Marhaenist.id – Saat ini Indonesia telah berupaya mewujudkan visi besar “Generasi Emas 2045” sebuah momentum bersejarah ketika bangsa ini genap seratus tahun merdeka. Visi tersebut menggambarkan cita-cita kolektif untuk melahirkan generasi muda yang unggul, produktif, serta berdaya saing tinggi di tengah persaingan global.
Dalam konteks ini, perkembangan teknologi digital sering kali dianggap sebagai katalis utama dalam mendorong lahirnya generasi kreatif dan inovatif. Namun, di balik narasi kemajuan tersebut, tersimpan persoalan mendasar mengenai struktur ekonomi digital yang tidak sepenuhnya bebas dari ketimpangan.
Fenomena maraknya “content creator” atau “digital influencer” menjadi cerminan dari perubahan lanskap kerja di era teknologi. Mereka dipandang sebagai simbol kemandirian dan kreativitas baru, tetapi disisi lain, mereka juga terperangkap dalam sistem ekonomi digital yang bersifat feodal.
Para kreator memproduksi konten bernilai ekonomi tinggi, tetapi keuntungan terbesar hanya dinikmati oleh pemilik modal atau platform digital global itu sendiri. Dalam kerangka ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah kemajuan teknologi benar-benar membawa pembebasan bagi rakyat, atau justru melahirkan bentuk baru dari feodalisme yang membelenggu generasi muda?
Melalui pandangan Marhaenisme Soekarno tulisan ini akan berupaya mengurai struktur penindasan baru di balik layar digital, dan menyoroti ketimpangan antara pemilik alat produksi dan kaum pekerja kini berwujud antara korporasi teknologi global dan para Kreator yang menjadi Budak dari Platform tanpa disadari.
Visi Generasi Emas 2045 dan Tantangan Era Digital
Pemerintah Indonesia melalui berbagai dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang (RPJPN 2025–2045) menekankan pentingnya penguatan kualitas sumber daya manusia dalam menyambut puncak bonus demografi. Generasi muda diharapkan menjadi motor penggerak dalam menghadapi transformasi digital dan ekonomi kreatif.
Akan tetapi, perubahan cepat di bidang teknologi juga melahirkan bentuk pekerjaan baru yang sering kali bersifat fleksibel tetapi tidak stabil. Fenomena ini melahirkan kelas pekerja digital yang tidak memiliki kepastian kerja maupun kontrol terhadap hasil produksinya.
Bayangkan Dalam media sosial, generasi muda bukan hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi sekarang ini telah berubah menjadi komoditas itu sendiri.
Dari sini kita dapat melihat persoalan Kemanusiaan telah diperbudak demi Akumulasi modal Oleh para Kapitalis. Platfrom Media Sosial, misalnya Facebook telah digembar gemborkan sebagai Ruang yang lebih Praktis dengan hashtag, Sorotan, tagar, adapun Salam interaksi, adalah jalan halus Untuk mengajak semua pengguna media itu ikut terjerumus menjadi bagian dari Creator sendiri dan berorientasi pada penggunanya, yang katanya merai imbalan finansial seperti halnya VIP melalui konten tersebut. Sehingga akan mempengaruhi dan mengundang publik untuk terjerumus menjadi bagian dari Kreator demi sebuah validasi.
Dengan Narasi “kebebasan digital”, “wirausaha kreatif”, atau “jadi bos untuk diri sendiri” adalah bagian dari ideologi kapitalis yang menyelimuti realitas kerja digital. Banyak generasi muda berpikir bahwa menjadi content creator adalah bentuk kemerdekaan, padahal mereka terikat secara halus oleh sistem kerja tanpa upah pasti, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa kendali atas distribusi kerja mereka.
Alih-alih menjadi generasi pembebas, mereka justru menjadi bagian dari mesin kapitalisme global, yang semakin menjauhkan mereka dari kendali atas hidupnya sendiri. Di sinilah mimpi negara untuk Generasi Emas menjadi sangat Buram, generasi mudanya justru semakin terjajah oleh logika pasar global
Feodalisme Digital dalam Perspektif Marhaenisme
Bila kita mendengar tentang “Marhaenisme” kita kembali diingatkan pada sosok Ploklamator Bangsa Indonesia, “Bung Karno”, beliau melihat dari pengamatan yang mendalam terhadap realitas kemiskinan, Perbudakan, dan segala macam ketidakadilan yang dialami oleh kaum akar rumput (kaum Marhaen) Marhaen disini didefinisikan sebagai rakyat kecil yang memiliki alat produksinya sendiri namun tetap menderita kemiskinan akibat sistem yang menindas, sementara Marhaenisme adalah sebuah paham yang menentang segala bentuk penindasan dalam lingkungan sosial.
