Marhaenist.id, Jakarta – Dalam semangat memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-98, kami Aktivis GMNI dengan tegas menolak segala bentuk wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto.
Penolakan ini bukan hanya berdasarkan catatan sejarah kelam selama masa Orde Baru, tetapi juga karena pemberian gelar tersebut akan menjadi pengkhianatan terhadap jiwa Sumpah Pemuda, nilai inti Marhaenisme/Pancasila, mandat konstitusi UUD 1945, dan cita-cita luhur Revolusi 17 Agustus 1945.
Berikut adalah analisis mendalam yang melandasi penolakan kami:
1. Bertentangan dengan Semangat Sumpah Pemuda:
“Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Indonesia.”
Sumpah Pemuda 1928 adalah ikrar persatuan, kesetaraan, dan keadilan yang melampaui suku, agama, dan golongan. Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto justru melakukan:
~ Politik Divide et Impera:
Memecah belah persatuan nasional dengan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu, seperti peristiwa pembantaian 1965-66 dan penyerangan terhadap kelompok intelektual, buruh, dan petani.
~ Penindasan Hak Berserikat dan Berkumpul:
Membungkas kebenaran dan membungkam suara kritis melalui pengekangan kebebasan pers, pembredelan media, dan penangkapan terhadap aktivis yang menyuarakan ketidakadilan. Ini bertolak belakang dengan semangat “berkebangsaan yang satu” yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
~ Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN):
Praktik KKN yang sistemik telah menggerogoti “tanah air” dan “bangsa” Indonesia, di mana kekayaan negara hanya dinikmati oleh segelintir orang dekat kekuasaan, bukan untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan.
Menganugerahkan gelar pahlawan kepada aktor di balik luka sejarah ini sama saja dengan menginjak-injak pengorbanan para pemuda 1928 yang memimpikan Indonesia yang bersatu, adil, dan berdaulat.
2. Menyimpang dari Jiwa Marhaenisme dan Pancasila
Pancasila, yang dijiwai semangat Marhaenisme Soekarno, menempatkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai sila pamungkas. Rezim Orde Baru justru:
~ Mengaburkan dan Memanipulasi Pancasila:
Pancasila dijadikan alat legitimasi kekuasaan dan tunggal, sementara praktiknya justru mengingkari sila-silanya. Kekuasaan yang terpusat dan otoriter bertentangan dengan semangat kerakyatan (sila ke-4).
~ Mengabaikan Keadilan Sosial:
Kebijakan ekonomi yang elitis dan pro-konglomerat telah meminggirkan rakyat kecil (kaum Marhaen), menyebabkan kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar. Tanah dan sumber daya alam dikuasai oleh korporasi, sementara petani dan buruh hidup dalam keterbatasan.
~ Melanggar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:
Berbagai pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965, Talangsari 1989, Penembakan Misterius (Petrus) 1980-an, dan kerusuhan Mei 1998, adalah noda hitam yang tidak dapat dihapus. Seorang pahlawan harusnya menjadi pelindung rakyat, bukan dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya.
Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto berarti merestui penyimpangan terhadap Pancasila dan mengubur cita-cita keadilan sosial yang diperjuangkan oleh founding fathers bangsa.
3. Melanggar Mandat Konstitusi UUD 1945
Pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyatakan tujuan bernegara: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” “memajukan kesejahteraan umum,” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa.”
~ Gagal Melindungi Rakyat:
Rezim Orde Baru gagal memenuhi mandat konstitusional untuk melindungi seluruh rakyat tanpa pandang bulu, terbukti dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas.
~ Kesejahteraan Umum yang Timpang:
Pembangunan ekonomi Orde Baru, meski dianggap sukses secara makro, seringkali mengabaikan prinsip “kesejahteraan umum” yang merata dan berkeadilan. Kekayaan negara tidak dinikmati secara adil oleh “segenap bangsa Indonesia”.
~ Pencerdasan yang Dibatasi:
Kebebasan akademik dan berpikir dikekang. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” tidak mungkin tercapai dalam iklim ketakutan dan pembatasan kebebasan berpendapat.
Oleh karena itu, pemberian gelar pahlawan akan menjadi bentuk pengabaian terhadap cita-cita konstitusi yang sejati.
4. Mengkhianati Semangat Revolusi 17 Agustus 1945
Revolusi Kemerdekaan 1945 adalah perjuangan rakyat untuk membebaskan diri dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Nilai-nilai inti revolusi adalah kedaulatan rakyat, anti-kolonialisme, dan pembebasan.
