Marhaenist.id – Sejak awal kemerdekaan, upaya meningkatkan kesadaran nasional terus menyebar luas, yang ditandai dengan gerakan mencerdaskan kehidupan berbangsa melalui kelompok-kelompok edukasi politik kepada berbagai lapisan masyarakat oleh para kaum terpelajar. Edukasi politik tersebut dilakukan oleh sebagian besar pemuda karena adanya kesepakatan untuk mendialektikkan gagasan ke dalam wadah legal formal berupa partai politik. Peranan aktivis pemuda dan kaum terpelajar kala itu memiliki pengaruh besar dengan mendominasi ruang-ruang partai politik pada masa awal kemerdekaan. Harapan mereka adalah untuk ikut andil dalam mempengaruhi berbagai kebijakan yang orientasinya bukan hanya mempertahankan wujud negara kesatuan, tetapi juga mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapa wadah politik dibentuk sebagai sarana legal formal sesuai dengan haluan ideologi yang berkembang pada masa itu, di mana nasionalisme, agama, dan sosialisme menjadi pilihan yang paling banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Partai politik dengan haluan ideologi yang berbeda-beda ini tentu memiliki basis massa yang berbeda pula. PNI dengan Marhaenisme dan semangat nasionalismenya mendapatkan tempat yang begitu besar dan keluar sebagai pemenang pada Pemilu 1955. Kemenangan PNI tersebut menjadi bukti bahwa nasionalisme dan Marhaenisme merupakan satu kesatuan semangat juang dan ideologi yang pada masa itu sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Ideologi ini menitikberatkan perjuangan pada kemakmuran masyarakat marhaen (kaum miskin dan tertindas) serta memiliki corak perlawanan terhadap segala bentuk imperialisme dan kolonialisme di Indonesia setelah sepuluh tahun memproklamirkan kemerdekaan.
Partai politik terus berbenah dengan melebarkan sayapnya, ditandai dengan pembentukan struktur partai hingga ke tingkat kecamatan dan desa. Mereka juga melakukan konsolidasi dengan organisasi sosial, organisasi pendidikan, organisasi buruh, dan organisasi mahasiswa yang memiliki visi serta haluan ideologi yang sama dengan partai. Selain itu, kaderisasi ideologi dilakukan terhadap seluruh anggota partai dengan pemahaman dasar mengenai ideologi agar edukasi politik mampu dijalankan oleh setiap kader di tengah masyarakat. Upaya ini bertujuan membangkitkan kesadaran massa akar rumput mengenai pentingnya semangat persatuan dalam membangun negara kesatuan serta melindunginya dari segala bentuk penjajahan. Namun demikian, pertikaian antar elemen akibat pertentangan ideologi terus terjadi, yang akhirnya berdampak pada jalannya pemerintahan dan memunculkan faksi-faksi dalam partai itu sendiri. Hal ini sangat merugikan kelompok ideologi nasionalis, agamis, maupun sosialis. Konflik di antara elite partai juga berdampak pada melemahnya pengkaderan dan terhambatnya pengembangan ideologi kepada massa rakyat, sehingga kekuatan partai terpecah hingga ke daerah. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan (kapitalisme) untuk melancarkan huru-hara politik dengan memunculkan gerakan-gerakan kedaerahan yang sangat primordial, sehingga mengancam kesatuan Indonesia yang telah dirancang oleh para pendiri republik.
Setelah Soeharto diangkat menjadi Presiden melalui Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 dalam Sidang Istimewa pada 22 Februari 1967, pemerintahan Orde Baru menggunakan kekuasaan selama lebih kurang empat tahun untuk membersihkan unsur-unsur yang setia kepada Bung Karno (de-Soekarnoisasi). Puncaknya adalah pelaksanaan Pemilu 1971, yang tidak terlepas dari rekayasa pemerintahan Orde Baru melalui berbagai ketentuan yang menguntungkan Golkar, seperti penggiringan aparatur sipil negara untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar. Mengutip sumber dari buku Gerak Sejarah Partai Banteng, pasca Pemilu 1971, pemerintahan Orde Baru mendesak pimpinan partai politik untuk memfusikan diri dalam tiga kelompok: golongan nasionalis, golongan spiritual, dan golongan kekaryaan. Dengan demikian, sebanyak lima kali pemilu hanya diikuti oleh tiga kekuatan utama: Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai representasi nasionalis, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai representasi spiritual, dan Golongan Karya (Golkar) sebagai golongan kekaryaan. Ketiga partai ini menjadi peserta pemilu pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dominasi kekuasaan Orde Baru sangat tidak menguntungkan bagi partai berhaluan nasionalis dan agama. Pemerintah Orde Baru menggunakan instrumen kekuasaan untuk mengarahkan massa rakyat kepada Golkar. Akibat dari dominasi ini, proses pelebaran sayap partai dan pengkaderan di tingkat akar rumput tidak berjalan signifikan, sehingga partai nasionalis maupun partai agamis tidak pernah keluar sebagai pemenang dalam lima pemilu selama Orde Baru berlangsung.
