Marhaenist.id – Pelecehan terhadap anak-anak merupakan pembunuhan karakter manusia sejak dini, yang dapat menghancurkan generasi masa mendatang. Khususnya di Indonesia, pemberitaan mengenai pelecehan anak memicu keprihatinan mendalam dikalangan masyarakat. Seringkali kasus ini melekat pada lingkungan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan anak-anak (baik dirumah atau disekolah), menjadi kesempatan untuk melakukan skandal pelecehan.
Data terbaru Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), menunjukkan bahwa sejak Januari hingga Juni 2024, terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak yang terlapor. Dari jumlah tersebut, 5.552 korban adalah anak perempuan dan 1.930 korban adalah anak laki-laki. Kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang paling banyak terjadi selama periode ini. Sungguh miris melihat angka tinggi untuk kejahatan tersebut.
Salah satu kasus pelecehan anak terdi kabupaten Belitung, Bangka Belitung. Korban berinisial NJ merupakan anak panti asuhan berusia 15 tahun yang sebelumnya menjadi korban tindak asusila dari pengurus panti. Kejadian pencabulan oleh oknum polisi berpangkat brigadir dengan inisial AK terjadi pada Rabu, 15 Mei 2024 pukul 19.00 WIB. di Mapolsek Tanjungpandan.
Kejadian bermula ketika korban hendak melaporkan predator seks yang merupakan pengurus pantinya BS berusia 53 tahun. Korban bersama dua temannya berniat melaporkan kejadian bahwa pengurus panti tersebut telah memperkosanya sejak 2022-2024. Setelah menceritakan kejadian, tersangka mengajak korban pindah ruangan dan mengunci dari dalam, sementara dua teman korban menunggu di ruangan yang lain. Sehingga si korban melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib.
Namun bukannya mendapat perlindungan, laporan berujung petaka. Korban mendapatkan tindak asusila dari oknum polisi berpangkat brigadir. Pelaku meminta korban tidak menceritakan kejadian tersebut pada orang lain. Atas kejadian tersebut, korban merasa takut dan trauma sehingga mengadu kepada Komnas Perlindungan Anak Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Atas perbuatannya, Brigadir AK diancam pasal berlapis yaitu Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Tap Perpu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 76E Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Dan/Atau Pasal 6C Undang – Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (Dilansir dari Tv One, siaran tanggal 20, Juli 2024 pukul 18.00)
Fenomena tersebut harus menjadi perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih lemah dalam menangani kasus-kasus pelecehan anak. Hal ini dilihat dari hukuman yang dijatuhkan sering kali tidak berat. Penanganan kasus pelecehan anak juga sering kali memakan waktu yang lama.
Proses yang berbelit-belit dan birokrasi yang kompleks membuat kasus pelecehan anak tidak segera ditangani. Hukum yang lemah dalam menangani kasus pelecehan anak memiliki dampak yang sangat serius. Anak-anak yang menjadi korban mengalami trauma fisik dan psikologis yang berkepanjangan. Selain itu, lemahnya hukuman bagi pelaku tidak memberikan efek jera, sehingga kasus serupa dapat terus berulang. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum juga meningkat, menyebabkan banyak kasus pelecehan anak yang tidak dilaporkan.
Anak dalam Bayangan Hantu Pelecehan Seksual
Merujuk Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.23/2002), menjelaskan status anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. UU No.23/2002, dapat dipahami bahwa anak adalah seseorang yang berada pada tahap awal dalam kehidupan mereka, mulai dari lahir hingga usia remaja.
Selama masa ini, mereka mengalami banyak perubahan dan pertumbuhan, baik fisik, mental, dan emosional. Anak-anak senang belajar banyak hal baru, mulai dari keterampilan dasar seperti berbicara dan berjalan, hingga pemahaman tentang bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan dunia di sekitar mereka.
Usia anak-anak, mereka sangat bergantung pada orang dewasa, seperti orang tua, guru, dan pengasuh, untuk mendapatkan bimbingan dan dukungan. Ini adalah waktu yang sangat penting untuk membentuk karakter dan perkembangan mereka, sehingga mereka memerlukan perhatian dan perawatan yang tepat.