Rezim Orde Baru justru:
~ Menegakkan Kekuasaan yang Otoriter:
Membangun rezim yang berkuasa secara sentralistik dan represif, mirip dengan sifat kekuasaan kolonial yang pernah kita lawan. Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat “kedaulatan rakyat”.
~ Menindas Kebebasan Rakyat:
Rakyat yang dahulu berjuang melawan penjajah, justru hidup dalam bayang-bayang ketakutan di era Orde Baru. Penangkapan terhadap para kritikus adalah bentuk baru dari “penjajahan” terhadap kebebasan berpikir.
~ Membangun “Kolonialisme Baru”
Ekonomi: Kekayaan negara yang seharusnya dinikmati rakyat, justru dikuasai oleh segelintir konglomerat dan keluarga kekuasaan. Struktur ekonomi yang timpang ini mencerminkan ketidakadilan yang pernah diperangi oleh para pejuang revolusi.
Menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto sama halnya dengan mengkhianati jiwa Revolusi 1945.
Alih-alih menghormati perjuangan kemerdekaan, kita justru mengukuhkan warisan kekuasaan yang dalam banyak aspek berseberangan dengan cita-cita revolusi.
Berdasarkan analisis di atas, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah langkah yang keliru secara moral, historis, dan konstitusional.
Gelar pahlawan adalah penghargaan tertinggi bagi mereka yang memperjuangkan nilai-nilai luhur bangsa, bukan bagi mereka yang catatan kekuasaannya dipenuhi dengan kontroversi, pelanggaran, dan penderitaan rakyat.
Untuk itu Kami menuntut:
1. Kepada Pemerintah dan DPR RI: Untuk menghentikan dan menolak segala bentuk wacana atau usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
2. Kepada Seluruh Masyarakat Indonesia: Untuk belajar dari sejarah secara kritis dan objektif, serta menjaga semangat Sumpah Pemuda, Pancasila, dan Revolusi 1945 yang murni.
3. Kepada Negara: Untuk secara serius menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu sebagai bentuk komitmen terhadap keadilan dan rekonsiliasi, bukan dengan memberikan gelar yang justru akan melukai rasa keadilan korban dan keluarga serta mengkhianati semangat revolusi.
“Kami percaya, menghormati sejarah yang benar adalah fondasi untuk membangun Indonesia yang lebih adil, demokratis, dan beradab di masa depan,” ujar Mereka.
Gerakanan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) adalah organisasi Aktifis Mahasiswa yang peduli terhadap penegakan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sejarah di Indonesia.
Jakarta, 05 November 2025
1. DPC GMNI Jakarta Selatan
2. DPC GMNI Sikka
3. DPC GMNI Ciamis
4. DPC GMNI Palembang
5. DPC GMNI Ngada
6. DPC GMNI Ciamis
7. DPC GMNI Jakarta Timur
8. DPC GMNI Kota Bekasi
9. DPC GMNI Kefamenanu
10. DPC GMNI Jakarta Barat
11. DPC GMNI Jakarta Utara
12. DPC GMNI Kendari
13. DPC GMNI Morowali
14. DPC GMNI Buru
15. DPC GMNI Buol
16. DPC GMNI Mamasa
17. DPC GMNI Langkat
18. DPC GMNI Bangka Belitung
19. DPC GMNI Kubupaten Serang
20. DPD GMNI Baubau
21. GMNI Se – Kalimantan Selatan
22. DPC GMNI Surabaya
23. DPC GMNI Mojokerto
24. DPC GMNI Padang
25. DPC GMNI Probolinggo
26. DPC GMNI Malang
27. DPC GMNI Bangkalan
28. DPC GMNI Jombang
29. DPC GMNI Kota Tangerang
30. DPC GMNI Wakatobi
31. DPC GMNI Bantaeng
32. DPC GMNI Bulittinggi
33. DPC GMNI Sijunjung
34. DPC GMNI Padang Pariaman
35. DPC GMNI Lombok Timur
36. DPC GMNI Pematangsiantar
37. DPC GMNI Ende
38. DPC GMNI Kutai Timur
39. DPC GMNI Mataram
40. DPC GMNI Cirebon
41. DPC GMNI Indramayu
42. DPC GMNI Tanah Datar
43. DPC GMNI Kota Pariaman
44. DPD GMNI Lampung
45. DPD GMNI Jawa Timur
46. DPD GMNI Sumatera Utara
47. DPD GMNI Sumatera Selatan
48. DPD GMNI Sulawesi Tenggara
Merdeka…!!!
GMNI Jaya…!!!
Marhaen Menang….!!!
Pernyataan Sikap GMNI Se-Indonesia/Editor: La Ode Mustawwadhaar.