Marhaenist.id – Prabowo Subianto mungkin punya satu keinginan sederhana: namanya tercatat dalam sejarah sebagai seorang presiden. Dan pada akhirnya, ia telah menjadi presiden.
Setelah bertahun-tahun meniti jalan politik, tiga kali kalah dalam pemilu, dan entah berapa banyak strategi yang diubah, akhirnya kursi RI-1 berhasil ia duduki. Mungkin ada rasa puas di hatinya, sebuah perasaan bahwa segala perjuangannya telah berbuah.
Namun, terkadang sejarah tidak mencatat usaha. Sejarah tidak peduli berapa kali seseorang mencoba, seberapa keras ia berjuang, atau berapa banyak pengorbanan yang telah ia lakukan. Sejarah hanya peduli satu hal: hasil. Dan jika hasilnya tidak sebanding dengan ekspektasi, maka sejarah bisa menjadi hakim yang kejam.
Seorang pemimpin diingat dalam sejarah karena dua alasan: pertama, karena keberhasilannya dalam membawa perubahan nyata; kedua, karena kegagalannya yang begitu mencolok hingga sulit dilupakan.
Soekarno diingat karena memimpin bangsa menuju kemerdekaan. Habibie dikenang karena membawa era teknologi dan reformasi. Tapi ada juga pemimpin lain yang diingat bukan karena kejayaannya, melainkan karena kebijakannya yang berantakan atau keputusan-keputusan yang tak masuk akal.
Dan di sinilah letak kekhawatiran itu. Dengan kebijakan yang tampak lebih seperti pencitraan daripada strategi jangka panjang, Prabowo berisiko masuk dalam kategori yang kedua.
Jika Prabowo tidak hati-hati, sejarah mungkin tidak akan mengenangnya sebagai pemimpin besar, tetapi justru sebagai Presiden OMON-OMON—sosok yang tampak gagah dan penuh gebrakan di luar, tetapi kosong dan tidak berdampak di dalam.

Mungkin Prabowo ingin dikenang seperti pemimpin besar di masa lalu—seorang yang membawa perubahan dan mengukir jejak dalam sejarah. Tapi kalau pola ini terus berlanjut, maka ia berisiko dikenang bukan sebagai pemimpin hebat, melainkan sebagai simbol dari kebijakan yang banyak janji tapi minim realisasi.
Sejarah akan tetap mencatat bahwa Prabowo pernah menjadi presiden. Itu fakta yang tak terbantahkan. Tetapi bagaimana sejarah mengenangnya? Itu soal lain.
Jika arah kepemimpinannya tetap seperti ini, jangan heran kalau di masa depan, ia lebih banyak dikenang sebagai Presiden OMON-OMON—pemimpin yang penuh semangat di awal, tetapi tidak meninggalkan warisan yang berarti.***
Penulis: Edi Subroto, Alumni GMNI.