Marhaenist.id, Jaksel – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan (Jaksel) mengirim surat penolakan terhadap rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto di sejumlah lembaga pemerintahan, pada Kamis (5/6/2025).
Adapun lembaga pemerintahan tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI), Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Kata Ketua DPC GMNI Jaksel Dendy, penganugrahan gelar tersebut sangat bertentangan dengan semangat Pacasila karena mantan Presiden Soeharto dalam menjabat selalu menggunakan kekerasan yang terselubung untuk membungkam krtik yang bertentangan dengan Pancasila sila ke 2 dan selalu mencari keuntungan semata yang membuatnya dan koroninya kaya raya sehingga ketimpangan sosial terjadi yang bertentangan dengan sila ke 5.
“Gelar tersebut bertentangan dengan semangat Pancasila—khususnya sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), sila ke-5 (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia), dan cita-cita kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang diperjuangkan dengan darah rakyat,” kata Dendy dalam keterangannya, Kamis (5/6/2025).
Berikut alasan GMNI Jaksel menolak pemberian gelar pahlawan pada soeharto, diantanya:
– Soeharto melakukan Pengkhianatan terhadap Pancasila
1. Kemanusiaan yang Terinjak Rezim Orde Baru di bawah Soeharto mencatatkan sejarah kelam pelanggaran HAM: pembungkaman demokrasi, penculikan aktivis (Tragedi 1998), pembantaian tanpa pengadilan (Peristiwa 1965-1966), serta eksploitasi buruh dan petani. Gelar pahlawan akan menguburkan keadilan bagi korban dan mengingkari sila ke-2 Pancasila.
2. Keadilan Sosial yang Dikorbankan Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto membangun sistem ekonomi kapitalisme kroni melalui KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Kekayaan negara dikonsentrasikan pada segelintir elite, sementara rakyat terjebak dalam kemiskinan struktural—bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila.
3. Persatuan Indonesia yang Dipaksa Stabilitas Orde Baru dibangun di atas represi: kebebasan berserikat dibungkam, oposisi dihancurkan, dan kebhinekaan direduksi menjadi seragamitas. Pancasila dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai fondasi kehidupan berbangsa yang inklusif (sila ke-3).
– Pancasila 1 Juni 1945: Melawan Amnesia Sejarah
Pada pidato 1 Juni 1945, Bung Karno menegaskan: ”Pancasila bukanlah alat kekuasaan, melainkan jiwa bangsa yang merdeka, adil, dan berdaulat.”
Maka dari itu pula, GMNI Jaksel menilai pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sama dengan mengkhianati semangat tersebut, karena:
– Mengabsahkan otoritarianisme sebagai “jasa” kepada bangsa.
– Menghapus tanggung jawab sejarah atas kejahatan sistematis yang dilakukan rezimnya.
– Mengorbankan generasi muda yang berhak mengetahui sejarah bangsa secara objektif.
Berikut isi tuntutan GMNI Jaksel yang tertuang dalam surat penolakan tersebu, diantaranya:
1. Batalkan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
2. Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran Sebagai Rezim KKN dan Pengkhianat Pancasila dan Konstitusi
3. Prioritaskan rehabilitasi korban pelanggaran HAM Orde Baru sebagai bentuk penebusan dosa sejarah.
4. Perkuat pendidikan sejarah kritis yang mengajarkan Pancasila sebagai etika politik, bukan alat represi.
“Jika tuntutan ini diabaikan, kami akan menganggap sebagai: Pengkhianatan terhadap Pancasila dan konstitusi oleh rezim saat ini. Legitimasi baru bagi oligarki yang ingin mengulang kekuasaan otoriter. Serta potong satu generasi! antara rakyat dan negara yang seharusnya berdiri di atas dasar Pancasila 1 Juni,” tandas Dendy.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.