By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar Alumni GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Pulau Buru dan Pengarahan Tenaga Kerja Tapol
Ironi di Kawasan HTI RAPP: GMNI Temukan Sekolah Beralas Pasir dan Lansia Terabaikan Fasilitas Kesehatan di Kampar Kiri
Beredar Akun Facebook Palsu Atas Nama Dirinya, Karyono Wibowo: Ada Orang yang tidak Bertanggungjawab – Mohon Abaikan
Andai Bank BRI Jadi Bank Koperasi Seperti Desjardins Bank
Diskusi Publik Persatuan Alumni GMNI Jakarta, Anies Baswedan Tekankan Ekonomi Berkeadilan

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar Alumni GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.
Opini

Refleksi Perjuangan R.A Kartini: Emansipasi Perempuan dalam Ruang Ketenagakerjaan

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Senin, 21 April 2025 | 15:39 WIB
Bagikan
Waktu Baca 5 Menit
Foto: Azzan Farizi, Wakabid Politik dan Jaringan GMNI Balikpapan/MARHAENIST.
Bagikan

Marhaenist.id – Emansipasi perempuan bukan lagi wacana baru, tetapi realitas yang masih setengah jalan. Di tengah modernitas dan kemajuan teknologi, ruang kerja di Indonesia masih menjadi cermin ketimpangan gender yang akut. Perempuan bekerja tidak hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga untuk membuktikan bahwa mereka layak mendapat tempat yang setara. Namun, jalan yang mereka tempuh tak pernah mulus—dibentengi oleh dinding patriarki dan dililit rantai feodalisme sosial.

R.A. Kartini adalah simbol awal perlawanan terhadap sistem yang membatasi ruang gerak perempuan. Ia menulis dengan gelisah tentang ketimpangan pendidikan dan peran sosial perempuan. Jika hari ini Kartini bisa melihat bagaimana perempuan menghadapi diskriminasi upah, pelecehan seksual di kantor, hingga beban kerja ganda, barangkali ia akan menulis dengan nada yang jauh lebih murka.

Teori feminisme liberal menekankan kesetaraan akses dan hak yang sama dalam struktur hukum dan lembaga kerja. Namun kenyataannya, menurut data BPS 2023, rata-rata upah perempuan Indonesia masih lebih rendah 22% dibandingkan laki-laki, bahkan untuk posisi dan tanggung jawab yang setara. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal nilai sosial yang ditempelkan secara tidak adil pada tubuh perempuan.

Sistem patriarki merasuk dalam mekanisme kerja sehari-hari: perempuan dianggap lebih cocok di posisi pendukung, bukan pengambil keputusan. Feminisme radikal menyebut bahwa patriarki bukan hanya soal laki-laki mendominasi, tetapi struktur sosial yang sengaja dirancang untuk mempertahankan dominasi itu. Kita melihat ini di perusahaan besar, di mana direksi dan eksekutif perempuan bisa dihitung dengan jari.

Dalam konteks budaya kerja yang feodal, loyalitas sering diukur dari kesediaan lembur, ikut budaya kerja maskulin, dan bahkan meredam suara ketika terjadi ketidakadilan. Bagi banyak perempuan, bersuara berarti dianggap tidak “adaptif” atau “emosional”. Sementara itu, pelecehan seksual di tempat kerja sering diabaikan, atau malah disalahkan pada pakaian dan sikap korban.

Baca Juga:   Sudah Sejahterakah Buruh Hari Ini? Telaah Kritis Melalui Perspektif Marxis

Feminisme interseksional, yang digagas Kimberlé Crenshaw, memberi kita kacamata bahwa ketidakadilan makin kompleks ketika perempuan juga berasal dari kelas bawah, suku minoritas, atau memiliki disabilitas. Buruh perempuan di pabrik-pabrik garmen, misalnya, menghadapi tekanan kerja berlebih, jam lembur yang tidak dibayar, hingga ruang laktasi yang tak layak—semuanya adalah bentuk ketidakadilan sistemik yang invisibel di mata kebijakan.

Mengkritik ketimpangan ini bukan berarti melawan laki-laki, tetapi melawan sistem yang memelihara ketidakadilan. Sayangnya, ketika perempuan mulai naik ke posisi strategis, mereka kerap disambut dengan keraguan: “Apa dia cukup tegas?”, “Apakah bisa membagi waktu dengan keluarga?” Pertanyaan ini tidak pernah ditujukan pada laki-laki.

Partisipasi perempuan dalam serikat pekerja atau lembaga pengambilan keputusan juga masih rendah. Banyak yang didorong untuk diam, takut dipecat, atau bahkan dinormalisasi oleh sesama pekerja. Kita hidup dalam ruang sosial yang terus mengajarkan perempuan untuk “tahu diri”, “tidak banyak menuntut”, dan “mengutamakan keluarga” meski ia tengah menanggung beban kerja setara atau lebih.

