Banyak kalangan dari kaum Nasionalis menilai bahwa transisi kepemimpinan kali ini punya dimensi berbeda dari Pemilu langsung yang telah dilaksanakan sejak 2009. Kebangkitan kekuatan Neo Orba sebagian besar didefinisikan berada dalam salah satu Paslon Pilpres nomer urut 02. Sebagian kecil lain berada di dalam paslon 01 yang menempatkan Nasdem sebagai inisiator koalisi dan melahirkan paslon Anies Cak Imin.
Dalam koalisi paslon 03 relatif sedikit, hanya menyisakan partai gurem Perindo, Hanura. Sementara PPP dan PDI Perjuangan yang berkoalisi sejak era reformasi, menjadi representasi perlawanan menumbangkan 32 tahun rezim Soeharto.
Partai Golkar sebagai partai politik pewaris ideologi Orde Baru, kini berusia 25 tahun usai reformasi 98 sudah beranak cucu. Beberapa keranjang berisi telur ideologi liberalisme ala Soeharto sudah lama menetas, dan tumbuh menjadi partai politik baru dengan genre yang tidak berbeda.
Sebut saja Partai Nasdem, Gerindra, Demokrat, PAN, Hanura ber-DNA Golkar sebagaimana para pendiri, para elit hingga ketua umumnya pernah berada dalam satu ceruk partai berlambang pohon beringin.
Mereka masih bertahan mengelola negara dengan visi liberalisme yang cernderung menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas, bukan sebagai asset. Kran investasi dan pasar bebas menjadi skema pembangunan ekonomi yang bergerak cepat, namun rapuh dalam hal kedaulatan.
Konsep liberalism memungkinkan pemodal kuat memonopoli pengelolaan sumber daya alam untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Jika harus berbagi kepada pemerintah, jumlahnya tidak akan lebih besar dari keuntungan pemodal besar (kapitalis) yang menyerbu melalui fasilitas kebijakan UU Omnibuslaw dan UU Minerba. Aturan yang lebih berpihak kepada investor dibuat oleh mereka-mereka yang dekat dengan investor, bukan yang dekat rakyat.
Politik dan ekonomi liberal tidak akan pernah jauh dari kaum kapitalis. Dan kapitalisme adalah anak kandung dari kolonialisme. Menguasai suatu wilayah untuk dijadikan jajahan ekonomi. Inilah rapuhnya sebuah kedaulatan, menjadi sisi lain yang tidak pernah bisa diukur dari tingginya neraca devisa, rasio PDB, surplus perdagangan. Bagaimana sebagai bangsa punya kedaulatan ketika ijin pengelolaan SDA dilegalkan untuk pihak asing dengan alasan keterbatasan kemampuan kita mengelolanya sendiri? Bagaimana bangsa bisa mandiri ketika teknologi masih didominasi dan dimonopoli para pemilik modal?
Ekonomi bangsa di tangan pengelolaan kaum liberal selalu melahirkan persoalan keadilan dan pemerataan yang selalu timpang. Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, Nasdem nampaknya sudah sepakat melanjutkan ideologi Neolib dengan mengatasnamakan investasi. Banjir infrastruktur yang dibangun menjadi gula-gula pemerataan pembangunan pada akhirnya untuk kepentingan investor juga. Bansos, BLT dan aneka subsidi yang seolah-olah sangat bermanfaat, justru membungkam secara sistemik rakyat yang gelisah menjadi diam. Jika masih berisik tinggal tambah makan siang dan susu gratis, menjadi nina bobo yang paling sopan.
Bahwa kemiskinan tidak akan pernah bisa dientaskan dengan aneka jenis bansos dan subsidi. Sementara serangan pasar bebas pada akhirnya melahirkan ego konsumtif. Yang terjadi bansos berapapun akan habis dibelanjakan untuk apa yang diinginkan, bukan untuk apa yang dibutuhkan.
Pemilu serentak 2024 yang sekaligus menjadi masa transisi kepemimpinan menawarkan beberapa pilihan. Jokowi yang menyimpan tongkat estafet berada di belakang Prabowo yang sedang beradu retorika dengan Ganjar dan Anies untuk mendapatkan simpati masyarakat. Kepada siapa Jokowi akan menyerahkan tongkat estafet, di atas kertas lebih mempercayakan kepada Prabowo dengan dukungan koalisi neolib di belakangnya.
Masih berpeluangkah Ganjar merebut tongkat estafet dari tangan Jokowi sebelum direbut paksa oleh Prabowo? Seberapa tipis peluangnya, Ganjar punya kewajiban untuk merebutnya. Ganjar itu Marhaenis tulen, bukan kaleng-kaleng. Dia yang selama ini paling dekat mendengarkan suara keluhan petani, nelayan, pedagang kecil, pengangguran hingga warga pra sejahtera yang selama ini tidak mendapatkan akses keadilan dari negara. Merekalah para marhaen marhaen yang harus diperjuangkan dalam filosofi amanat perjuangan Bung Karno.
Inilah saat marhaenis-marhaenis selain Ganjar yang selama ini masih diam untuk bangkit dan bergegas.
Para Neolib, Kapitalis dan kolonialis yang menjadi musuh abadi kaum marhaen dan marhaenis sudah terang-terangan berkacak pinggang di depan mata.
Negara memanggil dalam momentum suksesi kepemimpinan.
Nasionalisme kita sedang dipertaruhkan untuk puluhan tahun ke depan
Dan marhaen dengan ketidak-berdayaannya akan terus dieksploitasi oleh mereka yang tidak pernah sepakat dengan kemandirian yang sebenar-benarnya mandiri.
Bung Karno hanya besar dalam bentuk patung monument berikut catatan sejarah, namun tidak dengan ajarannya
Jika kita diam, Indonesia habis!!!**
Penulis: Dahono Prasetyo.