Marhaenist.id – Pada tahun 2050, jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai sembilan miliar jiwa. Peningkatan populasi ini berdampak langsung pada kebutuhan pangan global, sementara lahan pertanian semakin berkurang. Salah satu solusi yang diusulkan adalah manipulasi genetik bahan pangan untuk meningkatkan produktivitas, ketahanan terhadap penyakit, dan efisiensi hasil. Namun, manipulasi genetik juga menimbulkan berbagai masalah, seperti ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan potensi risiko bagi kesehatan manusia.
Dalam bidang pangan hewani, konsep peternakan berkelanjutan menjadi solusi yang relevan. Peternakan berkelanjutan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan hewani tanpa merusak lingkungan, menghasilkan produk sehat bebas dari antibiotik, hormon steroid, dan zat aditif lainnya. Dengan mengadopsi prinsip peternakan berkelanjutan, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi penghasil pangan protein dan nabati organik bagi dunia.
Peternakan Eropa di Tengah Globalisasi dan Perang
Globalisasi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka peluang besar bagi negara-negara untuk saling terhubung dalam perdagangan, teknologi, dan inovasi. Namun, di sisi lain, globalisasi juga menciptakan ketergantungan yang bisa berujung pada krisis saat terjadi gangguan global. Salah satu sektor yang sangat terdampak adalah peternakan di Eropa, terutama setelah perang Ukraina pecah.
Sebagai seseorang yang tinggal dan bekerja di Berlin di Klinik Kuda, saya melihat langsung bagaimana dampak ini terjadi dan bisa menjadi pembelajaran bagi Indonesia.
Manfaat Globalisasi: Kemajuan Yang Tak Terbendung
Globalisasi telah membawa berbagai keuntungan bagi industri peternakan. Teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) kini digunakan untuk memantau kesehatan ternak, sementara bioteknologi membantu meningkatkan kualitas produksi susu dan daging. Pasar yang semakin terbuka memungkinkan produk peternakan Eropa menjangkau konsumen di seluruh dunia.
Selain itu, rantai pasokan global memungkinkan impor pakan ternak seperti jagung dan kedelai dengan harga kompetitif dari negara-negara seperti Amerika Selatan dan Ukraina. Hal ini membantu menekan biaya produksi dan menyediakan produk berkualitas dengan harga terjangkau bagi konsumen.
Dampak Buruk Globalisasi: Ketika Ketergantungan Menjadi Ancaman
Namun, ketergantungan pada rantai pasokan global memiliki risiko. Perang di Ukraina, misalnya, telah mengganggu pasokan gandum dan jagung, komponen utama pakan ternak ke Eropa. Akibatnya, harga pakan melonjak tajam, memaksa banyak peternak membayar lebih mahal atau mencari alternatif lain.
Di Jerman dan Prancis, beberapa peternak kecil menghadapi kesulitan finansial akibat kenaikan biaya ini, bahkan ada yang terpaksa menghentikan operasional mereka. Krisis ini menunjukkan betapa rentannya sektor peternakan terhadap gangguan dalam rantai pasokan global.
Krisis Energi dan Ketidakstabilan Global: Tantangan Tambahan Bagi Peternakan Eropa
Perang Ukraina juga memicu krisis energi di Eropa. Sanksi terhadap Rusia menyebabkan penurunan pasokan gas, sementara harga listrik melonjak hingga 300% dalam beberapa bulan. Biaya pemanas kandang selama musim dingin meningkat drastis, menambah beban bagi peternak.
Selain itu, ketidakstabilan geopolitik di Timur Tengah dan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan turut memengaruhi harga energi dan distribusi barang secara global. Ketidakpastian ini membuat peternakan di Eropa semakin rentan terhadap fluktuasi harga dan gangguan pasokan.
Di Jerman, yang sangat bergantung pada gas Rusia, banyak peternak harus mencari cara untuk mengurangi konsumsi energi atau beralih ke sumber energi alternatif untuk menjaga keberlanjutan operasional mereka.
Dampak Terhadap Peternakan Kuda
Sebagai negara dengan tradisi kuat dalam peternakan kuda, Jerman juga merasakan dampak dari krisis ini. Harga pakan melonjak, sementara biaya kesehatan dan perawatan kuda meningkat tajam. Akibatnya, banyak pemilik kuda yang terpaksa menjual hewan mereka atau mengurangi jumlah ternak. Selain itu, transportasi kuda yang bergantung pada bahan bakar fosil menjadi lebih mahal, mempengaruhi industri olah raga berkuda dan rekreasi kuda secara keseluruhan.
Perubahan Selera Konsumen: Tantangan Baru Untuk Peternakan
Tren konsumsi juga mengalami pergeseran. Produk alternatif seperti susu nabati dan daging buatan semakin populer. Data menunjukkan bahwa penjualan susu nabati di Eropa naik 30% dalam setahun terakhir, sementara konsumsi susu sapi mulai menurun.
Bagi industri peternakan, ini adalah peringatan untuk beradaptasi dengan preferensi konsumen yang berubah. Tanpa inovasi dan respons yang tepat, mereka berisiko kehilangan pangsa pasar.

Langkah Jalan Keluar Yang Dilakukan Eropa
Menghadapi berbagai tantangan ini, negara-negara di Eropa mulai menerapkan berbagai langkah untuk menyelamatkan industri peternakan:
Diversifikasi Pasokan PakanEropa mulai meningkatkan produksi pakan dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada Ukraina dan negara lain. Pengembangan pakan alternatif seperti protein serangga dan fermentasi mikroba juga mulai diperkenalkan sebagai solusi jangka panjang.
Inovasi teknologi digital dan robotika semakin diadopsi dalam peternakan. Sensor dan AI digunakan untuk memantau kesehatan ternak secara real time, mengoptimalkan penggunaan pakan, dan mengurangi limbah.
Energi Terbarukan untuk Peternakan, beberapa peternakan di Jerman dan Belanda mulai beralih ke energi terbarukan seperti biogas dan panel surya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Subsidi dari pemerintah juga diberikan untuk mendukung transisi ini.
Regulasi Ketahanan Pangan Uni Eropa memperketat regulasi untuk memastikan keberlanjutan peternakan. Program-program bantuan keuangan diberikan kepada peternak kecil untuk bertahan dalam kondisi ekonomi yang sulit.
Pelajaran Bagi Indonesia
Apa yang terjadi di Eropa bisa menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama, dan kita harus mengurangi ketergantungan pada impor pakan dan energi. Inovasi dalam teknologi peternakan dan diversifikasi sumber daya pangan perlu didorong agar industri peternakan Indonesia lebih tahan terhadap guncangan global.
Dengan meningkatnya ketidakstabilan global, mulai dari perang hingga krisis energi, Indonesia harus memperkuat sistem peternakannya dengan mengembangkan produksi dalam negeri dan mengadopsi teknologi modern. Dengan mengambil pelajaran dari Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, Indonesia dapat mengembangkan sistem peternakan yang lebih berkelanjutan, mandiri, dan siap menghadapi tantangan globalisasi di masa depan.***
Penulis: Dr. med. vet. Rudi Samapati, Alumni GMNI, FKH UGM. Meraih gelar Ph.d dari Freie Universitat Berlin, kini bekerja sebagai penelitii di Seeburg, Berlin, Jerman dan bekerja pada Klinik Kuda Seeburg, Berlin, Jerman. Penulis juga kini tinggal di Berlin, Jerman.