By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Gelar Konfercab Persatuan, Rifki Pratama dan Andi Supriyanto Resmi Pimpin GMNI Bima
Refleksi Hari Jadi Kabupaten Rohul Ke-26 Tahun, GMNI: Momentum Evaluasi Pembangunan dan Penguatan Nasionalisme Kerakyatan
Heri Purnomo Kembali Terpilih Secara Aklamasi sebagai Ketua PA GMNI Kota Bekasi
Erick Thohir dan Serangkaian Keputusan Aneh
Pertumbuhan Ekonomi Yang Menyisakan Luka Sosial dan Ekologis

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Refleksi Perjuangan R.A Kartini: Emansipasi Perempuan dalam Ruang Ketenagakerjaan

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Senin, 21 April 2025 | 15:39 WIB
Bagikan
Waktu Baca 5 Menit
Foto: Azzan Farizi, Wakabid Politik dan Jaringan GMNI Balikpapan/MARHAENIST.
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Emansipasi perempuan bukan lagi wacana baru, tetapi realitas yang masih setengah jalan. Di tengah modernitas dan kemajuan teknologi, ruang kerja di Indonesia masih menjadi cermin ketimpangan gender yang akut. Perempuan bekerja tidak hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga untuk membuktikan bahwa mereka layak mendapat tempat yang setara. Namun, jalan yang mereka tempuh tak pernah mulus—dibentengi oleh dinding patriarki dan dililit rantai feodalisme sosial.

R.A. Kartini adalah simbol awal perlawanan terhadap sistem yang membatasi ruang gerak perempuan. Ia menulis dengan gelisah tentang ketimpangan pendidikan dan peran sosial perempuan. Jika hari ini Kartini bisa melihat bagaimana perempuan menghadapi diskriminasi upah, pelecehan seksual di kantor, hingga beban kerja ganda, barangkali ia akan menulis dengan nada yang jauh lebih murka.

Teori feminisme liberal menekankan kesetaraan akses dan hak yang sama dalam struktur hukum dan lembaga kerja. Namun kenyataannya, menurut data BPS 2023, rata-rata upah perempuan Indonesia masih lebih rendah 22% dibandingkan laki-laki, bahkan untuk posisi dan tanggung jawab yang setara. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal nilai sosial yang ditempelkan secara tidak adil pada tubuh perempuan.

Sistem patriarki merasuk dalam mekanisme kerja sehari-hari: perempuan dianggap lebih cocok di posisi pendukung, bukan pengambil keputusan. Feminisme radikal menyebut bahwa patriarki bukan hanya soal laki-laki mendominasi, tetapi struktur sosial yang sengaja dirancang untuk mempertahankan dominasi itu. Kita melihat ini di perusahaan besar, di mana direksi dan eksekutif perempuan bisa dihitung dengan jari.

Dalam konteks budaya kerja yang feodal, loyalitas sering diukur dari kesediaan lembur, ikut budaya kerja maskulin, dan bahkan meredam suara ketika terjadi ketidakadilan. Bagi banyak perempuan, bersuara berarti dianggap tidak “adaptif” atau “emosional”. Sementara itu, pelecehan seksual di tempat kerja sering diabaikan, atau malah disalahkan pada pakaian dan sikap korban.

Baca Juga:   Konsep “Partai Perorangan” PSI

Feminisme interseksional, yang digagas Kimberlé Crenshaw, memberi kita kacamata bahwa ketidakadilan makin kompleks ketika perempuan juga berasal dari kelas bawah, suku minoritas, atau memiliki disabilitas. Buruh perempuan di pabrik-pabrik garmen, misalnya, menghadapi tekanan kerja berlebih, jam lembur yang tidak dibayar, hingga ruang laktasi yang tak layak—semuanya adalah bentuk ketidakadilan sistemik yang invisibel di mata kebijakan.

Mengkritik ketimpangan ini bukan berarti melawan laki-laki, tetapi melawan sistem yang memelihara ketidakadilan. Sayangnya, ketika perempuan mulai naik ke posisi strategis, mereka kerap disambut dengan keraguan: “Apa dia cukup tegas?”, “Apakah bisa membagi waktu dengan keluarga?” Pertanyaan ini tidak pernah ditujukan pada laki-laki.

Partisipasi perempuan dalam serikat pekerja atau lembaga pengambilan keputusan juga masih rendah. Banyak yang didorong untuk diam, takut dipecat, atau bahkan dinormalisasi oleh sesama pekerja. Kita hidup dalam ruang sosial yang terus mengajarkan perempuan untuk “tahu diri”, “tidak banyak menuntut”, dan “mengutamakan keluarga” meski ia tengah menanggung beban kerja setara atau lebih.

Refleksi perjuangan Kartini harusnya tidak berhenti di sekolah-sekolah dan lomba berkebaya. Ia harus masuk ke ruang HRD, ke dalam draft kebijakan ketenagakerjaan, ke dalam sistem pengaduan yang berpihak pada korban. Kita membutuhkan transformasi struktural, bukan hanya simbolis.