Anak-anak juga memiliki hak-hak khusus yang harus dihormati dan dipenuhi oleh orang dewasa dan masyarakat. Hak-hak ini mencakup hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik, hak atas kesehatan, dan hak untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
Penting bagi orang dewasa untuk memahami dan menghargai kebutuhan anak-anak. Dengan memberikan lingkungan yang positif dan mendukung, kita membantu mereka berkembang menjadi individu yang sehat, bahagia, dan berdaya saing. Dukungan dan perhatian yang diberikan kepada anak-anak akan mempengaruhi masa depan mereka dan membantu mereka mencapai potensi terbaik mereka.
Di Indonesia, Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli. Perayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap hak-hak dan kesejahteraan anak, serta mendorong partisipasi aktif dalam upaya perlindungan anak.
Hari Anak Nasional merupakan momen refleksi bagi kita semua. Namun, di balik senyum dan tawa anak-anak Indonesia, terdapat jeritan sunyi yang sering kali tidak terdengar jeritan mereka yang menjadi korban pelecehan. Krisis pelecehan anak di Indonesia adalah isu yang mendesak dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak.
Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual.
Aktifitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.
Menurut Collier (1998), pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau dialami oleh semua perempuan.
Penjelasan para ahli mengenai pengertian pelecehan seksual di atas dapat disimpulkan bahwa, Pelecehan anak adalah tindakan yang menyakiti anak secara fisik, emosional, atau seksual. Ini berarti anak-anak mengalami perlakuan yang tidak baik yang dapat merusak kesejahteraan mereka.
Pelecehan ini bisa dilakukan oleh orang dewasa, seperti orang tua atau pengasuh, atau bahkan oleh teman sebaya. Ada tiga bentuk pelecehan anak, yaitu pelecehan fisik, pelecehan emosional, dan pelecehan seksual.
Pelecehan fisik melibatkan tindakan yang menyebabkan luka atau cedera pada anak. Contohnya adalah memukul, menendang, atau menggunakan kekerasan fisik lainnya. Tindakan ini dapat membuat anak merasa sakit dan tidak aman. Pelecehan emosional terjadi ketika anak mengalami perlakuan yang membuat mereka merasa buruk tentang diri mereka sendiri. Ini bisa berupa penghinaan, cemoohan, atau pengabaian terhadap perasaan anak.
Pelecehan emosional dapat membuat anak merasa tidak berharga dan kurang percaya diri. Pelecehan seksual adalah ketika anak dipaksa melakukan aktivitas seksual yang tidak mereka inginkan. Ini termasuk sentuhan yang tidak pantas atau eksploitasi seksual yang dapat merusak kesehatan dan keselamatan anak. Pelecehan seksual sangat serius dan bisa menyebabkan dampak jangka panjang pada perkembangan anak.
Semua bentuk pelecehan ini sangat berbahaya dan bisa meninggalkan bekas yang mendalam pada anak. Dampaknya bisa memengaruhi cara anak berinteraksi dengan orang lain, serta perkembangan mental dan emosional mereka. Pelecehan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan.
Lingkungan keluarga yang tidak stabil, seperti pertengkaran atau kekerasan dalam rumah tangga, dapat meningkatkan risiko pelecehan. Kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang dampak pelecehan juga berperan penting, sementara norma sosial dan budaya yang menormalisasi kekerasan memperburuk masalah.
Penyakit mental yang tidak diobati, kekurangan ekonomi, serta kurangnya pengawasan terhadap anak juga turut menyumbang pada tingginya risiko pelecehan. Selain itu, kepentingan pribadi pelaku, keinginan untuk merasa lebih berkuasa, serta keterbatasan sistem perlindungan anak bisa mempengaruhi kejadian pelecehan.
Pengalaman masa lalu pelaku yang pernah mengalami kekerasan, dukungan sosial yang minim, dan kondisi lingkungan yang tidak aman juga dapat memperbesar kemungkinan terjadinya pelecehan. Menangani masalah ini memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan, dukungan emosional, serta penegakan hukum yang efektif.
