhir kerap mengalami defisit anggaran, yang salah satunya disebabkan lemahnya penerimaan PAD. Namun di sisi lain, DPRD tidak memanfaatkan fungsi legislasi untuk melahirkan perda strategis yang mampu meningkatkan pendapatan daerah.
“Jika DPRD serius, Binjai tidak akan terjebak defisit terus-menerus. Tapi setahun ini, yang terjadi justru pembiaran. Produk hukum nihil, sementara tunjangan mereka jalan terus,” sindir Windi.
Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas
Windi mendesak DPRD Binjai untuk membuka laporan kinerja secara transparan, agar publik mengetahui sejauh mana capaian legislasi selama satu tahun ini. Ia juga mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas lembaga legislatif tersebut.
“Rakyat berhak tahu: berapa perda yang sudah dibuat? Berapa aspirasi yang benar-benar ditindaklanjuti? Jangan hanya jadi beban APBD,” tegasnya.
GMNI Binjai, kata Windi, akan terus mengawal isu ini dan memastikan DPRD tidak bersembunyi di balik rapat-rapat seremonial.
“Legislatif harus kembali ke jalur pengabdian, bukan sekadar penikmat fasilitas,” pungkasnya.
Windi pun menegaskan betapa pentingnya pengawasan publik terhadap kinerja DPRD agar terlihat dan sesuai dengan fungsinya.
“Pentingnya pengawasan publik. DPRD harus membuka berapa Perda yang sudah dibuat setahun terakhir, berapa aspirasi masyarakat yang berhasil ditindaklanjuti. Kalau tidak, publik hanya menyaksikan struktur legislatif jadi beban APBD tanpa fungsi,” tegasnya.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.