Marhaenist.id – Dalam hukum administrasi dan pidana, keaslian sebuah dokumen tidak bergantung pada klaim, namun pada bukti fisik dan verifikasi otoritatif. Dugaan pemalsuan ijazah Presiden RI ke-7, Joko Widodo, bukanlah perkara sepele apalagi sentimen politik. Ini adalah soal fundamental hukum dan kepercayaan publik terhadap integritas pejabat tinggi negara.
Banyak kalangan menilai bahwa untuk membuktikan keabsahan ijazah seseorang, publik perlu melihat transkrip, skripsi, atau rekam akademik lainnya. Namun logika hukum tidak bekerja seperti itu. Ketika satu dokumen sudah menunjukkan banyak kejanggalan administratif dan teknis, maka permintaan tambahan justru mengaburkan pokok masalah.
Ijazah adalah dokumen negara. Sama seperti uang kertas, paspor, atau surat tanah, ia memiliki standar teknis dan administratif yang harus dipenuhi. Bila foto tidak sesuai, tanda tangan dekan tidak autentik, gelar akademik tidak sahih dengan waktu jabatan, atau format dokumen tidak cocok dengan tahun penerbitan — maka itu cukup untuk memulai investigasi forensik dokumen.
Kita tidak perlu menuntut data Kartu Hasil Studi (KHS) atau skripsi, bila satu lembar ijazah saja sudah memberi cukup alasan untuk mencurigai keasliannya. Bahkan, di negara-negara dengan tata kelola demokrasi yang matang, temuan awal semacam ini sudah memicu pengunduran diri, penyelidikan etik, hingga proses hukum terbuka.
Maka, ketika seorang mantan presiden enggan memperlihatkan ijazah aslinya dalam proses pengadilan — yang merupakan forum tertinggi penegakan hukum — masyarakat bukan hanya berhak mencurigai, tetapi juga berhak menggugat secara hukum.
Dalam pandangan saya, ini bukan soal Jokowi pribadi. Ini adalah soal preseden hukum dan akuntabilitas publik. Jika kita diam dalam perkara ini, maka pintu bagi segala bentuk penipuan administratif akan terbuka lebar, termasuk untuk pejabat publik di masa depan.
Publik tidak boleh berhenti bertanya: Apakah bangsa ini dipimpin oleh seseorang yang sah secara akademik? Atau oleh seseorang yang telah memalsukan dasar legalitas pendidikannya?
Negara ini terlalu besar untuk dikelola berdasarkan asumsi dan pengabaian terhadap bukti teknis. Biarkan kebenaran diuji secara terbuka, transparan, dan ilmiah — bukan ditutup oleh opini personal atau tameng kekuasaan yang telah lewat.
Penulis: Dr.med.vet. Rudi Umbu Remu Samapati – Alumni Fakultas Kedokteran Hewan UGM.