Marhaenist.id – Tuhan tampaknya menciptakan spesies baru manusia: Di Wakanda manusia berseragam dengan bintang dipundak semakin banyak dengan hobi yang sama — menjarah tanah rakyat dan menukar sumpah jabatan dengan kuitansi transaksi gelap. Negeri ini begitu subur, bukan hanya subur tanahnya, tapi subur jenderalnya.
Tak ada negara di planet ini yang memproduksi jenderal sebanyak Wakanda — bahkan mungkin melebihi populasi petani yang diusir dari sawahnya sendiri.
Katanya, setiap tahun, jumlah rakyat miskin menurun di televisi, tapi jumlah jenderal naik drastis di kenyataan. Seragam semakin berkilau, sementara dapur rakyat semakin redup. Bintang-bintang yang dulu dibayangkan sebagai simbol keberanian kini lebih mirip plakat izin menjarah.
Republik Jenderal Tanpa Perang
Negeri ini begitu damai hingga kadang kita lupa bahwa tentara pernah dibentuk untuk berperang melindungi rakyat dan negara. Tapi siapa yang butuh perang kalau menyerbu tanah rakyat jauh lebih menguntungkan?
Perang melawan penjajah sudah selesai puluhan tahun lalu, sementara perang melawan petani penggarap baru saja dimulai. Aparat bersenjata tidak lagi menjaga perbatasan, tapi menjaga pagar proyek tambang dan perkebunan yang dirampas dari warga.
Daripada memukul musuh asing, lebih mudah memukul nenek-nenek yang mempertahankan sawahnya. Lebih gampang menembakkan gas air mata ke demonstran mahasiswa dan buruh serta kampung-kampung daripada ke penyelundup miliaran dolar yang justru duduk di meja makan yang sama.
Jenderal-jenderal Multitalenta
Sulit menemukan jenderal yang tidak punya bisnis. Mungkin itu bakat genetik. Seragam hanyalah sampul; profesi utama mereka adalah mafia tanah yang tersertifikasi negara.
Ketika mereka bosan menjadi penjaga negara, mereka dengan lincah berubah menjadi:
Raja tambang ilegal
Penguasa konsesi hutan
Broker jual beli jabatan
Komisaris segala BUMN
Penyelundup komoditas nasional
Investor perdagangan manusia
Direktur tender pengadaan palsu
Distributor hukum fleksibel—yang bisa disetrika sesuai harga
Dan ketika rakyat bertanya:
“Mengapa kami kehilangan tanah kami?”
Jawabannya sederhana:
Karena tanah itu sudah ditakdirkan jadi milik yang berbintang, bukan yang berkeringat.
Hukum Sebagai Komoditas Grosir
Di negeri ini, hukum bukan lagi alat keadilan, tapi barang dagangan eceran dan grosir. Kita bukan negara hukum, kita negara kasir hukum, di mana keadilan adalah sistem lelang tertutup: siapa bayar paling tinggi, dialah yang menang.
Kalau rakyat kecil mencuri ayam, dia masuk penjara tanpa diskon. Tapi kalau pejabat berseragam mencuri gunung dan sungai, dia diundang ceramah tentang nasionalisme dan integritas.
Ironisnya, setiap skandal besar selalu mendadak hilang, seperti debu yang disapu ke bawah karpet merah. Karpet itu dibentangkan untuk penyambutan bintang baru yang baru saja pensiun untuk mengurus bisnis kecil-kecilan senilai triliunan.
Pahlawan yang Tidak Pernah Ada
Mereka sering bicara soal cinta tanah air.
Dan benar—mereka sangat mencintai tanah air.
Buktinya: tanah air itu mereka miliki hampir seluruhnya.
Rakyat diminta cinta negara, sementara negara tidak pernah mencintai mereka kembali. Setiap tetes keringat petani, nelayan, dan buruh mengalir ke sungai uang yang berhulu di meja makan elit.
Dan setiap kali rakyat protes, label radikal, provokator, dan pengganggu stabilitas otomatis menempel seperti stempel halal di kemasan korporasi.
Negeri ini menjelma menjadi sirkus besar:
Badutnya berdasi,
Ringmaster-nya berseragam,
Penontonnya kelaparan,
Dan singa-singa penjaga kandang sedang makan daging manusia.
Akhirnya, Kita Perlu Mengucap Terima Kasih
Terima kasih kepada semua jenderal yang telah bekerja keras membuktikan bahwa monopoli tanah, tambang, dan hukum tidak butuh penjahat dari luar negeri — karena kita sudah punya versi terbaik buatan sendiri.
Terima kasih karena berkat kalian:
Demokrasi kini hanya dekorasi,
Reformasi hanyalah legenda,
Dan keadilan bukan mimpi — tapi candaan gelap sebelum tidur.
Selamat menikmati negeri yang kaya raya tapi dikuasai oleh kelas pemangsa dengan seragam kebangsaan.
Semoga bintang di pundak tidak berubah menjadi bintang kematian bagi bangsanya sendiri.
Salam hormat dari rakyat kecil, pemilik sah negeri ini yang tidak pernah diizinkan memiliki apa pun.***
Penulis: Firman Tendry Masengi, Advocate, Aktivis 98, Alumni GMNI.