Pada abad ke-20 Marhaenisme sangat begitu relevan dalam menghadapi kapitalisme industri, dan pada abad ke-21 ini, kembali bergulat menghadapi tantangan Perbudakan Digital. Perbudakan ini adalah bentuk eksploitasi yang terjadi di bawah payung platform capitalism. Di sini kaum Marhaen modern adalah para pekerja dari Platform yaitu: Content Creator yang saat ini dilakukan sendiri oleh Anak-anak yang masih dibawa umur, Remaja, Milenial yang katanya mereka adalah Generasi Emas 2045, bahkan dilakukan juga oleh kaum Orang Tua yang tanpa sadar menjadi produsen data mentah.
Alat produksi Marhaen telah bergeser dari cangkul atau alat jahit menjadi gawai pintar, namun kendali atas alat tersebut, termasuk data dan algoritma, sepenuhnya dikuasai oleh segelintir perusahaan teknologi global.
Jika dikontekstualisasikan pada era digital, para content creator dapat dipandang sebagai “Marhaen digital”. Mereka memiliki alat produksi seperti Handphone, kamera, komputer, dan ide kreatif, tetapi tetap bergantung pada algoritma, sistem monetisasi, serta aturan yang ditentukan oleh pemilik platform seperti media social facebook, atau Instagram.
Dengan demikian, posisi mereka mirip dengan petani kecil pada masa kolonial: bekerja keras di tanah milik orang lain (platform digital), sementara hasil panennya ditentukan oleh “tuan tanah digital” (korporasi global), sehingga hampir semua Conten creator saat ini tidak dibayar, mereka hanya di iming-imingkan oleh surat pemberitahuan dari Platfrom global untuk mempengaruhi psikologis mereka untuk lebih giat lagi dalam membuat Conten-conten Terbaru
Secara tidak sadar Mereka terjebak dalam siklus produksi konten yang dikendalikan oleh platform global (Kapitalisme), tanpa perlindungan, tanpa kendali atas alat produksinya, dan tanpa kesadaran bahwa mereka sedang dieksploitasi. Mereka secara sukarela mendedikasikan waktu, kreativitas, energi mereka demi membuat konten yang pada akhirnya membuat keuntungan bagi Raksasa teknologi sendiri. Sebagaimana Soekarno mengkritik dalam Di Bawah Bendera Revolusi:
“Selama alat-alat produksi dikuasai oleh segelintir orang, maka rakyat tetap akan diperbudak, meskipun mereka tampak bekerja untuk dirinya sendiri.”
(Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, hal. 104).
Sangat Ironis, sistem ini masuk dengan gaya cantik, memberikan ilusi kebebasan. Kita merasa “Bebas” mengekspresikan diri di media sosial, “Mandiri” mencari nafkah melalui aplikasi, atau “Berdaya” dengan akses informasi tanpa batas sehingga menjadi Candu. Namun di balik layar, setiap Like, setiap unggahan, dan setiap interaksi adalah komoditas yang dijual ke pasar iklan global. Rakyat digital sang Marhaen baru (Conten Creator) telah kehilangan kendali atas alat produksinya: bukan lagi cangkul dan tanah, melainkan data, jaringan, Kreatifitas, bahkan waktunya. Inilah bentuk modern dari perbudakan digital, di mana manusia menjadi sumber energi algoritmik yang terus memberi makan pada kapitalisme.
Tentu Marhaenisme disini telah menemukan relevansinya kembali, Soekarno mengajarkan betapa pentingnya kesadaran Kritis terhadap algoritma dan informasi menjadi bentuk baru dari pembebasan mental, sebagaimana Soekarno menyerukan pembebasan dari “penjajahan pikiran”. jadi Marhaenisme bukan sekadar konsep kuno yang terikat pada konteks pasca-kolonial, ia adalah sebuah metode kritik yang relevan secara abadi. Baik itu eksploitasi tanah di era feodal, eksploitasi upah di era kapitalis, maupun eksploitasi data dan tenaga kerja platform di era digital, benang merahnya tetap sama yaitu penindasan rakyat kecil (Marhaen/creator) demi akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit.
