Marhaenist.id – GMNI dari tahun 1953 sampai 2024 kini, telah melahirkan sejumlah tokoh-tokoh politik yang berkecimpung dalam dunia politik nasional. Sebagian besar politisi dari Kader GMNI memilih untuk bergabung dalam lingkaran Partai Merah atau Kelompok Merah dalam melakukan pejuangan politik dikarenakan adanya kesamaan idelogi.
Sejak kelompok Merah berkuasa mulai dari 2014 sampai 2024 sebagai Pemerintah, GMNI pun terkena dampak. Demikianlah terkena dampak karena eforia kemenangan dalam merebut kekuasaan itu turut dirayakan oleh sejumlah kader GMNI yang berada di Kelompok Merah.
Eforia kemenangan itu dirayakan Kader GMNI sebagai bentuk kegembiraan karena mereka turut ikut berjuang memenangkan Partai Merah dalam merebut kekuasaan hingga puncaknya di 2024 dan di Pemilu 2024 dinyatakan sebagai pemenang di Parlemen.
Tetapi dalam perjalanannya sampai saat ini di 2024, GMNI dalam posisi dilema. Dikatakan dilema karena secara simbolik kelompok merah hari ini sedang berkuasa, tapi secara representatif kader GMNI yang duduk di jabatan strategis hampir tidak ada, misalnya setingkat menteri. Toh jika ada, misalnya Kang Teten Masduki bukan representasi GMNI, melainkan NGO.
Sementara itu, karena secara simbolik ideologi sama, pergerakan GMNI menjadi tidak luwes, bahkan kaku karena dianggap publik sebagai bagian gerbong kekuasaan. Dampaknya, GMNI kerap gagap, untuk tidak mengatakan dilema dalam merespon isu dan kebijakan publik yang acapkali bertentangan dengan kepentingan publik.
Meski bukan parpol, sebagaimana diketahui, representasi semacam ini kerap dijadikan acuan dalam menentukan jabatan-jabatan politis. Karenanya, posisi GMNI hari ini memang dilema, karena seolah-olah ikut bagian gerbong kekuasaan, tapi dalam kenyataannya justru tak ikut kecipratan kue kekuasaan. Disisi lain sebagai gerakan mahasiswa, mereka di tuntut menjadi agen of change sekaligus menjadi kekuatan kontrol bagi rezim yang berkuasa.
Kongres GMNI yang ke XXII (22) nantinya, kira penting membicarakan reposisioning ini, agar GMNI makin progresif dan jaya. Dan satu lagi, misalnya mempertegas sikap dan komitmennya dalam memperjuangkan para marhaen, seperti terkait penolakan warga Kendeng menolak pabrik semen. Menjadi Pejuang-Pemikir, Pemikir-Pejuang yang membumi.***
Oleh : Arif Nurul Iman, Seorang Pengamat Sosial Politik.