Marhaenist.id, Jakarta – Dilema perempuan modern masih menjadi perdebatan yang cukup hangat dan panjang. Meskipun perempuan telah bekerja keras di berbagai sektor, kenyataan menunjukkan bahwa mereka masih menghadapi banyak ketidakadilan.
Mulai dari upah yang lebih rendah, beban kerja ganda, hingga diskriminasi gender di tempat kerja maupun ruang publik.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Bidang Kesarinahan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Timur, Intania Putri Mardiyani dalam diskusi yang membahas peran dan tantangan perempuan diera modern.
Menurut Intania Putri Mardiyani, sistem sosial dan ekonomi yang ada masih belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan.
“Perempuan sering kali harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang sama dengan laki-laki. Di satu sisi mereka dituntut profesional dalam pekerjaan, tapi di sisi lain masih terbebani dengan peran domestik yang dianggap sebagai tanggung jawab utama mereka,” ujarnya, Selasa (18/3/2025).
Selain itu, Intania Putri Mardiyani juga menyoroti bagaimana bias gender masih menjadi hambatan utama bagi perempuan dalam mengembangkan karier.
“Di dunia kerja, masih banyak perempuan yang mengalami diskriminasi, baik dalam bentuk upah yang tidak setara, minimnya kesempatan promosi, hingga pelecehan di lingkungan kerja. Ini adalah kenyataan yang harus kita ubah,” tambahnya.
Sarinah menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan hanya tentang bertahan di sistem yang ada, tetapi juga memperjuangkan perubahan yang lebih adil.
“Kesetaraan gender bukan sekadar wacana, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan konkret. Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi perempuan,” katanya.
Ia juga mendorong perempuan untuk lebih berani menyuarakan hak-haknya dan tidak takut melawan ketidakadilan.
“Sudah saatnya kita mengubah narasi bahwa perempuan harus selalu berjuang sendirian. Perubahan harus melibatkan semua pihak agar kesetaraan bisa benar-benar terwujud,” ungkapnya.
Hentikan Objektifikasi! Perempuan Bukan Sekadar Fisik!
Intania Putri Mardiyani juga menegaskan perempuan harus dilihat lebih dari sekadar penampilan fisik.
Ia menyoroti bagaimana standar kecantikan yang sempit terus menekan perempuan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis.
“Kita hidup di masyarakat yang sering kali lebih memperhatikan bagaimana perempuan terlihat daripada apa yang mereka pikirkan atau kontribusikan. Padahal, tubuh perempuan bukan objek, melainkan ruang eksistensi dan kebebasan bagi dirinya sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, obsesi terhadap bentuk tubuh, warna kulit, atau standar kecantikan tertentu hanya mempersempit ruang gerak perempuan dalam mengekspresikan diri.
Industri kecantikan dan media sering kali membentuk persepsi bahwa nilai seorang perempuan terletak pada penampilannya, bukan pada gagasan atau karya yang mereka hasilkan.
“Kita harus mulai menggeser perspektif ini. Inklusivitas sejati bukan sekadar menerima keberagaman fisik perempuan, tetapi juga menghargai pemikiran, intelektualitas, dan peran mereka dalam masyarakat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Intania Putri Mardiyani menegaskan bahwa perempuan tidak boleh terus-menerus terjebak dalam tekanan sosial yang membatasi potensi mereka.
“Saatnya perempuan membebaskan diri dari ekspektasi yang tidak adil dan mulai menuntut pengakuan atas kapasitas mereka sebagai individu yang berdaya dan berkontribusi bagi dunia,” tandasnya.***
Penulis: Reirisky (PilarParlemen.id)/Editor: Bung Wadhaar.