Marhaenist.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh pemerintahan Prabowo Subianto membutuhkan anggaran sebesar 71-100 triliun per tahun. Namun, realitas anggaran yang ada justru menunjukkan ketimpangan dan ketidakefisienan dalam pengelolaan dana publik. Luhut Binsar Pandjaitan, salah satu tokoh penting dalam pemerintahan sebelumnya, mengungkapkan bahwa dari total anggaran bantuan sosial (bansos) sebesar Rp 500 triliun, hanya separuh yang benar-benar diterima dan tepat sasaran. Anggaran tersebut digunakan pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), namun penggunaannya dilakukan tanpa sepengetahuan Kementerian Sosial (Kemensos).
Artinya, Rp 500 triliun yang dikatakan Luhut sebagai anggaran yang salah sasaran seharusnya bisa dialokasikan untuk program MBG di masa pemerintahan Prabowo Subianto selama lima tahun tanpa perlu melakukan realokasi, efisiensi, pemotongan anggaran. Namun, karena ketidakefisienan tersebut, pemerintah terpaksa melakukan pemotongan anggaran yang berujung pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dampak negatif lainnya.
Hubungan antara program MBG dan realokasi anggaran ini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan rezim sebelumnya, yaitu pemerintahan Jokowi, yang dianggap menggunakan anggaran untuk kepentingan keluarga dan kroninya. Akibatnya, pemerintah Indonesia saat ini mengalami kekurangan anggaran, dan rakyatlah yang harus menanggung beban tersebut. Contoh nyata adalah pemangkasan anggaran pendidikan, yang membuat anak-anak dari keluarga miskin, terutama kaum tani kelas buruh dan rakyat miskin perkotaan, kesulitan mengakses pendidikan. Ditambah lagi, dampak efisiensi ini memicu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di tengah situasi krisis ekonomi.
Warisan Utang Jokowi: Beban Berat bagi Pemerintah Saat Ini
Pemerintah saat ini menghadapi beban berat akibat warisan utang dari era Jokowi yang mencapai Rp 8.500 triliun. Utang ini memaksa pemerintah melakukan realokasi anggaran untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang, sehingga anggaran untuk program-program sosial, pendidikan, dan kesehatan terpaksa dipangkas. Akibatnya, rakyat kecil yang seharusnya menjadi prioritas justru menanggung beban terberat. Pemotongan anggaran pendidikan, misalnya, membuat anak-anak dari keluarga miskin, terutama kaum buruh dan rakyat miskin perkotaan, kesulitan mengakses pendidikan. Ditambah lagi, dampak efisiensi ini memicu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di tengah situasi krisis ekonomi.
Sementara itu, praktik pejabat dalam kehidupan sehari-hari justru mempertontonkan kemewahan, sementara rakyat mengalami kelaparan, PHK, dan putus sekolah. Lebih lanjut, pemerintah Prabowo dalam 100 hari kerjanya dinilai tidak memperhatikan nasib dan kesengsaraan rakyatnya.
Gerakan #AdiliJokowi: Simbol Perlawanan terhadap Ketidakadilan
Gerakan “ADILIJOKOWI” muncul sebagai respons atas kesengsaraan dan ketidakadilan yang dipraktikkan oleh Jokowi dan kroninya, yang dianggap hanya mengabdi pada kepentingan oligarki. Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi selama ini. Dengan demikian, tulisan ini menggambarkan betapa pentingnya pengelolaan anggaran yang transparan dan tepat sasaran untuk mencegah ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin parah. Warisan utang Jokowi yang mencapai Rp 8.500 triliun menjadi beban berat bagi pemerintah saat ini dan rakyat, sehingga tuntutan untuk #AdiliJokowi semakin menguat sebagai upaya memperjuangkan keadilan bagi rakyat.***
Penulis: Dendy Se, Ketua DPC GMNI Jakarta Selatan.