Marhaenist.id, Jarkarta – Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP) yang telah disahkan pada tahun lalu, resmi mulai berlaku pada hari ini, Senin (17/10/2024).
Kehadiran UU ini membawa angin segar dalam perlindungan data pribadi masyarakat, namun di sisi lain juga menjadi tantangan baru bagi penyelenggara pemilihan umum, khususnya Pilkada serentak yang akan digelar beberapa waktu mendatang.
UU PDP yang disusun dengan mengacu pada prinsip-prinsip perlindungan data pribadi internasional, mengatur secara komprehensif mengenai pengumpulan, pengolahan, hingga penyimpanan data pribadi.
Ketentuan dalam UU ini diyakini akan berdampak signifikan terhadap penyelenggaraan Pilkada, mengingat proses pemilihan umum melibatkan data pribadi sejumlah besar masyarakat, mulai dari data pemilih hingga data hasil perhitungan suara.
Andi Aditya, seorang Praktisi Keterbukaan Informasi Publik, menilai bahwa UU PDP akan memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi data pribadi masyarakat dalam konteks penyelenggaraan Pilkada.
“Dengan adanya UU PDP, diharapkan tidak ada lagi penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan politik praktis. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan semua pihak, termasuk penyelenggara Pilkada, memahami dan menerapkan ketentuan dalam UU ini,” ujarnya dalam keterangan persnya, Sabtu (12/10/2024).
Andi Aditya yang juga merupakan pengurus DPD GMNI DKI Jakarta menambahkan, UU PDP juga perlu diharmonisasikan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan akses informasi kepada publik. Namun, UU PDP lebih spesifik mengatur tentang perlindungan data pribadi, sedangkan UU KIP mengatur tentang akses informasi publik. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menyinkronkan kedua undang-undang ini agar tidak terjadi tumpang tindih atau pertentangan,” tambahnya.
Ada 2 hal yang menjadi catatan yang diberikan oleh Andi Aditya sebagai berikut:
1. Tantangan Implementasi
Meskipun UU PDP telah disahkan, tantangan dalam implementasinya masih cukup besar. Salah satu tantangan utama adalah terkait dengan teknis pelaksanaan, terutama dalam hal pengawasan dan penegakan hukum. Selain itu, diperlukan juga sosialisasi yang intensif kepada seluruh pihak terkait, mulai dari penyelenggara Pilkada, partai politik, hingga masyarakat luas.
Pihak penyelenggara Pilkada, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kini wajib mengikuti prosedur ketat terkait pengumpulan dan penggunaan data pribadi. Hal ini termasuk kewajiban untuk melakukan analisis dampak perlindungan data pribadi (DPIA) sebelum memulai proyek yang melibatkan data pemilih.
Menurut data dari KPU, jumlah data pribadi yang dikelola dalam setiap tahapan Pilkada bisa mencapai lebih dari 200 juta rekaman data. Hal ini mencakup data pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), informasi terkait calon kepala daerah, hingga data dukungan masyarakat bagi calon tertentu yang diunggah dalam sistem digital.
Kewajiban untuk mematuhi UU PDP juga mencakup pihak ketiga yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada, seperti penyedia layanan teknologi informasi (TI) yang menangani sistem informasi pemilu, serta lembaga survei yang mengumpulkan dan memproses data pemilih untuk berbagai tujuan.
Ke depan, penerapan UU ini diperkirakan akan memperkuat pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan data pribadi dalam proses politik, mengingat data pribadi merupakan aset yang sangat penting dalam konteks pemilu yang adil dan demokratis.
1. Harapan ke Depan
Dengan berlakunya UU PDP, diharapkan penyelenggaraan Pilkada di Indonesia dapat berjalan lebih transparan, akuntabel, dan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat. Selain itu, UU ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.