MARHAENIST – Sukarno membayangkan perjuangan paling bermanfaat bagi umat Islam adalah perjuangan menentang kekolotan.
Menurutnya, seandainya Islam bisa mengalahkan kekolotan itu, barulah Islam bisa berlari mengejar ketertinggalannya.
Sukarno mempersoalkan, kenapa umat mesti kembali ke zaman ‘kebesaran’ Islam yang dulu-dulu bahkan jika itu merujuk pada era para ulilamri.
Meski dianggap sebagai zaman keemasan, tindakan-tindakan ulilamri itu tidak boleh menjadi hukum yang tak bisa diubah atau ditambah lagi.
Zaman itu hanya boleh dipandang sebagai tingkat-tingkat perjalanan sejarah, merely as historic degrees.
“Masyarakat toh bukan satu gerobak yang boleh kita ‘kembalikan’ semau-mau kita? Masyarakat minta maju, maju ke depan, maju ke muka, maju ke tingkat yang ‘kemudian’ dan tak mau disuruh ‘kembali’?” tulis Bung Karno dari Ende kepada T.A. Hassan dalam suratnya yang tertanggal 22 Februari 1936.
Dalam surat itu Sukarno juga menyitir ucapan Kemal Ataturk yang menyebut, “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari dalam masjid memutar tasbih, tetapi Islam ialah perjuangan.”
Selaras dengan Ataturk, Bung Karno menganggap bahwa Islam is progress. Islam itu Kemajuan.
“Bilakah kita punya penganjur-penganjur Islam mengerti falsafahnya historic degrees ini, membangunkan kecintaan membunuh segala ‘semangat kurma’ dan ‘semangat sorgan’ yang mengikat Islam kepada zaman kuno ratusan tahun yang lalu,” tulis Sukarno.
Keluhan Sukarno dalam surat kepada sahabatnya bermula dari kedatangan seorang guru pesantren dari Jakarta yang berpaham kolot di Ende. Selain dia, seorang lagi kebetulan berasal dari golongan muda.
Kedua orang itu sepanjang keberadaannya di Ende hampir setiap malam datang ke rumah Sukarno dan saling berdebat satu sama lain tentang Islam. Jika keduanya sudah berdebat, menurut Sukarno, suhu di Ende naik hingga 100 derajat.
Menjaga agar jangan sampai udara itu terbakar sama sekali. Mereka berdua meminta Sukarno menjadi hakim. “Saya tertawa saja, senang dapat melihat orang dari ‘dunia ramai’!” tulis Sukarno.
Berhadapan dengan buangan politik, kawan muda dari Banyuwangi akhirnya bertanya, “bagaimana siasatnya supaya zaman kemegahan Islam yang dulu-dulu itu bisa kembali? Saya punya jawab ada singkat, “Islam harus berani mengejar zaman,” tulis Sukarno.
Berikut kutipan lengkap surat dari Sukarno kepada sahabatnya itu;
Ende, 22 Februari 1936
Assalamualaikum,
Belum juga saya tulis artikel tentang nomor ekstra taklid sebagaimana yang saya janjikan karena ‘mereportir’ sekolahnya saya punya anak. Selain itu, di Ende ada datang seorang guru pesantren dari Jakarta golongan kolot dan kebetulan juga seorang lagi golongan muda dari Banyuwangi.
Jadi, walaupun mereka itu dua-duanya datang di Ende buat dagang, toh saban malam bertamu ke rumah saya. Sampai jauh malam mereka soal-bersoal satu sama lain dan kadang-kadang udara di Ende menjadi naik temperaturnya hingga hampir 100 derajat! Saya tertawa saja, senang dapat melihat orang dari ‘dunia ramai’!
Hanya menjaga agar jangan sampai udara itu terbakar sama sekali. Dan saya diminta menjadi hakim. Tak usah saya katakana pada Tuan, bahwa kehakiman saya itu, sering membikin tercengangnya itu guru pesantren, padahal seadil-adilnya menurut hukum!
Karena berhadapan dengan interniran politik, kawan muda itu bertanya, “bagaimana siasatnya supaya zaman kemegahan Islam yang dulu-dulu itu bisa kembali?” Saya punya jawab ada singkat, “Islam harus berani mengejar zaman.”
Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat ‘mengejar’ seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam-‘glory’ yang dulu, bukan kepada ‘zama Khalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali.
Kenapa toh kita selamanya dapat ajaran bahwa kita harus mengopi ‘zaman Khalifah; yang dulu-dulu? Sekarang toh tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
Masyarakat toh bukan satu gerobak yang boleh kita ‘kembalikan’ semau-mau kita? Masyarakat minta maju, maju ke depan, maju ke muka, maju ke tingkat yang ‘kemudian’ dan tak mau disuruh ‘kembali’?
Kenapa kita mesti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita bahwa hukum syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunah, dan fardlu? Lupakah bahwa kita masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’?
Alangkah baiknya kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan ‘statemanship’, “boleh berkias, boleh berbidah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh ber-hypermodern, asal tidak nyata dihukum haram dan makruh oleh Allah dan Rasul.”
Adalah stau perjuangan yang paling berfaedah bagi umat Islam, yakni perjuangan menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa berlari secepat kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu.
Perjuangan menghantam ortodoks ke belakang, mengejar zaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Ataturk maksudkan, takkala ia berkata bahwa, “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari dalam masjid memutar tasbih, tetapi Islam ialah perjuangan.”Islam is progress. Islam itu Kemajuan.
Tindakan-tindakan uliamri-ulilamri di zaman Islam glory itu tidaklah dan tidak bolehlah, menjadi hukum bagi umat Islam yang tak boleh diubah atau ditambah lagi, tetapi hanya boleh kita pandang sebagai tingkat-tingkat perjalanan sejarah, ‘merely as historic degrees.’
Bilakah kita punya penganjur-penganjur Islam mengerti falsafahnya historic degrees ini, membangunkan kecintaan membunuh segala ‘semangat kurma’ dan ‘semangat sorgan’ yang mengikat Islam kepada zaman kuno ratusan tahun yang lalu, kecintaan berjuang mengejar zaman, kecintaan berkias, dan berbidah di lapangan dunia sampai ke puncak kemodernan, kecintaan berjuang melawan segala sesuatu yang mau menekan umat Islam ke dalam kenistaan dan kehinaan?
Kabar Ende sehat-walafiat. Bagaimana di sana?
Wassalam
Soekarno