Seiring dengan krisis moneter 1997-1998 yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru, partai politik mendapatkan kembali peluang untuk berbenah dan menggelorakan kembali semangat juang sebagai corong sekaligus media politik rakyat. Dalam nafas reformasi 1998 dan dengan masuknya trah Bung Karno ke dalam PDI pada awal 1980-an, partai berlambang banteng tersebut berhasil menarik simpati rakyat kecil. Puncaknya, pada Pemilu 1999, PDI-P keluar sebagai pemenang dengan meraih 154 kursi di legislatif, disusul Golkar dengan 120 kursi, dan PPP dengan 58 kursi.
Pada masa reformasi yang berlangsung hingga hari ini, partai politik diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk kembali memperkuat kelembagaan sesuai dengan cita-cita ideologi masing-masing. Partai diberikan kebebasan untuk mengusung ideologi dan memperluas struktur hingga ke tingkat desa. Penguatan tersebut menjadi spirit baru dalam menyerap aspirasi rakyat serta menjadi media politik yang menerjemahkan kepentingan masyarakat, khususnya kelompok akar rumput, ke dalam kebijakan. Tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di daerah, partai politik harus mampu melakukan kaderisasi struktural kepada setiap kader dan anggota agar mereka memahami tujuan ideologi. Melalui proses ini, diharapkan setiap kader dapat memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Pendidikan politik menjadi elemen penting dalam mensintesiskan ideologi partai dengan kondisi sosial di setiap daerah (local wisdom), serta sebagai sarana untuk membangun kekuatan massa (machtsvorming), yang kemudian dapat diterapkan dalam agenda-agenda politik (machtsaanwending). Dengan demikian, kebijakan partai yang seyogianya bersumber dari rakyat dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan politik yang lebih konkret.
Fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa beberapa partai politik di Indonesia cenderung merekrut kader secara instan tanpa mempertimbangkan aspek kualitatif. Hal ini membuka peluang bagi individu yang memiliki modal finansial untuk ikut berkontestasi dalam politik tanpa memahami atau mendalami jalannya pemerintahan dan cita-cita ideologi partai. Akibatnya, banyak partai di daerah hanya menjadi sarana bagi individu-individu bermodal besar untuk mendapatkan kursi legislatif, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Ketidaksiapan kader dalam memahami politik menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam penerjemahan produk hukum serta arah pembangunan daerah. Sistem pemilu proporsional terbuka yang cenderung memberikan peluang individualistik juga menyebabkan pengkaderan dan pendidikan politik dianggap tidak lagi penting oleh sebagian partai. Akibatnya, banyak anggota legislatif maupun eksekutif tidak memahami ideologi partai, yang berdampak pada kebijakan-kebijakan yang justru merugikan daerah dan masyarakat yang masih termarjinalkan.
Oleh karena itu, partai sebagai corong dan media politik rakyat harus kembali mengutamakan pendidikan politik bagi kader dan masyarakat agar dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Pada masa reformasi yang berlangsung hingga hari ini, partai politik diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk kembali memperkuat kelembagaan sesuai dengan cita-cita ideologi masing-masing. Partai diberikan kebebasan untuk mengusung ideologi dan memperluas struktur hingga ke tingkat desa. Dengan menegakkan kembali prinsip keadilan sosial dalam setiap kebijakan dan agenda politik, partai dapat memastikan bahwa kepentingan masyarakat, terutama yang berada dalam kondisi marginal, dapat terakomodasi secara maksimal. Dengan demikian, partai politik bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan juga instrumen untuk menegakkan social justice bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Rudi, S.I.KOM ( Alumni GmnI, Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Meranti 2020-2025, Kepala BSPN Cabang PDI Perjuangan Meranti 2020-2025, Ketua DPD KNPI Meranti 2020-2025 ).