Pelecehan anak dapat menimbulkan dampak yang luas dan serius pada berbagai aspek kehidupan mereka. Secara emosional, anak yang mengalami pelecehan sering menghadapi gangguan kesehatan mental seperti stres, kecemasan, dan depresi, serta kesulitan dalam mengelola emosi mereka, mengalami kemarahan, kebingungan, atau putus asa, serta kesulitan mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat.
Rasa percaya diri mereka juga bisa terganggu, membuat mereka merasa tidak berharga atau tidak layak mendapatkan kasih sayang, yang memengaruhi pandangan mereka terhadap diri sendiri di masa depan. Dalam hal kemampuan sosial, anak-anak ini sering kali kesulitan berinteraksi dengan orang lain, menghindari situasi sosial, atau merasa tidak nyaman bergaul dengan teman sebaya.
Gangguan pola pikir juga dapat terjadi, dengan anak-anak mengembangkan cara berpikir negatif tentang diri mereka dan dunia di sekitar mereka, yang dapat mengarah pada perasaan pesimis atau ketidakpercayaan terhadap orang lain. Selain itu, ada kemungkinan bahwa anak yang menjadi korban pelecehan akan meniru perilaku tersebut di masa depan, mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat, dan berisiko melakukan pelecehan terhadap orang lain.
Anak yang mengalami pelecehan sering menunjukkan gangguan perilaku, seperti melawan aturan, berbohong, atau menghindari tanggung jawab, yang bisa menjadi cara mereka untuk mengatasi atau mengekspresikan rasa sakit mereka. Kualitas tidur mereka juga dapat terpengaruh, dengan kemungkinan mengalami mimpi buruk, sulit tidur, atau sering terbangun di malam hari, yang memengaruhi kesejahteraan fisik dan mental mereka.
Dalam hal kemampuan mengatasi masalah, anak-anak ini mungkin memiliki keterampilan yang terbatas untuk menghadapi tantangan, merasa putus asa, atau tidak mampu menangani kesulitan dengan cara yang sehat. Untuk mencari pelarian atau perhatian, mereka mungkin terlibat dalam perilaku berisiko seperti merokok, minum alkohol, atau menggunakan obat terlarang.
Selain itu, pelecehan dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berpikir secara kritis, membuat keputusan yang baik, dan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan mereka, yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang sehat.
Peringatan Hari Anak Nasional, Saran Penulis sebagai Kader GMNI
Sebagai kader GMNI, Tindakan pelecehan anak melanggar asas GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), Sebagai organisasi mahasiswa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, GMNI menolak segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, termasuk pelecehan anak.
Tindakan pelecehan anak bertentangan dengan prinsip-prinsip GMNI yang berfokus pada penghargaan terhadap hak asasi manusia dan penciptaan masyarakat yang adil dan beradab. GMNI percaya bahwa setiap orang, termasuk anak-anak, harus diperlakukan dengan hormat dan dilindungi dari kekerasan atau perlakuan yang tidak pantas.
Pelecehan anak dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh agama, termasuk dalam pandangan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam banyak tradisi agama, melindungi anak-anak dan menjaga martabat mereka adalah aspek penting dari ajaran Tuhan. Tindakan bejat ini juga melanggar sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, karena pelecehan anak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Pelecehan anak menciptakan ketidakadilan dan penderitaan yang mendalam bagi korban, serta merusak martabat dan kesejahteraan mereka. Dalam konteks sila ini, setiap bentuk kekerasan atau eksploitasi terhadap anak dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi mereka, dan berlawanan dengan prinsip perlakuan adil dan manusiawi.
Sila ketiga dari Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia juga tidak di indahkan oleh tindakan pelecehan anak karena mengancam dan merusak keharmonisan serta persatuan dalam masyarakat. Pelecehan anak, yang mencakup kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan buruk lainnya, mengganggu rasa aman dan kepercayaan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif jangka panjang, seperti trauma dan ketidakstabilan emosional, yang pada akhirnya merusak ikatan sosial dan integrasi dalam masyarakat.
