Marhaenist.id – Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, khususnya di sektor pertambangan, terus menjadi sorotan publik. Meskipun Indonesia memiliki potensi SDA yang melimpah, seperti batu bara dengan estimasi produksi mencapai 900 juta ton pada tahun 2024. Praktik korupsi, ketidakadilan, dan tata kelola yang buruk menghambat peningkatan kesejahteraan rakyat.
Ahli Hukum Pertambangan, Bisman Bahkti menyatakan Korupsi di sektor tambang telah menyebabkan ketidakadilan dalam pembagian keuntungan. Alih-alih digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keuntungan dari eksploitasi SDA seringkali hanya dinikmati oleh segelintir pihak. Mereka memiliki akses tanpa melalui proses yang transparan. Hal ini menciptakan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Masyarakat luas tidak merasakan manfaat dari kekayaan alam. Padahal, kekayaan alam seharusnya menjadi hak mereka.
Dalam aspek formil, banyak pengelola tambang yang tidak memenuhi persyaratan perizinan dan regulasi. Sementara dari sisi materil, praktik pemberian izin tanpa lelang yang transparan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan monopoli. BUMN, BUMD, ormas, bahkan perguruan tinggi, seringkali mendapatkan akses tanpa proses yang adil. Kapasitas mereka dalam mengelola tambang juga patut dipertanyakan.
Pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi menjadi isu kontroversial. Kampus seharusnya fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan, bukan terjun ke sektor bisnis yang memerlukan modal besar dan kemampuan teknis khusus. Banyak kampus tidak memiliki kompetensi dalam mengelola tambang. Proyek ini seringkali hanya menguntungkan perguruan tinggi besar. Kampus kecil tidak mendapatkan kesempatan yang sama.
Usaha kecil di sektor pertambangan seringkali tidak memiliki modal yang cukup untuk mengelola tambang secara berkelanjutan. Hal ini membuka potensi klaim palsu. Perusahaan-perusahaan kecil mungkin mengaku sebagai pengelola tambang. Namun, mereka tidak memiliki sumber daya yang memadai.
Pemerintah harus memperbaiki tata kelola sektor tambang. Ini harus dilakukan dengan memastikan transparansi dan akuntabilitas. Perguruan tinggi atau sektor lain yang tidak berkompeten tidak perlu dilibatkan. Dana dari sektor pertambangan seharusnya dialokasikan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi ini untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu, dana juga untuk pendidikan dan sektor lainnya yang lebih membutuhkan.
Div Kampanye Jatam Nasional, Alfarhat Kasman,menyoroti maraknya pemberian izin usaha pertambangan (IUP) yang mencapai 7.000 izin dengan total lahan konsesi 10 juta hektare, sebagian besar untuk pertambangan batu bara.
Kebijakan hilirisasi nikel sebagai bahan dasar kendaraan listrik juga dikritik. Cadangan nikel Indonesia hanya sekitar 5% dari total global. Karena itu, manfaatnya terbatas. Ia menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi dan ekspansi tambang tidak mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat lokal. Tambang nikel, misalnya, memiliki daya rusak besar yang dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar.
Pemerintah dinilai tidak peduli terhadap warga yang terdampak, termasuk pencemaran lingkungan dan konflik sosial. Ia melanjutkan bahwa upaya revisi regulasi yang dianggap tidak mendesak dan berisiko membawa malapetaka besar.
Kasus di Kalimantan Timur menjadi bukti nyata dampak buruk pertambangan yang tidak terkelola dengan baik, dengan 80.000 lubang tambang dan 173 korban jiwa akibat tenggelam di bekas galian tambang.
Direktur Eksekutif IEDS menyampaikan Minimnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan SDA menjadi masalah serius. Kebijakan seperti revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) tidak memiliki urgensi. Kebijakan ini hanya menguntungkan kepentingan politik dan ekonomi tertentu.
Pemberian IUP kepada ormas keagamaan dan kampus juga dikritik sebagai upaya politisasi SDA untuk meredam kritik terhadap pemerintah. Memberikan IUP kepada kampus berpotensi menciptakan berbagai masalah, seperti komersialisasi pendidikan, jual beli IUP, konflik kepentingan, dan kerusakan lingkungan.
Kampus seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyuarakan keberlanjutan lingkungan, bukan terlibat dalam eksploitasi SDA. Pemerintah harus lebih transparan dan melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakan terkait pengelolaan SDA.
Kebijakan yang dibuat harus mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan hanya kepentingan elite politik dan oligarki. Masyarakat harus terus mengawal kebijakan pemerintah untuk memastikan bahwa SDA benar-benar dikelola untuk kepentingan bersama.
Pernyataan sikap GMNI Cabang Se-Jakarta terhadap REVISI UU MINERBA
1. GMNI Jakarta menolak Revisi UU MINERBA yang hanya menjadi karpat merah untuk oligarki.
2. Mengutuk keras pemberian IUP bagi Perguruan Tinggi.
3. Revisi UU Minerba membuat korupsi makin merajalela
4. Adili Jokowi sebagai dalang dari semua kebijakan yang menyengsarakan rakyat
Berikut adalah perbaikan dan penyempurnaan dari pernyataan sikap GMNI Cabang Se-Jakarta terhadap Revisi UU MINERBA:
5. Penolakan terhadap Revisi UU MINERBA yang Menguntungkan Oligarki
GMNI Cabang Se-Jakarta menolak tegas Revisi UU MINERBA. Mereka menilai revisi ini hanya menjadi alat legitimasi bagi kepentingan oligarki. GMNI merasa revisi ini mengabaikan kesejahteraan rakyat. Revisi ini dianggap tidak berpihak pada kepentingan nasional, melainkan hanya memperkaya segelintir kelompok pemodal.
6. Penolakan terhadap Pemberian IUP bagi Perguruan Tinggi, GMNI Cabang Se-Jakarta mengutuk keras pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Perguruan Tinggi. Kebijakan ini dinilai sebagai bentuk komersialisasi pendidikan yang bertentangan dengan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi dan berpotensi merusak tatanan akademik.
7. Potensi Meningkatnya Korupsi
Revisi UU MINERBA dianggap akan membuka ruang lebih besar. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di sektor pertambangan berpotensi meningkat. GMNI Cabang Se-Jakarta memperingatkan bahwa revisi ini dapat memperburuk tata kelola sumber daya alam dan merugikan negara.
8. Tuntutan Pertanggungjawaban Kebijakan, GMNI Cabang Se-Jakarta menuntut pertanggungjawaban Presiden Joko Widodo. Beliau adalah pemegang kebijakan tertinggi. Presiden dinilai telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Salah satu contohnya adalah Revisi UU MINERBA. Kami mendesak adanya proses hukum yang transparan dan adil terhadap semua pihak yang terlibat dalam kebijakan yang merugikan rakyat.
Dengan demikian, GMNI Cabang Se-Jakarta mendesak pemerintah untuk mencabut Revisi UU MINERBA. Kami juga meminta agar kebijakan yang berpihak pada kedaulatan rakyat diutamakan. Selain itu, keberlanjutan sumber daya alam Indonesia harus menjadi perhatian utama.***
Penulis: DPC GMNI Se-Jakarta.