Refleksi perjuangan Kartini harusnya tidak berhenti di sekolah-sekolah dan lomba berkebaya. Ia harus masuk ke ruang HRD, ke dalam draft kebijakan ketenagakerjaan, ke dalam sistem pengaduan yang berpihak pada korban. Kita membutuhkan transformasi struktural, bukan hanya simbolis.

Sudah saatnya kita menagih keberpihakan negara. UU Cipta Kerja yang disebut-sebut berpihak pada buruh, ternyata dalam banyak kasus justru memperparah kerentanan perempuan—jam kerja fleksibel yang tak diatur jelas, hak cuti yang dilucuti, dan status kerja kontrak yang diperpanjang tanpa kepastian.

Kita perlu kebijakan afirmatif dan sistem pengawasan yang adil gender. Bukan karena perempuan “lemah”, tetapi karena sistem selama ini memang tak setara. Kebijakan berbasis gender bukanlah privilese, melainkan koreksi atas ketimpangan historis yang dibentuk oleh feodalisme sosial dan patriarki.

Baca Juga:   Raymundus Sau Fernandes dalam Kenangan: Marhaenis Sejati dan Pancasilais yang Teguh

Kartini tidak hanya bicara tentang perempuan sekolah, ia bicara tentang martabat manusia. Dan martabat tidak bisa dicapai dalam ruang kerja yang membungkam, mengerdilkan, dan memeras perempuan secara sistemik. Kita butuh lebih dari sekadar tokoh simbolik—kita butuh Kartini yang hidup dalam regulasi, di meja rapat, dan di ruang produksi.

Mewujudkan emansipasi perempuan dalam dunia kerja bukan tugas perempuan semata. Ini adalah tanggung jawab bersama. Dan ketika ketidakadilan diabaikan, maka semua pihaklah yang gagal, bukan hanya perempuan yang kalah.***


Penulis: Azzan Farizi, Wakabid Politik dan Jaringan GMNI Balikpapan.

iRadio
Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Pulau Buru dan Pengarahan Tenaga Kerja Tapol
Rabu, 26 November 2025 | 23:43 WIB
Ironi di Kawasan HTI RAPP: GMNI Temukan Sekolah Beralas Pasir dan Lansia Terabaikan Fasilitas Kesehatan di Kampar Kiri
Rabu, 26 November 2025 | 12:29 WIB
Beredar Akun Facebook Palsu Atas Nama Dirinya, Karyono Wibowo: Ada Orang yang tidak Bertanggungjawab – Mohon Abaikan
Senin, 24 November 2025 | 11:18 WIB
Andai Bank BRI Jadi Bank Koperasi Seperti Desjardins Bank
Minggu, 23 November 2025 | 07:46 WIB
Diskusi Publik Persatuan Alumni GMNI Jakarta, Anies Baswedan Tekankan Ekonomi Berkeadilan
Sabtu, 22 November 2025 | 22:03 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Masa Jabatan Legislatif Tanpa Ujung: Celah yang Mengancam Alam Demokrasi
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi

Lainnya Dari Marhaenist

Atikoh Sapa Warga dan Tokoh Masyarakat Se-Jombang: Ajak Awasi Pemilu

Marhaenist.id, Jombang - Siti Atikoh Suprianti, istri calon Presiden RI Ganjar Pranowo mengajak…

Ideologi Marhaenisme di Era Neo-Orba: Masihkah Relevan dalam Membela Kaum Marhaen?

Marhaenist.id - Indonesia telah mengalami perubahan besar dalam sistem politik dan ekonomi…

Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan

Marhaenist.id, Pacitan - Semangat kebangsaan di ranah pelajar kembali berkobar di Kabupaten Pacitan.…

Namanya Tan Malaka!

Marhaenist.id - Tokoh ini namanya seolah terkubur selama puluhan tahun. Setelah reformasi…

Soekarno dan Pramuka: Gerakan Indonesia Merdeka Menuju Indonesia Maju

Marhaenist.id - "Pramuka adalah bagian dari gerakan Indonesia merdeka." Pernyataan ini bukanlah…

RUU Dewan Pertimbangan Presiden: Konsolidasi Kekuasaan, Menguatkan Presiden Untuk Melemahkan Demokrasi

Marhaenist - Sejauh ini, keberadaan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tidak memberikan solusi…

Innalillahi, Hamzah Haz Wapres ke 9 RI Meninggal Dunia di Usia 84 Tahun Hari Ini

Marhaenist - Kabar duka datang dari Tanah Air. Wakil Presiden ke-9 RI…

Nyalon Wali Kota Yogyakarta, Kawier GeHa Kembalikan Formulir Pendaftaran ke DPC PDI Perjuangan

Marhaenist - Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Senin 20 Mei 2024, Gunawan…

Komitmen Kepala Daerah Dalam Pelayanan Informasi Publik

Marhaenist.id - Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia, dan keterbukaan informasi…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar Alumni GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

🎧 Online Radio

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Ikuti Kami
Merdeka!

Masuk ke akunmu

Lupa passwordmu?