Sila keempat Pancasila adalah Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Pelecehan anak melanggar sila ini karena mengabaikan hak anak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan perlindungan dari tindakan yang merugikan. Ketika anak mengalami pelecehan, suara dan hak mereka sering diabaikan atau tidak didengar dalam proses pengambilan keputusan hukum. Selain itu, dalam konteks kerakyatan dan pemerintahan, tindakan pelecehan anak mencerminkan kegagalan sistem dalam menjaga dan melindungi hak asasi manusia secara adil dan bijaksana, sehingga mengganggu prinsip dasar sila keempat.
Sila kelima Pancasila adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pelecehan anak melanggar sila ini karena bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Ketika anak mengalami pelecehan, mereka tidak mendapatkan hak-hak dasar untuk hidup aman, sehat, dan mendapatkan perlindungan. Pelecehan anak menciptakan ketidakadilan dengan merampas hak-hak anak untuk mendapatkan perlakuan yang setara dan perlindungan yang layak. Dalam konteks ini, keadilan sosial berarti memastikan bahwa setiap individu, termasuk anak-anak, diperlakukan dengan hormat dan mendapatkan perlindungan dari tindakan yang merugikan.
Pelecehan anak merupakan pelanggaran serius terhadap beberapa asas yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 menjamin hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang dengan aman, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B Ayat 2). Pelecehan anak juga melanggar hak asasi manusia, seperti hak untuk hidup tanpa penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi (Pasal 28I Ayat 1).
Selain itu, UUD 1945 menyatakan bahwa negara harus melindungi anak-anak yang terlantar (Pasal 34 Ayat 1). Pelecehan anak bisa mengganggu perkembangan pendidikan dan kesehatan mereka, yang merupakan hak dasar setiap anak (Pasal 31 Ayat 1 dan Pasal 28H Ayat 1). Tindakan ini merusak perkembangan fisik, mental, dan emosional anak-anak, yang seharusnya dijaga dan dilindungi oleh negara dan masyarakat.
Sebagai kader GMNI, penulis menyarankan beberapa langkah untuk mencegah dan menghadapi krisis pelecehan anak di Indonesia. Pertama, pemerintah harus lebih tegas dalam menindak pelaku pelecehan anak dengan memberikan hukuman yang berat dan cepat untuk memperkuat penegakan hukum. Kedua, perlu adanya edukasi dan sosialisasi tentang hak-hak anak, tanda-tanda pelecehan anak dan cara melaporkannya di sekolah, keluarga, dan komunitas agar masyarakat lebih sadar pentingnya perlindungan anak dan dampak negatif dari pelecehan anak.
Ketiga, menyediakan layanan dukungan bagi korban pelecehan anak sangat penting, seperti bantuan psikologis, medis, hukum, dan tempat penampungan yang aman agar korban bisa pulih dari trauma yang mereka alami. Keempat, GMNI bisa berperan aktif dalam mengadvokasi kebijakan yang lebih baik untuk perlindungan anak melalui kerja sama dengan pemerintah dan organisasi lain. GMNI dapat membantu merumuskan kebijakan yang efektif serta memastikan implementasinya di lapangan.
Melakukan kampanye publik melalui media massa dan media sosial untuk mengubah stigma negatif terhadap korban dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mendukung korban pelecehan seksual. Menggunakan figur publik atau tokoh masyarakat untuk mendukung kampanye ini dan menyebarkan pesan positif. Terakhir, peran masyarakat dalam pengawasan perlu didorong untuk aktif melaporkan kasus pelecehan anak kepada pihak berwenang. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi seperti GMNI, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman dan melindungi hak-hak anak di Indonesia.
Jeritan sunyi anak-anak korban pelecehan harus menjadi panggilan bagi kita semua untuk bertindak. Pada Hari Anak Nasional ini, mari kita berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat yang aman dan ramah bagi anak-anak kita. Sebagai kader GMNI, mari kita bergandengan tangan, bergerak bersama, dan membawa perubahan nyata. Masa depan bangsa ada di tangan kita, dan melindungi anak-anak adalah langkah awal menuju Indonesia yang lebih baik.
Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2024.
Penulis: Azizah Tuzahra, S-1 Ilmu al Qur’an dan Tafsir, Kader GMNI UIN Sunan Ampel Komisariat A. Yani.