Sudah saatnya kita menagih keberpihakan negara. UU Cipta Kerja yang disebut-sebut berpihak pada buruh, ternyata dalam banyak kasus justru memperparah kerentanan perempuan—jam kerja fleksibel yang tak diatur jelas, hak cuti yang dilucuti, dan status kerja kontrak yang diperpanjang tanpa kepastian.

Kita perlu kebijakan afirmatif dan sistem pengawasan yang adil gender. Bukan karena perempuan “lemah”, tetapi karena sistem selama ini memang tak setara. Kebijakan berbasis gender bukanlah privilese, melainkan koreksi atas ketimpangan historis yang dibentuk oleh feodalisme sosial dan patriarki.

Baca Juga:   Perlu Perubahan Paradigma dan Sistem untuk Pembangunan UMKM dan Koperasi

Kartini tidak hanya bicara tentang perempuan sekolah, ia bicara tentang martabat manusia. Dan martabat tidak bisa dicapai dalam ruang kerja yang membungkam, mengerdilkan, dan memeras perempuan secara sistemik. Kita butuh lebih dari sekadar tokoh simbolik—kita butuh Kartini yang hidup dalam regulasi, di meja rapat, dan di ruang produksi.

Mewujudkan emansipasi perempuan dalam dunia kerja bukan tugas perempuan semata. Ini adalah tanggung jawab bersama. Dan ketika ketidakadilan diabaikan, maka semua pihaklah yang gagal, bukan hanya perempuan yang kalah.***


Penulis: Azzan Farizi, Wakabid Politik dan Jaringan GMNI Balikpapan.

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Gelar Konfercab Persatuan, Rifki Pratama dan Andi Supriyanto Resmi Pimpin GMNI Bima
Senin, 13 Oktober 2025 | 00:21 WIB
Refleksi Hari Jadi Kabupaten Rohul Ke-26 Tahun, GMNI: Momentum Evaluasi Pembangunan dan Penguatan Nasionalisme Kerakyatan
Minggu, 12 Oktober 2025 | 16:32 WIB
Heri Purnomo Kembali Terpilih Secara Aklamasi sebagai Ketua PA GMNI Kota Bekasi
Sabtu, 11 Oktober 2025 | 22:25 WIB
Erick Thohir dan Serangkaian Keputusan Aneh
Sabtu, 11 Oktober 2025 | 21:48 WIB
Pertumbuhan Ekonomi Yang Menyisakan Luka Sosial dan Ekologis
Sabtu, 11 Oktober 2025 | 08:38 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Metodologi KIV: Sebagai Alat Perjuangan GMNI Melawan Tangangan Zaman
Artikel
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Opini

Ijazah yang Cacat, Rekam Akademik yang Tak Lagi Menyelamatkan

Marhaenist.id - Dalam hukum administrasi dan pidana, keaslian sebuah dokumen tidak bergantung…

Kapitalisme

Bantuan Kemiskinan Ekstrem Rp5 Miliar Disalurkan Pemkab Jayawijaya

Marhaenist - Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, Papua sedang menyalurkan Rp5 miliar bantuan kemiskinan…

Kabar GMNIKabar PA GMNIOpini

Surat Cinta untuk Persatuan GMNI dari Riau

Marhaenist.id - Mengawali tulisan ini, terlebih dahulu saya mohon maaf kepada Bung/Serinah…

Internasionale

Jadi PM Baru dan Termuda di Thailand, Ini Rekam Jejak Paetongtarn Shinawatra

Marhaenist.id - Parlemen Thailand telah melakukan pemungutan suara atas pencalonan Paetongtarn Shinawatra, putri…

.
Infokini

Galeri Nasional Bredel Pameran Tunggal Yos Suprapto Saat Pembukaan

Marhaenist.id, Jakarta - Pameran lukisan tunggal karya Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah…

Kabar GMNI

GMNI: Revisi UU Pilkada Inkonstitusional

MARHAENIST - Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menilai revisi UU…

Polithinking

Inilah Sikap Tegas Bung Karno Menolak Berdirinya Negara Israel Diatas Tanah Palestina

Marhenist.id - Dukungan Presiden Republik Indonesia pertama, Ir Soekarno, terhadap kemerdekaan Palestina…

ArtikelStudy Filsafat

Menggali Makna Pemikiran Ki Hadjar Dewantara: “Jadikan Setiap Tempat adalah Sekolah, Jadikanlah Setiap Orang adalah Guru”

Marhaenist.id - Dalam perspektif filsafat, pernyataan Ki Hadjar Dewantara "Jadikanlah Setiap Tempat…

Kabar GMNI

Prihatin Dengan Kondisi Demokrasi, Keluarga Besar GMNI Kritisi Intervensi Presiden Jokowi di Pemilu 2024 Lewat Manifesto Politik

Marhaenist.id, Jakarta - Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) membacakan Manivesto…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?