Marhaenist.id – Kongres ke‑22 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), diselenggarakan di Bandung pada 15–18 Juli 2025, menjadi panggung dua pilihan besar: apakah ini menjadi arena idealisme progresif bagi kader marhaenis, atau hanya semacam panggung opportunis bagi elite organisasi?
📰 Kabar Terkini: Semangat dan Kewaspadaan dari Berbagai Cabang
Berbagai DPC GMNI sedang mempersiapkan diri dengan ambisi ideologis tinggi:
DPC GMNI Banyuwangi bahkan menyiapkan dua armada ke Bandung untuk solidkan barisan dan mempertegas posisi mereka di kongres XXII.
GMNI Surabaya menyatakan kesiapan penuh, berharap kongres menjadi sarana regenerasi dan reposisi organisasi secara ideologis. DPC GMNI Surabaya juga menekankan komitmen pada AD/ART dan menolak provokasi politik praktis .
DPC GMNI Buton Raya meskipun tanpa wilayah secara administratif, mereka menegaskan bahwa mereka hadir bukan untuk ambisi pribadi, tetapi membawa “amanah sejarah”, melawan intervensi elit parpol, dan menjaga marwah marhaenisme Bung Karno.
DPD GMNI Gorontalo menyatakan dukungan penuh, menegaskan bahwa mereka membawa suara nyata rakyat—nelayan, petani, buruh—ke arena kongres. Mereka mengingatkan agar kongres tidak sekadar acara seremonial, tetapi menjadi ruang refleksi ideologis dan moral.
Sementara itu, Badan Kerja Cabang GMNI Bandung dan DPC GMNI Bandung dibawah pimpinan Irfan Ade menyatakan penolakan terhadap wacana kongres yang dipaksakan — Mereka menilai hal tersebut mencederai nilai-nilai perjuangan dan sejarah Bandung sebagai saksi Konferensi Asia-Afrika.
Dengan begitu beragamnya respons, terlihat jelas bahwa harapan besar sekaligus kewaspadaan tinggi menyelimuti penyelenggaraan kongres ini.
⚠️ Panggung Oportunis?
Terhadap konkretisasi kongres, potensi oportunisme mengintai. Sejumlah cabang menyoroti kemungkinan intervensi elit negara dan partai politik yang mencoba menjadikan kongres sebagai instrumen legitimasi atau arena kompromi politik semu. Ini sesuai kekhawatiran dari DPC GmnI Bandung yang menolak dengan tegas jika kongres berubah menjadi “alat dagang politik”.
Kritik ini menjadi refleksi penting: bila keputusan kongres lebih dominan dipengaruhi oleh politik praktis daripada substansi perjuangan, maka kongres kehilangan fungsi sebagai laboratorium ide marhaenisme Bung Karno.
🌟 Forum Progresif? Harapan Masih Terbuka?
Meski begitu, banyak cabang yang optimis. DPD GMNI Sulawesi Barat dan DPC GmnI Seram Bagian Barat berkomitmen menjadikan kongres sebagai momentum mengusung isu rakyat: agraria, HAM, dan melawan “penjajahan gaya baru”. Ini menunjukkan bahwa di antara hiruk-pikuk politisasi, masih ada roh perjuangan yang kuat mengusung agenda rakyat.
Jika semangat ini dipertahankan, kongres dapat menjadi ruang konstruktif: bukan hanya memilih pengurus, tapi merumuskan peta strategi kerakyatan, memperkuat pemikiran kritis, dan meneruskan manifesto politik Bung Karno.
🧭 Soekarno: Spirit “Vivere Pericoloso” untuk GMNI
Marhaenisme adalah roh yang tak boleh mati dalam GMNI. Bung Karno, melalui pidato “Tahun Vivere Pericoloso” pada 17 Agustus 1964, menyerukan agar kita hidup “berbahaya” demi revolusi:
> “Kita ini satu bangsa banteng… marilah kita berani nyrempet-nyrempet bahaya… Hiduplah ber‑Vivere Pericoloso di atas jalan yang dikehendaki oleh Tuhan dan diridhai oleh Tuhan.”
