Marhaenist.id – Tidak terasa Indonesia sudah memasuki usia yang cukup tua dalam sebuah angka usia. 80 tahun Indonesia berbagai dimanika yang begitu kompleks terjadi. Dalam 80 tahun Indonesia dikendalikan oleh rezim yang berbeda. Delapan orang presiden menjadi nakhkoda yang membawa Indonesia sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa.
2045 merupakan sebuah tahun yang dijadikan patokan untuk menjadikan Indonesia sampai tahap Indonesia Emas. Sebuah impian besar untuk Indonesia yang maju, yang diisi oleh kualitas SDM yang unggul dalam mencetak kemajuan dan kebermanfaatan dan sebuah tata kelola yang sesuai dengan regulasi yang berlaku. Namun, yang menjadi peratnyaan besar adalah apakah mimpi tersebut dapat terwujud?
Realitas hari ini atas apa yang terjadi dikehidupan berbangsa dan bermasyarakat terdapat berbagai permasalan yang begitu kompleks untuk diselesaikan. Tata kelola pemerintahan yang belum menunjukkan sesaui dengan jalan yang benar, praktik korupsi yang dapat terjadi dimana dan kapan saja serta oleh siapa saja, akses pendidikan yang belum merata, banjirnya penganguran seiring dengan PHK massal, DPR yang kurang merespon apa yang menjadi aspirasi rakyat dan berbagai permasalahan lainnya, juga masalah konflik agraria diberbagai daerah terkhususnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Maka, kembali kepada pertanyaan besar yang diajukan diawal, apakah mimpi untuk Indonesia Emas 2045 dapat terwujud?
Bertebaran dimedia bahwa adanya ramalan negara Indonesia akan hilang dan hal tersebut menjadi perdebatan yang hangat di masyarakat. Tentu perdebatan tersebut mengundang pertanyaan besar apa saja indikator untuk menggolongkan Indonesia menuju kehancuran raya.
Niccolo Machiavelli seorang diplomat dan politikus asal Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli merupakan figur utama dalam realitas teori politik, ia begitu di segani di Eropa pada masa Renaisans. Machiavelli mengungkapkan bahwa Negara akan hancur jika pemimpin bersikap sewenang-wenang dan menindas rakyat.
Hari ini kita melihat bagaimana kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. Pengambilan keputusan tanpa mempetimbangkan rakyat bukti bahwa hari ini pemerintah terkesan menindas dan meminggirkan rakyatnya sendiri. Sebagaimana pembangunan jalan tol yang terkadang rakyat harus terpaksa di gusur dan rentan kehilangan sumber kehidupan seperti berjualan dipinggir jalan mengingat kebanyakan jalan tol terdapat rest area yang hanya bisa diisi dagangan modern dan dunia retail.
Dari tokoh yang terkenal kiri, seorang yang bersal dari German bernama Karl Marx yang memandang hancurnya negara karena ketimpangan ekonomi dan kemiskinan sistematik. Dalam konteks Bangka Belitung yang berada dalam ancaman bencana ekologi yang bukan hanya saja bersumber dari pertambangan melaikan masuknya Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berbentuk perkebunan monokultur.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat Babel memiliki delapan kawasan yang masuk dalam HTI seluas 223.000 Ha yang dikelola oleh perusahaan. Di Bangka Barat sendiri satu perusahaan memiliki luas konsesi 66.000 ha yang tersebar di 6 kecamatan dan 39 desa. Hal tersebut nampak jelas bagaimana ketimpangan ekonomi terjadi. Belum jumlah pengangguran yang menyentuh 7,28 juta jiwa dan masyarakat yang hidup di garis kemiskinan menyentuh 23,85 juta orang di Indonesia.
John Lock mengungkapkan negara akan hancur jika negara sendiri melanggar hak rakyat seperti hak kepemilikan tanah dan kebebasan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, masuknya HTI tidak hanya menuju bencana ekologi tetapi memingirkan mayarakat adat setempat yang telah lama mendiami suatu kawasan. Pembatasan kebebasan pers oleh negara bahkan terbunuh karena menyuarakan kebenaran.
Confucius mengungkapkan negara dalam menuju kehancuran karena mengabaikan pendidikan yang berujung pada mundurnya moral dan intelektual bangsa. Sejak dilantiknya persiden Prabowo, beliau membuktikan janjinya akan adanya makan siang bergizi gratis (MBG). Namun, anggaran besar yang dibutuhkan untuk mengakomodir kepentingan tersebut berujung lahirnya Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang Efesiensi Anggaran. Menomorduakan pendidikan dan kesahatan berujung justifikasi bahwa negara hari ini kurang dalam memandang betapa pentinnya pendidikan.
Dari ilmuwan Islam, Ibnu Khaldun menyampaikan bahwa negara akan hancur jika pajak yang berlebihan yang mana akan melemahkan ekonomi rakyat. Akhir-akhir ini berita viral aksi besar-besararan di Kabupaten Pati terjadi karena kebijakan pemerintah setempat yang menaikkan pajak tanpa mempertimbangkan begaimana kondisi perekonomi. Hal ini tidak hanya terjadi di Pati dan akan lahir Pati-Pati selanjutkanya jika pemerintah selaku pengambil kebijakan tidak pernah berpihak pada masyarakat kecil.
Apa yang disampaikan diatas
bahwasanya menjadi indikator hancurnya sebuah negara. Dewasa ini banyak sekali permasalahan kompleks yang terjadi di tanah air. Hal tersebut tentu menjadi PR untuk pemerintah agar segera menuntaskan segala permasalah tersebut. Menuju Indonesia Emas 2045 membutuhkan modal yang besar yang tidak hanya dari SDA juga SDM yang unggul demi menghindari kehancuran raya.***
Penulis: Hijriyanto, Kader GMNI Bangka dan Mahasiswa S1 Ilmu Politik UBB.