Dalam Lensa Marhaenisme kita telah melihat betapa pentingnya kesadaran kelas dan kemandirian dalam menguasai alat produksi. dalam konteks digital, Generasi Emas 2045 hanya dapat terwujud jika masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi pengguna atau pekerja digital, tetapi juga penguasa teknologi. Ini berarti membangun platform lokal, memperkuat literasi digital kritis, dan menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya dalam aspek politik, tetapi juga dalam ekonomi dan teknologi.
Penutup: Membangun Kesadaran Kritis untuk Emansipasi Digital
Marhaenisme disini bukan sekadar mengkritik sistem saja, tetapi juga menyerukan pentingnya “kesadaran kelas dan perjuangan kolektif” untuk membebaskan manusia dari penindasan ekonomi. Jika mimpi Generasi Emas ingin benar-benar terwujud, maka emansipasi digital menjadi syarat mutlak: generasi muda harus menyadari posisinya dalam struktur produksi kapitalistik modern.
Ini tidak berarti menolak teknologi, tetapi merebut kembali kedaulatan atas teknologi: menciptakan platform lokal yang adil, membangun ekosistem digital yang berbasis nilai, dan memperkuat pendidikan kritis agar generasi muda tidak menjadi budak algoritma. Tanpa kesadaran ini, Generasi Emas hanya akan menjadi proletariat digital dalam sistem yang mereka tidak miliki. Maka, pertanyaan penting yang harus diajukan bukan hanya “siapa yang membuat konten?”, tetapi “siapa yang memiliki alat produksi konten itu?”.
Karena, seperti yang Bung karno sampaikan lewat Pidatonya 17 Agustus 1964: “Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa Exploitation de I’homme par I’homme and “exploitation de nation par nation’’ yang artinya “Revolusi Indonesia bertujuan menciptakan dunia yang bebas dari Penghisapan Manusia atas Manusia dan penindasan bangsa diatas bangsa.”
Paradoks Generasi Emas ada di depan mata. Indonesia bermimpi menjadi negara maju dengan kekuatan generasi mudanya, tapi tidak menyadari bahwa generasi itu sedang dikendalikan oleh kekuatan luar yang menjajah secara kultural, politik, ekonomi, dan pendidikan. Kita tengah menghadapi penjajahan gaya baru bukan oleh senjata, tetapi oleh sistem yang merampas waktu, perhatian, dan kesadaran anak muda melalui layar-layar mereka sendiri.
Kemajuan teknologi digital yang diharapkan menjadi pendorong utama bagi terwujudnya Generasi Emas 2045 ternyata menyimpan potensi kontradiksi. Di satu sisi, dunia digital membuka ruang bagi kreativitas dan mobilitas sosial baru, namun di sisi lain, ia juga menciptakan bentuk baru dari feodalisme ekonomi melalui ketimpangan kepemilikan dan kekuasaan digital. Dalam perspektif Marhaenisme dan Marxisme, fenomena content creator economy bukan hanya fenomena ekonomi kreatif, tetapi juga refleksi dari struktur kelas yang terus bereproduksi dalam wajah modern.
Oleh karena itu, langkah menuju Generasi Emas yang sejati harus disertai dengan pembebasan struktural: menguasai alat produksi digital, membangun kemandirian teknologi nasional, dan menanamkan kesadaran kritis agar generasi muda tidak sekadar menjadi konsumen digital, tetapi juga pencipta dan penguasa atas dunianya sendiri. Hanya dengan kesadaran tersebut, cita-cita Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur dapat terwujud secara nyata.
Daftar Referensi:
Dibawah Bendera Revolusi – Jakarta: Panitia Penerbit DBR, 1964.
Pokok – Pokok Ajaran Marhaenisme menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media Pressindo, 2008.
https://www.idn.media/news/397/membaca-masa-depan-creator-economy-di-indonesia.***
Penulis : Hendra Sulo, Sekertaris Bid. Polhukam DPC GMNI Kota Sorong.