Semangat ini adalah seruan idealisme murni: revolusi bukan proyek nyaman, melainkan panggilan berani melawan struktur penindasan. Jika kongres ini gagal membumikan idealisme itu—hanya ramai dibicarakan di ruang protokoler atau dipenuhi kepentingan posisi—maka kongres telah kehilangan relevansi revolusioner.
Soekarno juga berpesan:
> “Negara Indonesia dalam bahaya… Revolusi adalah satu proses… gelora samudera berjalan terus… Pasang‑naik pasang‑surut itulah yang dinamakan iramanya Revolusi.”
Baginya, kesuksesan organisasi harus diukur dari daya tahan di tengah gejolak; bukan seberapa elegan acara formalnya.
—
Semangat keutuhan GMNI ini mendapat penegasan dari tokoh-tokoh revolusioner lain:
Rosa Luxemburg, dalam Reform or Revolution, menekankan:
“Revolusi tanpa kesadaran kelas hanyalah parade boneka di tangan borjuasi.”
Kongres harus mendorong kesadaran akar—agar GMNI bukan “monocultural elite”.
Antonio Gramsci menyatakan:
“Krisis adalah ketika yang lama belum mati, dan yang baru belum lahir.”
GMNI tengah mengalami masa transisi ideologis. Kongres berpotensi menjadi kelahiran gerakan baru—jika tidak tertahan nostalgia atau oportunisme.
Che Guevara mengingatkan:
“Revolusi bukan sekadar mengubah sistem, tapi mengubah kesadaran kita untuk hidup dan berjuang bersama rakyat.”
Aksi kolektif, bukan sekadar wacana formal, diharapkan muncul dari kongres ini.
🛠 Aksi Konkret agar Kongres “Bermakna”
Agar kongres benar-benar menjadi forum progresif, berikut beberapa langkah:
1. Transparansi Prosedural: seluruh proses pemilihan dan debat platform harus terbuka dan diawasi, mencegah lobby rahasia atau manipulasi hasil.
2. Debat Ideologis Tajam: perlu diskusi mendalam tentang isu struktural hari ini—neokolonialisme digital, kebijakan reforma agraria, kesenjangan ekonomi, HAM, dan demokrasi media massa.
3. Agenda Praksis Realistis: hasil kongres harus disertai rencana aksi konkret—pengorganisasian petani, buruh, rakyat miskin kota dan pendidikan marhaenisme di kampus & desa, serta advokasi sosial.
4. Perlindungan terhadap Intervensi: DPC Surabaya dan Gorontalo memberi contoh menjaga kongres dari provokasi politik—ini harus menjadi sikap kolektif nasional.
5. Penyertaan Rakyat dan Ahli: undang panelis dari basis rakyat (petani, buruh, kaum miskin kota) dan akademisi kritis, agar kongres menjadi ubun-ubun permasalahan rakyat.
🏁 Penutup: Kongres sebagai Ujian Ideologi
Apakah GMNI XXII adalah panggung oportunis atau forum progresif? Waktu dan hasil kongres-lah yang akan menjawab.
Jika kongres ini menghasilkan struktur baru tanpa peta perjuangan rakyat—hanya birokrat muda yang nyaman di birokrasi—itu berarti GMNI kehilangan nyali revolusionernya. Namun jika lahir kesadaran mendalam, strategi kolektif, dan agenda menjunjung marhaenisme—maka GMNI akan membuktikan bahwa semangat Soekarno masih hidup.
Seperti pesan Bung Karno:
“Revolusi tidak boleh tidur.”
Kongres bukan kemenangan akhir—tetapi awal dari revolusi nyata di dalam dan luar GMNI, walaupun harapan itu setipis roti.***
Penulis: Dimas Muhammad Erlangga, Kader Marhaenis Reflektif.