Marhaenist.id – Belajar dari pengelolaan klub besar sepak bola dunia dengan jalan koperasi, kita bisa mengambil inspirasi untuk kemajuan sepak bola nasional. Tentu di tengah kritik kerja berat timnas lolos piala dunia dengan banyak pemain naturalisasi yang menantang semangat nasionalisme sempit kita. Bisa kita pelajari dari inspirasi berikut:
Mungkin anda adalah penggemar FC Barcelona atau Barça, klub sepak bola terkaya se-dunia. Pendapatan bersih tahunan klub itu sekitar 7,5 triliun dolar AS. Mereka juga tercatat sebagai salah satu klub sepak bola yang sukses di lapangan.
Hingga kini, Barcelona telah memenangkan 26 La Liga, 30 Copa del Rey, 13 Super Copa del Espana, 3 Copa Eva Duarte, dan 2 piala Copa de La Liga, serta menjadi pemegang rekor untuk empat kompetisi terakhir. Mereka telah memenangkan 5 Liga Champions, rekor 4 Piala Winners UEFA, 5 Piala Super UEFA, dan tiga rekor Piala Dunia Antarklub FIFA. Mereka juga memenangkan rekor 3 Piala Inter-Cities Fairs—pendahulu Piala UEFA/Liga Eropa.
Slogannya dalam bahasa Catalan, Més que un club! (lebih dari sekadar klub). Benar, mereka memang bukan sekadar klub. Klub sepak bola Barcelona bukan milik segelintir investor, tetapi masyarakat luas, termasuk fans klub ini. Barça memiliki penggemar hingga 160 juta orang yang tersebar di seluruh dunia. Didirikan pada 1899 di Barcelona, pemiliknya berjumlah sekitar 180 ribu orang yang memiliki hak suara yang sama dalam menentukan arah kebijakan klub.
Salah satu filosofi yang ditanamkan sejak dini kepada anak-anak adalah “bermain jujur dan fair” di lapangan hijau. Mereka adalah anggota koperasi bukan hanya dari cabang sepak bola saja, tetapi juga dari 13 cabang olahraga lainnya, seperti basket, hoki, dan lain lain. Itu adalah sebuah “perusahaan olahraga” terbesar dunia.
Masih ingatkah mundurnya Josep Maria Bartomeu atas desakan mosi tidak percaya fans Barça belum lama ini? Itu karena koperasi. Dalam statuta koperasi mereka tegas disebut bahwa seorang presiden klub sekalipun bisa saja diganti bila tidak disetujui oleh 20 persen anggota klub. Jadi Bartomeu mengundurkan diri sebelum dipastikan akan dipecat dalam rapat Dewan Pengurus koperasi. Itulah demokrasi koperasi.
Klub tersebut, sebagaimana organisasi koperasi yang berhasil di seluruh dunia, menerapkan prinsip-prinsip kerja koperasi, misalnya, keanggotaan terbuka dan sukarela. Siapa pun dapat menjadi anggota, baik tua, muda, lelaki atau perempuan. Biaya keanggotaan untuk orang dewasa sekitar 165 dolar AS atau 2,5 juta rupiah.
Setiap anggota dapat menjadi direksi atau pengurus, termasuk presiden dewan direksi. Mereka memiliki hak penuh untuk memilih dan dipilih dalam sebuah rapat anggota. Pengawasan secara partisipatoris anggota juga dijamin. Setiap anggota berhak secara aktif mengawasi manajemen dan keuangan klub, seperti harga tiket, biaya keanggotaan, penjualan dan pemasaran barang dagangan/cendera mata, dan lain-lain.
Klub itu jarang mengundang sponsor untuk menjaga independensi dan juga sebagai bentuk tanggung jawab untuk membawa misi transformasi sosial menghadapi korporasi kapitalis. Mereka secara rutin menyisihkan hasil pendapatan klub sebesar 0,7 persen untuk anak-anak seluruh dunia melalui Yayasan Klub Barcelona kerja sama dengan UNICEF. Mereka juga secara rutin menyumbangkan 1,5 juta Euro setiap tahun kepada UNICEF dan menampilkan logo salah satu organisasi PBB ini dalam kaos seragam bergaris-garis biru marun dan ikonik tim.
Kapan kita bisa bergotong royong membangun koperasi klub olahraga kita? Masih adakah gotong royong itu dalam diri kita? Ataukah kita lebih menyukai slogan dan jargon ketimbang tindakan?
Penulis Suroto, Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES) Indonesia, Disarikan dari tulisannya dari buku: “Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme”.